(Ulasan Cerpen Fandrik Ahmad, Buletin Mukjizat, Maret 2013)
Ketika seorang
membuat cerita, maka saat itu pula orang tersebut sedang membuat fantasi. Meskipun
cerita yang ditulis diangkat dari kisah nyata, tetap saja yang nama cerita lahir
melalui jalur fantasi. Seperti apa kaitannya antara cerita dan fantasi?
Mari kita coba
sama-sama menikmati kefantasian dari dua cerpen berikut. Cerpen pertama ditulis
oleh Dika Afandi dengan judul Prolog; Di Akhir Penantian. Cerpen tersebut
mengisahkan elegi kerinduan seseorang perempuan yang bernama Fierza. Fierza
memiliki kekasih, Gian namanya, yang harus berpisah karena setelah lulus
sekolah Gian kuliah ke Yogyakarta. Sementara Fierza? Cerpen ini tak dapat
menjawabnya karena memang tidak menerakannya.
Sekian
berpisah, Gian tak pernah berkirim kabar. Sampai kemudian sepucuk surat dari
Gian mengabarkan kalau ia ditunangkan dengan perempuan lain. Inti surat itu:
Gian lebih memilih Firza. Endingnya, Gian pulang menemui Fierza dan di tengah
perjalanan terjadi kecelakaan. Selesai.
Bagi saya, Dika
Afandi gagal menyuguhkan sebuah fantasi kepada pembaca melalui tulisannya. Ada
beberapa hal yang bisa dibilang menjadi sebuah kecacatan. Pertama, Dika menulis
cerpen tak ubahnya menulis Diary. Ia hanya bermodal perasaan dan
bermain-main dengan kata-kata lebay. Ia tidak melibatkan semua panca indra agar
kefantasian yang dibangun tampak hidup.
Kedua, logika
bahasa. Mari kita simak cuplikan cerpennya: …kau berjanji untuk membawaku
menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di setiap negara yang
memilikinya. Mengendarai ikan paus di samudra lepas. Berada di puncak patung
Liberty. Memesan seporsi Nachos yang gurih dan sexy di Meksiko. Mendapatkan
gratis kupon makan dan belanja di Ride The Movies di Universal Studios
Singapura. Bertemu dengan Minios dari Despicable Me.
Saya paham,
penulis ingin memberikan kesan “WAW” pada tulisannya. Barangkali penulis tidak
sadar bahwa kalimat tersebut telah merusak logika bahasa yang ia bangun. Saya
tak menemukan petunjuk bahwa Gian benar-benar mampu mewujudkan janjinya. Misal,
Gian Kaya, Anak konglomerat, dll. Yang saya tahu adalah Gian mahasiswa Yogya,
memberi kabar dengan surat, dan pulang mengendarai bis. Apa istimewanya? Atau
barangkali kalimat di atas hanya untuk lebay-lebayan?
Mari kita
tinggalkan dulu cerita pertama. Kita masuk pada cerita kedua yang ditulis oleh Potre
Latee II. Takdir, judulnya. Alkisah, seorang anak yang baru lulus
sekolah. Ia segera ingin membagi kebahagiaannya (lulus sekolah) dengan kedua orangtuanya.
Namun, alang bukan kepalang. Sesampai di halaman rumah, ia melihat duka
menyelimuti rumahnya. Kebahagiaanpun tak tersampaikan. Selesai.
Takdir itu
nasib. Saya sering mendengar kalimat pasrah, “kalau nasibnya sudah seperti itu,
mau apa lagi”. Cerpen Takdir tak cukup memberikan gambaran “lain”
tentang takdir. Munginkah apabila ada orang yang bertanya tentang takdir,
apakah bisa terjawab dengan cerpen ini sebagaimana kalimat pembukanya, “Jika
ada yang bertanya apa itu takdir, maka akan kuceritakan kisah ini.”
Saya kira,
dengan memberikan judul Takdir, ada hal yang lebih spesifik yang ingin
dibicarakan penulis tentang takdir. Tetapi nyatanya tidak. Penulis hanya
bercerita dan cerita itulah yang dimaksud takdir. Bukankah cerita itu, tanpa
harus dikatakan sudah termasuk takdir? Lahirnya cerpen Takdir juga
karena takdir. Segala hal yang terjadi di dunia ini adalah takdir. Seandainya
saya penulis cerpen yang pertama, bisa juga saya mengubah judul Prolog; Di
Akhir Penantian menjadi Takdir. Toh, apabila mengacu takdir pada
cerpen Takdir, cerpen pertama juga bisa.
Kita tahu
betapa cerpen memiliki ruang sempit; terbatasi oleh ruang dan waktu. Dengan
keterbatasan tersebut, judul harus lebih spesifik terhadap tema atau isi cerita
disamping syarat umum sebuah tulisan: menarik.
Judul dan
kalimat pembuka dalam paragraf pertama sangat menentukan ‘nasib’ cerpen di
tangan pembaca. Apabila judul sudah tak menarik dan kalimat pembuka
bertele-tele, pembaca akan merasa jenuh untuk mengikuti cerita selanjutnya. Jadi,
judul harus menarik dan spesifik yang sangat mewakili isi atau tema cerita dan
kalimat pembuka harus padat dan ringkas, jangan terlalu panjang apalagi
bertele-tele.
Sejatinya,
kedua cerpen tersebut sudah memiliki kalimat pembuka yang cukup baik. Namun,
dirusak dengan kalimat kedua, dan selanjutnya yang saya rasa bertele-tele.
Lihatlah! Cerpen pertama dibuka dengan kata “kau belum tahu”, yang dalam ilmu
jurnalistik disebut dengan lead menuding langsung. Cerpen kedua juga
demikian meskipun tak menyematkan kata “kau” untuk menarik pembaca masuk ke
dalam cerita.
Cerita yang
kuat lahir dari lingkungan yang sangat dikuasai oleh si penulis. Ini karena
berkaitan dengan ikatan emosional, karakteristik, dan kesadaran berbahasa.
Penulis yang berlatar lingkungan perkotaan tidak akan begitu cakap mengangkat
persoalan pedesaan, begitupun sebaliknya. Semakin jauh tema yang diangkat
dengan latar si penulis, semakin buruk pula hasil cerita yang diangkat.
Salah satu
contoh adalah D Zawawi Imron yang melejit dengan puisi Celurit Emas.
Puisi-puisi Pakde lebih banyak mengangkat persoalan lokalitas tanah Madura.
Kenapa? Karena Pakde lahir dan besar di Madura sangat mengetahui seluk-beluk
Madura. Oleh karena itu, renungi dan hayati cerita apa yang dapat kita angkat
dari lingkungan kita tanpa harus menjadi “orang lain” ketika membuat cerita.
Sebagai sebuah karya,
tak terkecuali dengan catatan saya atas beberapa kecacatan dalam kedua cerpen
di atas, saya sangat menghargai dan mengapresiasi karena sudah tepilih untuk
diterbitkan di Buletin Mu’jizat. Penulis yang besar adalah penulis yang tidak
hanya menulis, tetapi juga membaca. [.]
0 comments:
Post a Comment