Sunday, March 16, 2014

Melatih Kesadaran Berbahasa

(Ulasan Cerpen Fandrik Ahmad, Buletin Mukjizat, Maret 2013)

Ketika seorang membuat cerita, maka saat itu pula orang tersebut sedang membuat fantasi. Meskipun cerita yang ditulis diangkat dari kisah nyata, tetap saja yang nama cerita lahir melalui jalur fantasi. Seperti apa kaitannya antara cerita dan fantasi?

Mari kita coba sama-sama menikmati kefantasian dari dua cerpen berikut. Cerpen pertama ditulis oleh Dika Afandi dengan judul Prolog; Di Akhir Penantian. Cerpen tersebut mengisahkan elegi kerinduan seseorang perempuan yang bernama Fierza. Fierza memiliki kekasih, Gian namanya, yang harus berpisah karena setelah lulus sekolah Gian kuliah ke Yogyakarta. Sementara Fierza? Cerpen ini tak dapat menjawabnya karena memang tidak menerakannya.

Sekian berpisah, Gian tak pernah berkirim kabar. Sampai kemudian sepucuk surat dari Gian mengabarkan kalau ia ditunangkan dengan perempuan lain. Inti surat itu: Gian lebih memilih Firza. Endingnya, Gian pulang menemui Fierza dan di tengah perjalanan terjadi kecelakaan. Selesai.

Bagi saya, Dika Afandi gagal menyuguhkan sebuah fantasi kepada pembaca melalui tulisannya. Ada beberapa hal yang bisa dibilang menjadi sebuah kecacatan. Pertama, Dika menulis cerpen tak ubahnya menulis Diary. Ia hanya bermodal perasaan dan bermain-main dengan kata-kata lebay. Ia tidak melibatkan semua panca indra agar kefantasian yang dibangun tampak hidup.

Kedua, logika bahasa. Mari kita simak cuplikan cerpennya: …kau berjanji untuk membawaku menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di setiap negara yang memilikinya. Mengendarai ikan paus di samudra lepas. Berada di puncak patung Liberty. Memesan seporsi Nachos yang gurih dan sexy di Meksiko. Mendapatkan gratis kupon makan dan belanja di Ride The Movies di Universal Studios Singapura. Bertemu dengan Minios dari Despicable Me.

Saya paham, penulis ingin memberikan kesan “WAW” pada tulisannya. Barangkali penulis tidak sadar bahwa kalimat tersebut telah merusak logika bahasa yang ia bangun. Saya tak menemukan petunjuk bahwa Gian benar-benar mampu mewujudkan janjinya. Misal, Gian Kaya, Anak konglomerat, dll. Yang saya tahu adalah Gian mahasiswa Yogya, memberi kabar dengan surat, dan pulang mengendarai bis. Apa istimewanya? Atau barangkali kalimat di atas hanya untuk lebay-lebayan?

Mari kita tinggalkan dulu cerita pertama. Kita masuk pada cerita kedua yang ditulis oleh Potre Latee II. Takdir, judulnya. Alkisah, seorang anak yang baru lulus sekolah. Ia segera ingin membagi kebahagiaannya (lulus sekolah) dengan kedua orangtuanya. Namun, alang bukan kepalang. Sesampai di halaman rumah, ia melihat duka menyelimuti rumahnya. Kebahagiaanpun tak tersampaikan. Selesai.

Takdir itu nasib. Saya sering mendengar kalimat pasrah, “kalau nasibnya sudah seperti itu, mau apa lagi”. Cerpen Takdir tak cukup memberikan gambaran “lain” tentang takdir. Munginkah apabila ada orang yang bertanya tentang takdir, apakah bisa terjawab dengan cerpen ini sebagaimana kalimat pembukanya, “Jika ada yang bertanya apa itu takdir, maka akan kuceritakan kisah ini.”

Saya kira, dengan memberikan judul Takdir, ada hal yang lebih spesifik yang ingin dibicarakan penulis tentang takdir. Tetapi nyatanya tidak. Penulis hanya bercerita dan cerita itulah yang dimaksud takdir. Bukankah cerita itu, tanpa harus dikatakan sudah termasuk takdir? Lahirnya cerpen Takdir juga karena takdir. Segala hal yang terjadi di dunia ini adalah takdir. Seandainya saya penulis cerpen yang pertama, bisa juga saya mengubah judul Prolog; Di Akhir Penantian menjadi Takdir. Toh, apabila mengacu takdir pada cerpen Takdir, cerpen pertama juga bisa.

Kita tahu betapa cerpen memiliki ruang sempit; terbatasi oleh ruang dan waktu. Dengan keterbatasan tersebut, judul harus lebih spesifik terhadap tema atau isi cerita disamping syarat umum sebuah tulisan: menarik.

Judul dan kalimat pembuka dalam paragraf pertama sangat menentukan ‘nasib’ cerpen di tangan pembaca. Apabila judul sudah tak menarik dan kalimat pembuka bertele-tele, pembaca akan merasa jenuh untuk mengikuti cerita selanjutnya. Jadi, judul harus menarik dan spesifik yang sangat mewakili isi atau tema cerita dan kalimat pembuka harus padat dan ringkas, jangan terlalu panjang apalagi bertele-tele.

Sejatinya, kedua cerpen tersebut sudah memiliki kalimat pembuka yang cukup baik. Namun, dirusak dengan kalimat kedua, dan selanjutnya yang saya rasa bertele-tele. Lihatlah! Cerpen pertama dibuka dengan kata “kau belum tahu”, yang dalam ilmu jurnalistik disebut dengan lead menuding langsung. Cerpen kedua juga demikian meskipun tak menyematkan kata “kau” untuk menarik pembaca masuk ke dalam cerita.

Cerita yang kuat lahir dari lingkungan yang sangat dikuasai oleh si penulis. Ini karena berkaitan dengan ikatan emosional, karakteristik, dan kesadaran berbahasa. Penulis yang berlatar lingkungan perkotaan tidak akan begitu cakap mengangkat persoalan pedesaan, begitupun sebaliknya. Semakin jauh tema yang diangkat dengan latar si penulis, semakin buruk pula hasil cerita yang diangkat.

Salah satu contoh adalah D Zawawi Imron yang melejit dengan puisi Celurit Emas. Puisi-puisi Pakde lebih banyak mengangkat persoalan lokalitas tanah Madura. Kenapa? Karena Pakde lahir dan besar di Madura sangat mengetahui seluk-beluk Madura. Oleh karena itu, renungi dan hayati cerita apa yang dapat kita angkat dari lingkungan kita tanpa harus menjadi “orang lain” ketika membuat cerita.

Sebagai sebuah karya, tak terkecuali dengan catatan saya atas beberapa kecacatan dalam kedua cerpen di atas, saya sangat menghargai dan mengapresiasi karena sudah tepilih untuk diterbitkan di Buletin Mu’jizat. Penulis yang besar adalah penulis yang tidak hanya menulis, tetapi juga membaca. [.]


0 comments: