Saturday, August 16, 2014

Spektrum Pendidikan Islam Berbasis Karakter dan Local Wisdom


(Dimuat di Majalah MPA Kemenag Jatim, Edisi 335 Agustus 2014)

Pendidikan merupakan tonggak majunya suatu peradaban. Imannuel Khan, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, mengatakan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Bagi Islam sendiri, banyak dalil-dalil yang menyerukan spirit pendidikan. Salah satunya adalah hadits “Uthlubu al-ilma mina al-mahdi ila al-lahdi” (tuntutlah ilmu dari sejak baru lahir sampai mati) yang kemudian menjadi fondasi “long life education”.

Spirit tersebut dapat dibuktikan dari pemakaian kata “Uthlub” yang berasal dari kata thalaba-yathlubu yang dalam etimologi bahasa arab adalah kalimat perintah (fi’il amr). Sejatinya, kata “thalaba” juga bisa berarti mencari. Memang, “mencari” tidak jauh berbeda dengan “menuntut”. Namun, beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa nilai jihad “menuntut” lebih tinggi daripada “mencari”. Mencari memiliki makna berusaha mendapatkan, menemukan atau memperoleh, sementara menuntut memiliki makna meminta dengan keras, mengharuskan supaya dipenuhi, berusaha keras mendapat hak atas sesuatu.

Dengan demikian, Islam sangat keras mendorong kaum muslim untuk menuntut ilmu. Apalagi ditambah dengan statement dari sejak lahir sampai pada liang lahat membuat pendidikan mutlah harus dilaksanakan.

Hakikat manusia sebagai wakil Allah (khalifah) di muka bumi, mengharuskan ilmu tidak hanya bisa dituntut saja, melainkan juga harus diamalkan. Sebagai khalifah manusia memiliki tugas menata dan memakmurkan kehidupan sesuai dengan kemampuan nalar pikir dan senantiasa menjalankan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Pada posisi ini, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sangat menentukan sejauh mana amanah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Terkait dengan dua tugas di atas, maka timbullah sebuah transformasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan Membangun Tradisi

Ada hal yang sangat menarik ketika saya berbincang santai dengan salah satu pengurus Pondok Pesantren Sidogiri, Keraton, Pasuruan, pada 21 April 213. Saya mengajukan pertanyaan bagaiman bisa Sidogiri sampai saat ini bertahan dengan kesalafannya (kajian-kajian keagamaan), sementara globalisasi dan modernisasi terus bergulir. Jawaban pengurus itu sederhana: Sidogiri menggunakan kurikulum salaf, sementara manajemennya menggunakan manajemen modern.

Mendapat jawaban seperti itu, saya kemudian ingat sebuah kalimat yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum nadhiyyin tentang memperahankan tradisi lama yang baik dan mengambi tradisi baru yang lebih baik (al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah).

Lebih jauh lagi, jawaban tersebut menuntun pikiran saya pada sebuah kajian implementasi pendidikan Islam kepada anak didik dengan mengkomparasikan pendidikan berbasis karakter dan pendidikan berbasis kearifan lokal. Sejatinya muatan pendidikan berbasis karakter dan pendidikan berbasis kearifan lokal di dalam pendidikan Islam sudah ada. Tinggal bagaimana berusaha merekonsruksi agar muatan dalam pendidikan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Seiring dengan cepatnya gejolak arus globalisasi dan modernisasi, pendidikan tidak hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahun saja. Secara luas pendidikan harus menjadi sebuah pembudayaan dengan membentuk karakter dan watak bangsa guna menyelamatkan anak didik dari dampak buruk globalisasi.

Dewasa ini mulai muncul apa yang disebut dengan kebudayaan global. Kebudayaan global bisa diartikan sebagai modernitas yang merupakan hasil dari proses modernisasi, yaitu pergeseran sikap dan mentalitas manusia untuk dapat hidup dengan tuntutan masa kini. Modernitas mempunyai pengertian masyarakat modern, gaya hidup modern, ekonomi modern, budaya modern, dan pendidikan modern.

Secara langsung ataupun tidak langsung, ide atau gagasan yang berkembang sebagai interaksi gagasan global mengakibatkan terjadinya perubahan sikap, nilai, dan norma seperti halnya perubahan gaya hidup (life style). Yang paling sulit dihindari adalah kenyataan bahwa manusia telah mengamali krisis global yang begitu kompleks dan multidimensional.

Terjadinya krisis global akibat pengaruh gerak globalisasi membuat pendidikan Islam memiliki tanggungjawab besar untuk membangun kesadaran diri pada pembentukan karakter anak didik secara utuh. Pembentukan karakter dimaksudkan agar anak didik dapat beradaptasi dengan baik tanpa harus terjebak dalam pusaran globalisasi.    

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan. Pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral yang dibentuk sejak dini agar menjadi karakteristik anak didik. Poin ini sesuai dengan tugas pokok Rasulullah SAW, “Innama buitstu liutammima makarima al-akhlaq” sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Aspek utama dari karakter manusia merujuk pada kualitas instrinsik semacam kejujuran, kebaikan hati, dan toleransi. Dengan demikian pendidikan karakter adalah sebuah proses yang dilakukan untuk untuk mencetak prilaku-prilaku tertentu sesuai dengan harapan tujuan pendidikan agar setiap peserta didik memiliki sebuah kebiasaan dan kesesuaian dalam prilaku yang tertanam dalam kehidupannya.

Selain daripada itu, pola pendidikan dalam sejarah penyebaran agama Islam, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia, melalui pendekatan kultural yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan dan moralitas. Pola pendekatan kutural mengindikasikan betapa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur suatu bangsa. Komparasi antara spirit moralitas dan nilai kearifan lokal mengantarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang sanga mudah diterima di seluruh penjuru dunia. Perbedaan karakteristik pada suatu bangsa tertentu tak menyulitkan Islam membingkainya dalam satu rumusan “la ilaha illa Allah”.

Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur dalam kekayaan budaya lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan, nilai, pandangan ‘lokal’ yang bersifat bijak dan arif. Pendidikan kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berhubungan dengan Allah (Hablu mina Allah), dengan manusia (hablu minan an-naas) maupun dengan alam (Hablu mina al-Alam).

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dan local wisdom dalam kerangka Pendidikan Islam di sekolah/madrasah?

Bertolak dari pertanyaan di atas ada dua gagasan pokok yang perlu digarisbawahi: reorientasi nilai dan akulturasi kebudayaan. Keduanya memiliki interaksi “intertekstual” sebagai jalan membangun kesadaran etis dalam konteks kebangsaan dan keberbudayaan. Pertukaran budaya global seperti yang diulas oleh Hasting Donna dalam bukunya Islam, Posmodernisme and Globalization (2007) apabila tidak diimbangin dengan prinsip nilai kearifan lokal akan merongrong budaya itu sendiri. Titik inilah yang menyebabkan terjadinya krisis global.

Kekuatan dari pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Karakter dan Local Wisdom, sejatinya tercermin kuat dalam prinsip al-Muhafadzatu ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah. Tinggal bagaimana seorang guru selaku stakehoder dapat mengimplementasikan dengan baik nilai tersebut kepada anak didik. Inovasi, kreativitas, dan progresivitas adalah tiga kata kunci yang perlu diintegrasikan pada proses pendidikan Islam agar bisa menyentuh nilai universal, yakni membentuk ummat yang kaffah.

Disinilah diperlukan adanya dorongan revitalisasi kearifan lokal yang relevan untuk membangun pendidikan berkarakter. Kearifan lokal pada gilirannya akan mampu mengantarkan anak didik untuk membangun sikap jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan.[*]

0 comments: