Thursday, November 3, 2011

Perempuan Langit, I Love You!

(10 karya Faforit Cerita Pribadi Qultum Media, Jakarta 2011)

Cerita ini adalah sepotong kisah yang sempat saya tulis perihal perjalananku yang penuh trik-intrik dilematisasi. Kisah konspirasi cinta yang terjadi saat saya melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk ditulis karena di tempat itu saya menemukan sejarah dan kisah tentang Perempuan Langit.

Perempuan Langit yang saya maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat Jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latin yang dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya.

Namanya Atika Kamila. Dia dikenal dengan panggilan Perempuan Langit pasca cerpen saya yang berjudul Langit Tak Seindah Dirimu terbit di Radar Madura tanggal 2 Januari 2011. Tika—sapaan akrabnya—adalah santri Lubangsa Puteri. Dia sama-sama semester VI dengan saya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Tetapi, saya baru mengenalnya saat mengisi pelatihan menulis fiksi yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Muda Iksaputra (AJMI). Acara yang berlangsung pada 18-19 November 2010 di Desa Prancak, Pasongsongan itu hanya diikuti oleh santriwati Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra).

Sebelum pelatihan itu, saya hanya tahu dia sering menulis cerpen, sama denganku. Meski tidak kenal, saya sedikit tahu tentangnya karena saya sering berkomunikasi lewat tulisan-tulisannya. Saya selalu menyempatkan diri membaca cerpen-cepennya yang terbit di media. Sebenarnya, saya sangat ingin mengenalnya lebih jauh, paling tidak hanya kenal pada rupanya saja, itu sudah cukup.

Tahun 2010, saya menjadi editor fiksi di Majalah Muara. Tika mengirim cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan. Namanya ditulis dalam angka-angka 471124. Cerpen itu sangat bagus. Diksinya begitu kuat. Saya sangat suka. Tetapi saya sanksi; tidak dimuat, sayang cerpen itu terlalu bagus, jika dimuat orangnya takut salah. Jadi saya mengambil keputusan menyuruh kru putri untuk mencari tahu inisial tersebut. Ternyata, dugaan saya benar. Dialah pemilik cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan, Atika Kamila!

Nah, Allah memberi saya kesempatan bertemu dengannya ketika mengisi pelatihan itu. Saya tahu, Tika berasal dari Pasongsongan. Santri asal Pasongsongan adalah bagian dari Iksaputra. Saya berkesimpulan bahwa kemungkinan besar Tika juga mengikuti pelatihan itu. Tak mungkin orang yang suka menulis cerpen melewatkannya, begitulah saya berkilah.

Pelatihan itu hanya diikuti oleh 24 peserta. Tata Ruangnya diformat dalam bentuk U. Pada awal pembicaraan saya berkata: Setahu saya di Lubri (Lubangsa Putri) yang suka menulis cerpen itu adalah Siti Khairiyah dan Atika Kamila. Saya berbicara demikian untuk memancing mereka menunjukkan Tika jika berada dalam forum itu.

“Ini kak, Atika,” kata mereka serempak.

Sontak semua peserta menunjuk satu gadis yang berada di tengah-tengah huruf U itu. Mukanya memerah. Malu. Tika menutup wajahnya dengan buku karena menjadi perhatian teman-temannya.

Oh, ini toh cerpenis yang namanya Atika, batinku.

Sejak saat itu, saya berada di atas angin. Salah satu misi saya berucap demikian adalah untuk “mendiamkannya” di dalam forum. Karena saya yakin, dialah yang paling banyak tahu tentang dunia kepenulisan daripada peserta yang lain. Nah, jika dia sudah di-skak mak, maka tak ada lagi yang perlu saya risaukan. Peserta lainnya hanyalah penulis pemula. Jujur, yang saya lakukan tidak ada motif mencari perhatianya.

Seminggu setelah pelatihan, di kantor redaksi Majalah Muara, saya berbincang santai seputar penerbitan dengan Ach Taufiqil Aziz, pimpinan redaksi majalah itu. Lalu, dia membuka folder pribadinya. “Ini bang, cewek saya. Cantik nggak?” dia menunjukan sebuah foto. Foto Atika Kamila.

“Cewek kamu, ya?”

“Bukan! Dia calon istri saya,” katanya nyengir.

“Calon istri?” saya sedikit kaget.

“He, nggak bang, bercanda. Tetapi saya sangat suka dengannya,” tuturnya santai.

Saya baru tahu kalau Tika menjadi pujaan hati sahabat terdekat saya. Acik—sapaan akrabnya—banyak bercerita tentang perasaannya pada Tika. Dia juga banyak bertutur tentang kehidupan gadis itu. Dari sahabat saya itu, saya banyak tahu tentangnya.

Lahirnya Perempuan Langit

Setelah saya tahu sahabatku mencintainya, saya berpikir bagaimana caranya untuk memudahkan dia untuk mendapatkan cintanya. Tetapi, rasa penasaranku untuk tahu mengapa Tika selalu menggunakan diksi langit masih belum purna. Maka, muncullah ide; mengumpulkan cerpen-cerpennya yang telah terbit dan mempelajarinya satu persatu.

Ada empat cerpen yang saya dapat: Pangeran Langit dan Putri Awan (Majalah Muara), Lukis Namaku di Kaki Senja (Antologi Tirta), Karena Langit Adalah Segalanya (antologi Iksaputra), dan Andromea; di Langitmu Aku Bercerita (antologi cerpenis Annuqayah). Semua cerpen itu memakai diksi langit.

Setelah mempelajari dengan seksama, muncullah ide di benak saya untuk menulis cerpen dengan diksi langit pula. Saya memilih judul Langit Tak Seindah Dirimu. Dalam cerpen itu, saya memasukkan unsur-unsur dasar ke empat cerpennya dengan harapan Tika bisa mengerti kalau cerpen itu saya persembahkan kepadanya. Saya ingin berkomunikasi dengannya via tulisan.

Aku sempat berpikir, jika langit yang dialamatkan oleh perempuan yang ingin kau sebut ibu itu hanyalah sebuah sketsa dari hati yang akan menyayangimu, maka akulah langit itu. Akulah orang yang selama ini kau cari. Langit telah mengutus gerimis untuk mempertemukanku denganmu di peron tua itu. Kau ingat kan?

Tapi kau tetap pergi dengan kerinduanmu. Tak pernah sekali saja berpikir bahwa langitmu adalah diriku. Harapan telah benar-benar membudakmu, sehingga kau tak pernah merasakan kasih sayang langit yang telah kau peroleh dariku. Sampai kapan kau akan mencari langit? Ah, ternyata langit tak seindah dirimu.

Muara Office, 2010

*) Persembahan pada Perempuan Penutur Langit


Dua paragraf di atas adalah penggalan terakhir dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu yang telah saya kirim ke harian Radar Madura (Jawa Pos Group). Saya sangat bersyukur cepen itu terbit!

Tetapi, rupanya Tika cukup terkenal juga. Pasca terbitnya cerpen itu, saya mendengar kabar kalau di Lubri geger. Mereka beranggapan bahwa saya memiliki hubungan khusus dengannya. Belum lagi sahabat-sahabati di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTIKA yang setiap waktu selalu memperbincangkan cerpen itu.

Saya menyesal telah mengirim cerpen itu. Pasalnya, hubungan saya dengan Acik sedikit meregang. Saya memaklumi, lelaki mana yang tak cemburu jika membaca cuplikan paragraf di atas. Belum lagi sahabat LPM yang mengolok-olok saya telah merampas Tika darinya. Saya, disindir sebagai pagar yang makan tanaman!

Saya sudah menjelaskan pada Acik bahwa cerpen itu tidak bermaksud apa-apa, hanya motif karya fiktif belaka. Saya juga mengatakan bahwa Tika adalah perempuan kelima yang saya hadirkan dalam cerpen saya. kelima cerpen itu adalah: Vita Agustin, cinta pertama saya yang saya tungkan dalam cerpen Ruang Sunyi*, Ryna Kustiana dalam cerpen Gadis Bayangan*, Ummul Corn calam cerpen Dialog Maya*, Duana Firdausiyah dalam cerpen Doa Dari Surga*, dan terakhir Atika Kamila dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu*. Kelima cerpen itu telah terbit di harian Radar Madura.

Alhamdulillah, Acik memahami penjelasan panjang-lebar dari saya. Namun itu masih belum usai. Sahabat-sahabat LPM dan semua kru Majalah Muara masih selalu memanas-manasi saya ketika bersama Acik. Mereka selalu mengatakan bahwa saya pagar makan tanaman. Oh, tidak! Saya tidak mau itu terjadi…..

Sejak saat itulah, sahabat-sahabat LPM dan kru Majalah Muara mentasbihkan Tika sebagai perempuan langit.

Di Langitnya, Saya Disidang

Pada rapat persiapan pemberangkatan investigasi tanggal 27 Januari 2011, saya disuruh memilih dua tempat antara Kecamatan Ambunten dengan Kecamatan Pasongsongan. Pilihan saya jatuh pada kecamatan Pasongsongan karena saya belum pernah berkunjung ke sana. Kabarnya pula, rumah Ubed, sahabat yang akan berangkat dengan saya dekat dengan laut. Saya sangat suka sekali pada laut. Itulah mengapa saya tertarik untuk pergi ke Pasongsongan.

Namun, keputusan yang saya ambil menimbulkan banyak kecurigaan. Saya disangka ingin mencari tahu alamat Perempuan Langit. Meskipun saya banyak diklarifikasi, saya tetap berangkat. Tak peduli mereka berkata apa. Saya menanggapinya dengan gurauan saja.

Sore hari tanggal 29 Januari 2011, saya tiba di Pasongsongan. Saya putuskan hari itu untuk tidak memulai pekerjaan saya. Yang saya lakukan hanyalah berjalan-jalan di pinggir pantai. Saat tiba di pelabuhan yang baru dibangun, Ubed menunjukkan saya pada sebuah rumah berpartisi biru langit dan berlantai dua. Rumah yang berdiri di bibir pantai.

“Itu bang, rumah Perempuan Langit,” ungkapnya.

“Besar juga rumahnya!”

“He, nggak juga. Gedung berlantai dua itu adalah musolla. Ayahnya adalah guru ngaji.” Saya baru tahu kalau ayah Perempuan Langit adalah seorang guru ngaji. Muridnya sangat banyak sehingga santri putra dan putri harus dipisah; untuk putra di lantai bawah dan putri di lantai atas.

Esok harinya, tanggal 30 Januari 2011 pukul 09.37 WIB di desa Mandala, saya menerima telpon dari Perempuan Langit. Dia mengata-ngataiku dari A sampai Z. Dia juga sedikit berbagi cerita ketika cerpen saya itu terbit. Bahwa dia sempat menangis karena tidak kuat menahan ejekan dari teman-temannya. Saya hanya menanggapinya dengan senyuman walau sebenarnya saya sangat prihatin atas kisah yang dia tuturkan. Saya merasa amat berdosa padanya. Tika, maafkan saya….

Lalu, tiba-tiba dia menitip pesan pada saya untuk menyampaikan pesan itu pada orang tuanya. Jadi, saya memberanikan diri bertandang ke rumahnya meskipun resiko yang akan saya tanggung amat besar; jika sahabat LPM tahu saya pergi ke rumahnya, maka tamatlah riwayat saya. Pasti peristiwa ini akan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Benar! Entah dari mana isu itu merebak, sehari setelah saya bertandang ke rumah Perempuan Langit, pada tanggal 31 Januari 2011 tepat pukul 20.45 WIB di depan rumah Ubed saya disidang. Riyadi dan Fathol Alif yang bertugas di kecamatan Lenteng dan Manding datang. Acik dan Sauqi yang bertugas di Ambunten dan Dasuk turut hadir menyidang saya. Ada enam sahabat LPM pada malam itu. Riyadi sebagai hakim, saya sebagai terdakwah, Acik sebagai penuntut, Fathol, Sauqi, dan Ubed sebagai saksi. Saya dicerca dengan banyak pertanyaan yang intinya bahwa diam-diam saya telah menusuk sahabat saya bukan hanya dari belakang, tetapi dari depan. Jelas saya sangat jengkel dituduh demikian. Mereka hanya asal tuduh, tak pernah percaya dengan yang telah saya jelaskan.

“Bung, cobalah bersikap jujur, kita sudah dewasa. Apa benar kau mencintainya?” kata Riyadi.

“Ya, bang, biar semuanya jelas. Jika benar demikian, maka saya akan relakan dia untukmu,” ungkap Acik polos. Kata-kata itu mengalir amat sederhana, tetapi amat membanting perasaan. Hati saya hancur. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana perasaan Acik ketika berucap demikian. Saya tahu, ada unsur keterpaksaan dia berkata demikian. Hatinya pasti amat sakit.

Kemudian saya menjelaskan ulang bahwa saya pergi ke rumahnya diluar kehendak saya. Seandainya Perempuan Langit tidak menyuruh, niscaya saya tidak akan pergi ke rumannya.

“Jadi semuanya sudah jelas, Perempuan Langit secara tidak langsung lebih memilih Fandrik daripada Acik,” ungkapnya pada peserta sidang. “Untuk Acik, saya tahu, memang berat untuk melupakan seorang wanita yang amat kita cintai. Tetapi, jika kenyataannya sudah demikian, kamu harus melepasnya. Ini demi kemaslahatan persahabatan kita bersama,” kata Riyadi menyimpulkan hasil sidang.

“Ya, kak! Saya akan berusaha menerima kenyataan ini,” katanya pelan. Lantas tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirnya. Diam dalam kebisuan.

“Jadi, yang memenangkan perkara ini adalah Fandrik,” katanya menutup persidangan.

Bagi saya, kemenangan itu tak ubahnya petaka. Kesimpulan sidang itu telah meluluhlantakkan hati saya. Hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, saya telah menghancurkan mimpi sahabat yang telah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri. Saya merasa banyak berdosa telah menerbitkan cerpen itu. Pantaslah jika pagar makan tanaman disematkan pada saya…!

Malam itu, saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya selalu terbayang pada Tika-Acik-Tika-Acik-Tika-Tika dan Tika. Entah mengapa, dilain hati saya sempat berpikir, ketika sering memikirkan Perempuan Langit, saya merasakan bahwa di hati ini telah tumbuh benih-benih cinta. Benih itu tumbuh subur lantaran saya selalu dirudung kegelisahan pasca persidangan itu. Sempat juga saya merenung, mungkinkah saya telah jatuh cinta pada Perempuan Langit sejak pandangan pertama? Tetapi, saya tidak pernah menyadarinya.

Sejak persidangan itu saya sering memikirkan Perempuan Langit. Wajahnya selalu hadir dalam setiap kesendirian saya. Oh, tidak, saya sudah tidak bisa menafikan cinta ini. Tetapi saya tidak ingin benih-benih cinta ini tumbuh subur yang akhirnya hanya akan menjadi boomerang yang akan membumihanguskan persahabatan saya dengan Acik.

Jika ada orang yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, saya akan menjawab, saya selalu gelisah. Jika ada orang yang lebih spesifik lagi bertanya bagimana perasaanku pada perempuan langit, maka saya akan menjawab saya suka padanya, saya mencintainya. Tapi, tidak pernah ada kata HARAP Perempuan Langit mencintai saya juga atau bahkan membalas cinta saya, karena saya jatuh cinta pada gadis yang salah...!

Saya lebih tenang dan bahagia bila Perempuan Langit memilih Acik. Meskipun saat ini saya telah jatuh cinta padanya. Saya yakin bisa membunuh cinta ini. Haya satu yang saya inginkan, Perempuan Langit tetap menjadi sahabat terbaik saya, sama halnya persahabatan saya dengan acik. Persahabatan ini tak bisa ditukar dengan apa pun. Jika ada orang yang tidak percaya bahwa kata-kata lebih tajam ketimbang belati, maka perkenankanlah orang itu barang sejenak untuk membaca kisah saya ini…

Rumah Cerita, 12:34 AM

Keterangan: * Selengkapnya baca di blog saya www.rantingcahaya.blogspot.com

4 comments:

Anonymous said...

weleh weleh............... ternyata masih banyak ya kisah roman yang tak sempat tercatat rapi dalam buku hariannya.

Anonymous said...

salebber taoh

Anonymous said...

itu lakar lecekan

Anonymous said...

maaf ini ba' u2' ne bukan malih
blognya ba' u2' sedang bermasalah