Sunday, March 16, 2014

Mengejar Mimpi: Makna Dibalik Air Mata


Tulisan ini bagi Anda barangkali hanya cerita sederhana dan sangat biasa. Namun, bagi saya sungguh luar biasa. Cerita ini tentang seorang anak-anak yang bersama-sama menerbangkan mimpi ke angkasa.
Sabtu, 15 Maret 2014. Ketika pagi beranjak menjadi siang, saya masuk ke kelas IX MTs Nurul Mannan. Saat itu, posisi saya sebagai guru piket menggantikan Pak Siswanto, guru IPS yang sedang kurang enak badan.

Sesampai di ruang kelas, saya tak menaikkan pelajaran. Saya hanya memberikan beberapa informasi seputar Ujiian Akhir Madrasah (UAM) yang akan dilaksanakan pada Senin mendatang selama seminggu (17 – 22 Maret 2014).

Selesai memberikan beberapa informasi seputar UAM, saya melihat pergantian jam pelajaran masih tinggal 30 menit. Agar waktu tersebut tidak terbuang percuma, saya isi dengan sebuah game atau permainan. Ya, lumayan sebagai refreshing diri menjelang persiapan UAM.

Game yang saya mainkan sangat sederhana. Di papan tulis, saya menulis dua kata yang semuanya saya tulis kapital: MENGEJAR MIMPI.

Selesai menulis dua kata tersebut, saya tak menerangkan aturan mainnya. Biarlah mereka penasaran terlebih dahulu. Bukankah rasa penasaran akan mendorong menuntaskan rasa keingintahuan?

Saya langsung menyuruh ke-16 siswa tersebut untuk menyiapkan selembar kertas. Sebagian ada yang bertanya, untuk apa? Namun saya tak merespon. Kemudian saya suruh mereka menulis mimpi mereka di selembar kertas tersebut. MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN. Mimpi apa saja: keinginan, harapan, bahkan cita-cita. Mimpi jangka panjang ataupun mimpi jangka pendek. Terserah. Yang terpenting MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN.

Mimpi jangka pendek yang saya maksudkan adalah hal-hal atau mimpi yang relatif singkat. Misal, saya ingin makan bakso sebesar bola sepak, saya ingin mandi sepulang sekolah, dll. Mimpi jangka panjang yang saya maksudkan di sini adalah keinginan yang bisa dikatakan lebih mengarah kepada cita-cita.

Mereka mulai menulis....

Selesai menulis mimpi, saya menyuruh mereka untuk melipat kertas tersebut menjadi pesawat kertas. Dan kali ini saya masuk pada aturan mainnya:

1.  Semua siswa wajib menerbangkan pesawat kertas tersebut secara bersamaan.
2. Setelah pesawat diterbangkan, masing-masing siswa harus segera mengejar pesawat tersebut dan mencari pesawatnya sendiri. (Inilah kenapa sebelumnya saya tidak menyuruh mereka mencantumkan nama pada selembar kertas tersebut)
3. Apabila pesawat kertas yang menerbangkan mimpi mereka masing-masing sudah ditemukan, saya menyuruh mereka segera menyetorkan pesawat tersebut kepada saya.
4. Dua siswa yang menemukan mimpinya pertama kali, saya beri hadiah Tabanas sebesar seribu rupiah. Hehehe....

Ternyata, “tabanas” yang saya berikan cukup memacu semangat berkompetisi. Saya ajak mereka ke luar kelas, berbaris di bibir lantai 2, siap-siap menerbangkan mimpi mereka masing-masing.

SATU.... DUA...TIGAAAAAAA...! Mimpi mereka terbang! Melesat ke angkasa....!!!!!

Selesai menerbangkan mimpi, mereka langsung ke lantai satu untuk mencari mimpi yang sudah landing. Semangat mereka untuk menemukan mimpi itu sungguh luar biasa. Mereka berdesak-desakan menuruni anak tangga untuk segera meraih kembali mimpi tersebut. Dari titik ini, saya menaruh harapan betapa kelak saya ingin semangat mereka meraih mimpi sama seperti mengejar pesawat kertas yang membawa mimpi-mimpi itu terbang tinggi dan menemukan mimpi itu kembali.

Dua siswa pertama kembali naik ke lantai 2. Memberikan mimpinya yang sudah di genggaman. Sementara yang lain, dari lantai 2 saya lihat masih sibuk mencari mimpi-mimpi yang bersarakan itu.

Setelah dari masing-masing menemukan mimpinya, saya menyuruh mereka membuka pesawat kertas tersebut dan memastikan bahwa yang dibuka adalah mimpinya sendiri. Semuanya kompak mengatakan sudah benar.

Oke. Tumpukan kertas itu (bukan lagi pesawat kertas) sudah ada di genggaman saya. Saya melatih kejujuran mereka: mengakui satu persatu mimpi yang saya baca dan selesai membaca, saya angkat kertas tersebut.

Kertas pertama bertuliskan: AKU INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.

Saya bertanya, milik siapakah mimpi ini? Tak ada yang mau mengaku. Saya lanjutkan saja pada mimpi yang kedua dan mimpi-mimpi yang lain. Semua lancar-lancar saja. Saya baca mimpi itu, saya angkat kertas itu, salah seorang dari mereka ada yang mengakui bahwa itu aadalah mimpinya. Begitu seterusnya.

Bermacam-macam mimpi itu: ada yang ingin jadi guru, ada yang ingin jadi polisi, ada yang ingin keliling dunia, ada yang ingin menghajikan kedua orang tua, sampai ada yang ingin menjadi cowok playboy. Oalah.....

Kini, di tangan saya tinggal selembar kertas tadi. Selembar kertas yang, sekali lagi saya sebut: AKU INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.

Sejenak, saya menyelami makna kalimat di atas. Kalimat yang sungguh menyimpan misteri (untuk tidak saya katakan sebagai konflik batin) yang membuat si penulis mimpi itu tak mau mengakui mimpinya. Si penulis mimpi seperti ingin menutupi misteri itu kepada orang lain. Namun, ternyata penulis itu tak kuat menyimpannya sendirian sehingga mereka menumpahkannya ke dalam sebuah tulisan. Pada titik ini, saya kembali menemukan pembelajaran betapa tulisan bisa pula melegakan beban pikiran ketika diri pribadi sudah tidak mampu berbagi beban tersebut dengan orang lain.

Selanjutnya, saya menuruh mereka mengangkat kertas masing-masing. Kini saya tahu, hanya satu siswa yang tidak memegang mimpinya. Saya bertanya: apakah yang ada di tangan ini adalam mimpimu? Ia menggeleng.
Saya tanya lagi, ia menggeleng.

Saya tanya sekali lagi, ia tetap tak mengaku meskipun air mata yang mengalir dari kedua pelupum matanya sudah mewakili perasaan yang sangat sulit untuk diungkapkan.

Semua sorot mata tertuju pada air matanya. Saya sebenarnya tak tahu harus berbuat apa, namun saya berusaha untuk menetralisasi keadaan dengan memberikan motivasi bahwa mimpi itu harus segera dikejar, apapun resikonya. Sejauh apapun. Saya kembali mengulang memori, bagaimana mereka tadi berlari mengejar pesawat kertas itu. Berdesak-desakan menuruni anak lantai tanpa memikirkan kemungkinan jatuh dari anak tangga hanya sekedar ingin segera menemukan mimpi mereka.

Saya nobatkan siswa dengan mimpi yang ingin bertemu neneknya dan ingin membahagiakan orangtuanya tersebut menjadi pemenang dalam permainan MENGEJAR MIMPI. Ia telah jujur sejujur-jujurnya menulis mimpi yang sangat ingin ia kejar di selembar kertas itu. Karena permainan ini sejatinya adalah permainan melatih kejujuran.

Saat kuberikan tabanas tersebut, tanpa komando, mereka bertepuk tangan.

0 comments: