Thursday, February 20, 2014

Ibu Enceng dan Ibu Listening


Ibu Enceng dan Ibu Listening adalah dua cerita yang hampir sama namun terjadi di tempat yang berbeda. Ini hanyalah cerita tentang kebiasaan saya yang memanggil seseorang dengan panggilan nama yang tak lazim dipakai oleh kebanyakan orang untuk memanggilnya.

Jangan salah sangka! Panggilan yang tak lazim ini bukan bermaksud ingin melecehkan atau menurunkan derajat nama seseorang. Ini hanya panggilan pribadi saya saja dalam rangka menambah keakraban dan ikatan emosional. Apabila berada di tempat umum, saya tetap memanggi orang yang bersangkutan tersebut dengan nama lazimnya ia dipanggil.

Dua Bulan yang lalu, tepatnya ketika saya masih mengajar di SMK Zaidul Ali, ada seorang guru IPA yang bernama Komariyah (sapaan akrab, Kokom), saya memanggilnya Ibu Enceng. Enceng sendiri diambil dari nama sebuah tumbuhan air, yaitu Eceng Gondok. lalu, apa pasal kaitannya antara Eceng Gondok dengannya? Bukankah ada perbedaan huruf ‘N’ pada dua nama tersebut.

Baiklah, saya sedikit menerakan musababnya. Ketika saya sebulan mengajar di SMK Zaidul Ali, saya terhenyak dengan nama facebooknya Ibu Kokom, yaitu Eceng Gondok. Iseng-iseng saya bertanya kenapa harus Eceng Gondok. Bukankah tanaman air itu biasanya hidup di rawa-rawa dan tak bermanfaat apa-apa bagi manusia, justri malah merugikan.

Apa jawabnya? Perempuan yang suka dengan warna ungu, sebuah warna yang identik dengan warna janda tersebut senyum-senyum. Ia menerakan bahwa manusia kerap memandang sebelah mata terhadap salah satu jenis tanaman air tersebut. Baginya Eceng Gondok memiliki filosofi tersendiri dan banyak juga manfaatnya yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (tapi sayang, mohon maaf sekali, saya tidak bisa menerakan filosfi dan kemanfaatan Eceng Gondok yang Ibu Kokom sebutkan. Maklum, penyakit lupa saya kambuh…hehe).

Lalu, entah kenapa, sebagai sapaan akrab saya kepadanya, agar tampak berbeda dengan guru-guru yang lain, Ibu Kokom kupanggil saja dengan sebutan Ibu Enceng. Kenapa Enceng? Kok Bukan Eceng? Ah, ini hanya persoalan pelafalan saja.

Menurut saya, ucapan kata Eceng lebih berat ketimbang kata Enceng. Lagipula, di lingkungan itu, mayoritas berbahasa Madura. Sementara kata Eceng sendiri bila dibahasa-madurakan memiliki arti yang kurang etis: Eceng dalam bahasa Madura merupakan kata kerja yang memiliki arti ‘bagian bawah kain (pakaian) seperti sarung, sampir, dan lain sebagainya yang ditarik sedikit ke atas; dijinjing.  Contoh: Samper eceng-ceng (Sampir yang dijinjing).

Jadi kata Eceng bila disematkan kepada perempuan rasanya kurang etis, seakan seperti membuka sebuah aurat. Bukankah auratnya perempuan adalah semua anggota badan kecuali muka dan telapak tangan? Oleh karena itu, saya lebih memilih kata Enceng saja sebagai panggilannya.

Kini, saya sudah berhenti mengajar di SMK Zaidul Ali. Panggilan Enceng tak dekat lagi terdengar di telinga. Kendati demikian, tetap saja ia saya panggil Ibu Enceng.

Nah, cerita kedua tentang Ibu Listening. Cerita yang satu ini terjadi di SMK Nurul Mannan. Namanya Ibu Rista Eko Wahyuni (sapaan akrab, Rista), guru Bahasa Inggris asal Ledokombo. Sebagaimana ketika sebulan mengajar di Zaidul Ali dan sukses melahirkan nama Enceng, di SMK Nurul Mannan Juga demikian. Sebulan mengajar di sana, saya melahirkan nama baru untuk Ibu Rista, yaitu Ibu Listening.

Ibu Rista adalah tipikal perempuan yang aktif dan supel. Perempuan yang juga berprofesi sebagai pelayanan jasa pemakaian GPS pada mobil tersebut kerap menyebut kata listening ketika berada di kantor usai mengajar. Dengan gaya yang melapor, ia kerap menceritakan kepada guru yang lain kalau di kelas tadi mengajarkan listening kepada murid-muridnya.

Karena perempuan yang lahir di tahun 1986 tersebut memiliki sifat supel, Ibu Rista merasa enjoy saja bila saya memanggilnya Ibu Listening. Bahkan ia bertanya, mengapa bukan Ibu Reading saja atau sekalian Ibu Writing. Saya jawab saja sekenanya, enakan Ibu Listening… hehe.

Begitulah segelintir kisah tentang Ibu Enceng dan Ibu Listening. Sekali lagi, panggilan ini tidak ada tendensi apapun untuk menjatuhkan derajat nama seseorang. Hal ini murni dilandasi oleh rasa keakraban saja.

Sekian, terima kasih

0 comments: