Judul buku : Sungguh, Aku Mencintaimu Karena Allah
Penulis : Pipiet Senja, dkk.
Penerbit : Qultum Media, Jakatra
Tebal buku : viii + 232 hal: 14 x 20 cm
No ISBN : 979-017-156-0
Cetakan : I, Maret 2011
Ehm, pernahkah anda jatuh cinta? Saya kira ribuan atau jutaan orang yang pernah menghirup udara di dunia ini merasakan yang namanya cinta. Seseorang tidak akan bisa hidup di dunia ini tanpa cinta. Seperti nyayiannya raja dangdut, Rhoma Irama “hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga“. Cie…
Cinta itu begitu istimewa, anugerah terindah dari Allah yang harus dipelihara dan dijaga oleh hamba-Nya. Sebenarnya, ia begitu damai bersemayam di hati manusia. Tetapi karena ada iblis yang berwujud egoisme selalu menggoda, maka cinta pun menjadi tidak tenang dan selalu resah.
Maka kemudian timbullah problematika hidup manusia yang ditimbulkan oleh cinta; suka, senang, bahagia, gembira, rindu, sedih, marah, hingga benci dan dendam. Karena cinta, Allah menciptakan hawa untuk mengusir kesendirian Adam. Karena cinta Habil mengorbankan kambing terbaiknya demi mendapatkan calon kekasihnya, Iqlima. Karena cinta pula, praktik pembunuhan pertama kali terjadi, yang mengharuskan Qabil membunuh adiknya sendiri Habil. Begitulah, cinta akan terus menghiasi perasaan manusia selama dunia masih memiliki kehidupan.
Lantas apakah cinta itu nikmat atau laknat? Pertannyaan ini sempat menjadi perbincangan utama di rubrik Majalah Infitah pada edisi sebelumnya. Sebenarnya cinta itu adalah rahmat, fitrah atas semua manusia. Eksistensi cinta adalah representasi dari dzat Allah untuk memberikan warna hidup, sebagai jalan untuk berinteraksi, mengenali satu sama lain sebagai jalan menuju rahmatan lil alamin.
Seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles manusia adalah Zoon Politicon, makhluk yang membutuhkan kehadiran orang lain di sisinya. Dalam konteks inilah cinta begitu nyata. Seseorang baru akan menyadari kalau kehadiran seseorang itu berharga dalam dirinya jika sudah dinaungi oleh perasaan cinta. Oleh karena itu dalam cinta harus saling mengerti, tetapi tidak harus memiliki.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah memiliki lebih dari 50 istilah tentang pemaknaan cinta, diantaranya: mahabbah (kasih sayang), ash-shabwah (kerinduan), asy-syaghaf (cinta yang mendalam), al-‘isqu (cinta yang meluap-luap) dlsb. Pada persoalan ini, ia mengatakan, “Cinta itu indah, namun lemahnya manusia membuat dirinya sendiri sulit membedakan antara cinta dan nafsu serta banyak manusia yang terjerumus di dalamnya”. Nah, dalam konteks inilah cinta bisa menjadi nikmat atau laknat. Tergantung cara kita menempatkan cinta secara proporsional.
Cintailah orang yang dicintai sekerdarnya saja, hal ini untuk menghindari manusia kepada cinta yang buta. Buta segalanya, termasuk buta pada penciptanya. Tetapi, jika kita sandarkan cinta kita kepada Allah, maka ketentraman untuk saling menyayangi dan saling mengasihi akan menciptakan surga di dunia ini.
Kata Soe Hoek Gie ”…kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta…”. Begitulah kira-kira kesimpulan sementara yang ada di benak penulis ketika membaca kisah cinta dalam buku ini. Cerita-cerita cinta yang disandurkan pada kisah nyata yang amat menggugah hati, memberikan banyak hikmah bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap mencintai dan dicintai.
Kisah cinta seorang ibu dan anak menjadi pintu pertama bagi pembaca untuk memahami apa itu cinta. Kisah cinta dalam sebuah perjuangan antara Pipiet Senja dan anaknya Azimatttinur Siregar. Bagi mereka berdua, cinta adalah segalanya untuk menuai cita. Dengan cinta, mereka tetap menuai berkah dari sebuah perjuangan; semangat pantang menyerah demi menumbuhkan bibit-bibit penulis.
Di lain hal, menjalani cinta di dalam rumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah, tak seperti ketika proses ijab-qabul dibacakan. Hal inilah yang tergambar dari beberapa kisah cinta yang ada di dalam buku ini. Sebuah penghianatan “samar-samar” mengikis harmonisasi keluarga. Tetapi, jika kita benar-benar memasrahkan diri pada Allah bahwa karunia-Nya begitu besar dalam sebuah rumah tangga, maka tidak akan sulit menuai bunga syakinah mawaddah wa rohmah.
Siti Nurbaya 2011 adalah salah satunya. Kisah nyata dari Ida Yuhana Ulfa, alumni pesantren yang menjadi aktivis kampus, dijodoh paksa oleh orang tuanya dengan Yusuf, Si Culun alumni pesantren. Ia menganggap suaminya “gaptek bin jadul”. Setiap hari ia bersikap acuh-tak acuh pada suaminya. Pada suatu kesempatan, ia memancing suaminya marah, bersikap “liberal” dalam masalah teologi; mempertanyakan eksistensi Tuhan (hal.96). Sebagai kepala rumah tangga yang baik, dengan amat telaten dan tanpa mengedepankan sikap egonya, Yusuf menjawab pertanyaan-pertanyaan Ida yang “mencoba” meniadakan Tuhan. Pada sebuah perbincangan di meja makan itu, barulah Ida sadar bahwa suaminya tidak seburuk yang ia kira. Dan, ia pun bahagia bersamanya.
Buku ini bukan bergenre tips atau motivasi bagaimana caranya manusia harus mencintai dan dicintai. Tetapi, petikan hikmah dari 24 kisah cinta di dalam buku ini akan memberikan kita banyak inspirasi bagaimana seseorang harus mencintai seorang hamba ataupun bersikap sebagai hamba yang patut dicintai.
Cinta itu buta. Jika tidak dilandasi dengan iman maka cinta akan membabi buta. Maka, mulailah mencintai karena Allah.
0 comments:
Post a Comment