Pada hari ketiga di tahun 2014,
seorang teman asal Surabaya, Ricardo Marbun namanya, men-tag saya di
status fb-nya—diantara temannya yang lain: Sahid Salahuddin, Palris Jaya,
Lonyenk Rap, dan Mashdar Zainal.
Tulisnya begini: kalian hobi
nontong film, tidak? Kalaupun tidak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck wajib
ditonton! Percayalah, fokus tentang kapal tenggelam sama sekali tidak ada.
Slide kapal hanya muncul 15 menit di akhir cerita. Kekuatan narasi, dialog,
pribahasa, kiasan, semua itu ada dalam film luar biasa ini. Aku menontonnya
tadi malam dan bioskop penuhhhh. Penonton bioskop berurai air mata menonton
film ini. Bapak Hamka luar biasa. Begitulah promo gratis yang diunggahnya
pada tanggal 3 Januari 2014, sekitar pukul sepuluh pagi.
Penilaian teman saya, betapa
percakapan dalam film yang dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan
Reza Rahadian tersebut sangat mewakili ke-booming-an versi novelnya, terutama
dari aspek kesusastraan. Saya menjawab bahwa saya hanya menamatkan versi novel,
sementara versi film masih saya buru—selain film ‘kontroversi’ Soekarno.
Kendati saya masih belum menonton,
benak saya seakan sudah membenarkan penilaian teman saya terhadap film itu—dari
sudut pandang yang berbeda. Reza Rahadian adalah kunci dari pengaminan
penilaian teman saya. Ya, Reza Rahadian adalah aktor yang saya gandrungi di dunia
perfilman Indonesia.
Selain dari itu, film persembahan
Ram Soraya tersebut mengingatkan saya pada suatu kenangan antara saya dan
seorang perempuan, yang tak mungkin lagi kenangan itu dapat berlanjut karena
perempuan yang dimaksud, hari ini ikatan statusnya dengan saya sudah berbeda
saat kenangan itu diciptakan. Kendati tak menutup kemingkinan dapat tercipta,
barangkali akan ada kesan lain dalam proses penciptaan kenangan tersebut.
Saya mendapat novel Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck ketika saya menginjak usia ke-22 tahun. Novel tersebut
merupakan hadiah ulang tahun saya, yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2012, dari Bunga
(sebut saja begitu), perempuan yang saya ‘istimewa’-kan kala itu. Sunset dan
debur ombak di Pantai Camplong, Sampang, Madura, menjadi saksi bisu kebahagian
saya memeroleh hadiah novel tesebut.
Novel itu menjadi hadiah saya yang teristimewa
(lebay kali ye…. hehe). keinginan kuat untuk memiliki novel tersebut serta
sosok sang pemberi hadiah barangkali menjadi alasan kuat mengapa saya sebut
sebagai hadiah teristimewa. Sejak keranjingan menulis, novel itu memang menjadi
salah satu buruan saya diantara buku sastra yang lain seperti Ronggeng Dukuh
Paruk (Ahmad Tohari), Burung-Burung Manyar (YB Mangunwijaya),
tetraloginya Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua bangsa, Jejak
Langkah, dan Rumah Kaca) dan yang lebih dahulu saya dapatkan.
Saya tak menyangka Bunga dapat
menghadiahi saya novel tersebut. Ia tak memiliki latarbelakang menulis seperti
saya, membacapun sepertinya tidak. Ia hanya seorang karyawati di sebuah bank
harian, ditempatkan di KCP Sampang sebelum hari ini dipindahtugaskan di
Surabaya. Ah, barangkali untuk poin ini memang kurang penting; siapapun
akan berusaha untuk mendapatkan sesuatu untuk kebahagiaan orang yang dicintai
kendati sesuatu itu jauh dari dunianya. Jadi, wajar adanya.
Di lembaran pertama setelah cover,
ada tulisan merah: 9 Agustus 2012 ‘Bie-Bie’. Kala itu, Bunga tak memberikan
hadiah tersebut tepat pada hari ulang tahun saya tersebab pekerjaan. Sementara
Bie-Bie adalah sebutan khususnya untuk saya.
Sayang, dua bulan setelah itu
bahtera kapal Van der Rijck (baca: Fandrik) tenggelam untuk selamanya. Hanya
kenangannya yang kadang mencuat ke permukaan. Seperti hari ini.
Jember, 3 Januari 2014
0 comments:
Post a Comment