Tulisan ini bagi Anda
barangkali hanya cerita sederhana dan sangat biasa. Namun, bagi saya sungguh
luar biasa. Cerita ini tentang seorang anak-anak yang bersama-sama menerbangkan
mimpi ke angkasa.
Sabtu, 15 Maret 2014.
Ketika pagi beranjak menjadi siang, saya masuk ke kelas IX MTs Nurul Mannan.
Saat itu, posisi saya sebagai guru piket menggantikan Pak Siswanto, guru IPS
yang sedang kurang enak badan.
Sesampai di ruang
kelas, saya tak menaikkan pelajaran. Saya hanya memberikan beberapa informasi
seputar Ujiian Akhir Madrasah (UAM) yang akan dilaksanakan pada Senin mendatang
selama seminggu (17 – 22 Maret 2014).
Selesai memberikan
beberapa informasi seputar UAM, saya melihat pergantian jam pelajaran masih
tinggal 30 menit. Agar waktu tersebut tidak terbuang percuma, saya isi dengan
sebuah game atau permainan. Ya, lumayan sebagai refreshing diri menjelang persiapan UAM.
Game yang saya mainkan
sangat sederhana. Di papan tulis, saya menulis dua kata yang semuanya saya tulis
kapital: MENGEJAR MIMPI.
Selesai menulis dua
kata tersebut, saya tak menerangkan aturan mainnya. Biarlah mereka penasaran
terlebih dahulu. Bukankah rasa penasaran akan mendorong menuntaskan rasa
keingintahuan?
Saya langsung menyuruh
ke-16 siswa tersebut untuk menyiapkan selembar kertas. Sebagian ada yang
bertanya, untuk apa? Namun saya tak merespon. Kemudian saya suruh mereka
menulis mimpi mereka di selembar kertas tersebut. MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN. Mimpi
apa saja: keinginan, harapan, bahkan cita-cita. Mimpi jangka panjang ataupun
mimpi jangka pendek. Terserah. Yang terpenting MIMPI YANG SANGAT DIIMPIKAN.
Mimpi jangka pendek
yang saya maksudkan adalah hal-hal atau mimpi yang relatif singkat. Misal, saya
ingin makan bakso sebesar bola sepak, saya ingin mandi sepulang sekolah, dll.
Mimpi jangka panjang yang saya maksudkan di sini adalah keinginan yang bisa
dikatakan lebih mengarah kepada cita-cita.
Mereka mulai
menulis....
Selesai menulis mimpi,
saya menyuruh mereka untuk melipat kertas tersebut menjadi pesawat kertas. Dan
kali ini saya masuk pada aturan mainnya:
1. Semua siswa
wajib menerbangkan pesawat kertas tersebut secara bersamaan.
2. Setelah pesawat
diterbangkan, masing-masing siswa harus segera mengejar pesawat tersebut dan
mencari pesawatnya sendiri. (Inilah
kenapa sebelumnya saya tidak menyuruh mereka mencantumkan nama pada selembar
kertas tersebut)
3. Apabila pesawat
kertas yang menerbangkan mimpi mereka masing-masing sudah ditemukan, saya
menyuruh mereka segera menyetorkan pesawat tersebut kepada saya.
4. Dua siswa yang
menemukan mimpinya pertama kali, saya beri hadiah Tabanas sebesar seribu
rupiah. Hehehe....
Ternyata, “tabanas”
yang saya berikan cukup memacu semangat berkompetisi. Saya ajak mereka ke luar
kelas, berbaris di bibir lantai 2, siap-siap menerbangkan mimpi mereka
masing-masing.
SATU....
DUA...TIGAAAAAAA...! Mimpi mereka terbang! Melesat ke angkasa....!!!!!
Selesai menerbangkan
mimpi, mereka langsung ke lantai satu untuk mencari mimpi yang sudah landing. Semangat mereka untuk menemukan
mimpi itu sungguh luar biasa. Mereka berdesak-desakan menuruni anak tangga
untuk segera meraih kembali mimpi tersebut. Dari titik ini, saya menaruh
harapan betapa kelak saya ingin semangat mereka meraih mimpi sama seperti
mengejar pesawat kertas yang membawa mimpi-mimpi itu terbang tinggi dan
menemukan mimpi itu kembali.
Dua siswa pertama
kembali naik ke lantai 2. Memberikan mimpinya yang sudah di genggaman.
Sementara yang lain, dari lantai 2 saya lihat masih sibuk mencari mimpi-mimpi
yang bersarakan itu.
Setelah dari
masing-masing menemukan mimpinya, saya menyuruh mereka membuka pesawat kertas
tersebut dan memastikan bahwa yang dibuka adalah mimpinya sendiri. Semuanya
kompak mengatakan sudah benar.
Oke. Tumpukan kertas
itu (bukan lagi pesawat kertas) sudah ada di genggaman saya. Saya melatih
kejujuran mereka: mengakui satu persatu mimpi yang saya baca dan selesai
membaca, saya angkat kertas tersebut.
Kertas pertama
bertuliskan: AKU INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.
Saya bertanya, milik siapakah
mimpi ini? Tak ada yang mau mengaku. Saya lanjutkan saja pada mimpi yang kedua
dan mimpi-mimpi yang lain. Semua lancar-lancar saja. Saya baca mimpi itu, saya
angkat kertas itu, salah seorang dari mereka ada yang mengakui bahwa itu
aadalah mimpinya. Begitu seterusnya.
Bermacam-macam mimpi
itu: ada yang ingin jadi guru, ada yang ingin jadi polisi, ada yang ingin
keliling dunia, ada yang ingin menghajikan kedua orang tua, sampai ada yang
ingin menjadi cowok playboy.
Oalah.....
Kini, di tangan saya
tinggal selembar kertas tadi. Selembar kertas yang, sekali lagi saya sebut: AKU
INGIN BERTEMU NENEK. AKU INGIN MEMBAHAGIAKAN ORANGTUAKU.
Sejenak, saya menyelami
makna kalimat di atas. Kalimat yang sungguh menyimpan misteri (untuk tidak saya
katakan sebagai konflik batin) yang membuat si penulis mimpi itu tak mau
mengakui mimpinya. Si penulis mimpi seperti ingin menutupi misteri itu kepada
orang lain. Namun, ternyata penulis itu tak kuat menyimpannya sendirian
sehingga mereka menumpahkannya ke dalam sebuah tulisan. Pada titik ini, saya
kembali menemukan pembelajaran betapa tulisan bisa pula melegakan beban pikiran
ketika diri pribadi sudah tidak mampu berbagi beban tersebut dengan orang lain.
Selanjutnya, saya
menuruh mereka mengangkat kertas masing-masing. Kini saya tahu, hanya satu
siswa yang tidak memegang mimpinya. Saya bertanya: apakah yang ada di tangan
ini adalam mimpimu? Ia menggeleng.
Saya tanya lagi, ia menggeleng.
Saya tanya sekali lagi,
ia tetap tak mengaku meskipun air mata yang mengalir dari kedua pelupum matanya
sudah mewakili perasaan yang sangat sulit untuk diungkapkan.
Semua sorot mata
tertuju pada air matanya. Saya sebenarnya tak tahu harus berbuat apa, namun
saya berusaha untuk menetralisasi keadaan dengan memberikan motivasi bahwa
mimpi itu harus segera dikejar, apapun resikonya. Sejauh apapun. Saya kembali
mengulang memori, bagaimana mereka tadi berlari mengejar pesawat kertas itu.
Berdesak-desakan menuruni anak lantai tanpa memikirkan kemungkinan jatuh dari
anak tangga hanya sekedar ingin segera menemukan mimpi mereka.
Saya nobatkan siswa
dengan mimpi yang ingin bertemu neneknya dan ingin membahagiakan orangtuanya tersebut
menjadi pemenang dalam permainan MENGEJAR MIMPI. Ia telah jujur
sejujur-jujurnya menulis mimpi yang sangat ingin ia kejar di selembar kertas
itu. Karena permainan ini sejatinya adalah permainan melatih kejujuran.
Saat kuberikan tabanas
tersebut, tanpa komando, mereka bertepuk tangan.
0 comments:
Post a Comment