Sunday, April 15, 2012

Senandika Kemboja

(Dimuat di Tabloid NOVA, 16 April 2012)

Rerimbunan pelepah nyiur di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya. Di tepi muara, membujur seurut laut, perahu-perahu tertambat sehadapan dengan rumah-rumah nelayan, sejajar menghadap pasir menghampar. Rumah-rumah yang dirimbuni aneka cemara udang. Anyir ikan kering, apek, ngengat, dan busuk mendesir dari rumah-rumah itu.

Bocah-bocah pesisir melepas langkah-langkah tanpa beban. Berlarian di atas pasir basah, menunggu keberangkatan si bapak berangkat kerja. Melaut. Pada gilirannya, mereka akan diam seketika bilamana suara si ibu terdengar cempreng menyuruh bergegas naik ke surau.

Tembang saronen yang dimainkan lelaki tua di sebuah gubuk mempersolek sore lebih molek; mencairkan siklus kesuyian anak dan bini sewaktu perkampungan nelayan lenyap dari hingar-bingar kaum adam. Sementara, sepasang mata yang seperti menyimpan berjuta enigma, tengah menyorongkan keakraban pada pintalan air. Menatap perahu yang tampak kecil dalam pelayaran. Menyiratkan sesuatu yang benar-benar alamiah. Tentang buih perjalanan yang bergelombang. Tentang sesuatu yang hilang. Dan, tentang sebuah pengabdian diri seorang istri.


“Kang,” keluh Marhani pada kibaran secarik kain lusuh di ujung tiang pancang perahu. Warna gelap lebih ia sukai semenjak dunia tak menarik lagi baginya.

Berangkatlah ia dengan sekeranjang mawar dan kenanga. Kesetiaan, kecintaan, kasih sayang, dan rasa abdi seorang istri akan senantiasa ia tebarkan. Tapih dan kerudung warna gelap menyembunyikan sepotong rambutnya yang tergerai. Ketika para anak-bini nelayan mengantarkan lakinya melaut, ia malah ke kuburan.

Matahari membulat serupa kuning telur gosong. Angin pesisir berhembus cukup kencang meraup debur ombak. Menarikan kain hitam yang melilit kepalanya. Jalan setapak menanjak senyap. Marhani menatap panjang. Sejurus kemudian menjangkau semu pada perahu tua yang tertambat kaku di pangkal muara. Terkenanglah saat bercinta di atas perahu. Naluri berahi telah membebaskan dari norma dan etika. Laiknya sepasang gurami tertangkap jaring, begitulah Marhani dengan lelaki yang dicintainya saling berpagut erat. Lekat.

Tibalah langkahnya pada sepetak tanah terbentang cukup luas ke selatan. Sekuntum kemboja, pucat dan layu, lepas dari tangkai. Menyambut di pelataran. Dipungutnya kemboja itu perlahan. “Kurang apa aku, Kang,” senyum mengembang pada ceruk-ceruk bibirnya. Hembus angin mengalirkan kenangan. Tersirat.

Marhani menaruh kemboja itu dalam keranjang. Pada lanskap langit, burung-burung camar serta bangau hilir mudik ke peraduan. Langkahnya terhenti. Rimbun siwalan berjarak tak cukup jauh menyembunyikan dirinya dari pelukan senja. Di depannya, gundukan tanah ditumbuhi rumput-rumput kecil.

Sejenak, matanya terpejam—seolah—menyapa nisan bertuliskan nama orang yang sudah tak asing lagi. Kepalanya tertunduk. Aneka bunga ditabur. Sekejap, mawar, kenanga, dan kemboja yang baru dipungut tadi, terkapar rata di atas pusara. Terbayanglah Marhani pada mawar dan melati yang bertaburan menghiasi hari pernikahan.

“Ini bukti kesetiaanku, Kang,” gumamnya memecah hening pekuburan. Tangannya meraba. Mengelus nisan kayu berbentuk kubah itu. Sentuhannya mengalirkan doa. Panjang. Ia buka mushaf kecil. Pada rapal yang dibaca, lirih suara itu menyebut sebuah nama yang terpahat pada sebongkah kayu nisan. Diikatnya nama itu dengan simpul-simpul tawasul: Indrajid bin Slamet. Ayat demi ayat surat Yaasin dibaca nyaris rapuh di telinga. Lirih tapi santun. Angin mendesir. Kerudung berayun. Beberapa bunga kemboja kembali gugur membentuk satu gugusan. Marhani tak sempat memungut kembali. Khusyuk dalam semesta doa.

Lekat betul di ingatannya sebelas tahun silam, serupa kerak yang menempel pada dinding perahu. Bayang-bayang kedua orangtua Indrajid yang datang meminang sekaligus akan berembuk rencana pernikahan bila lamaran langsung disetujui.

“Bagaimana, Nak. Mau dengan lamaran Indrajid?” tanya emaknya.

Diam adalah bahasa paling tepat. Selain menunduk, Marhani tak memiliki jawaban sepadan. Dicurinya sepotong wajah yang hendak meminang. Tetapi, si empunya lebih dahulu bersenyum dan bersitatap tajam. Pandangan Marhani terpelanting ke lantai. Indrajid mesem-mesem.

“Kata reng konah kalau perempuan diam, tandanya setuju. Bagaimana?” timpal emak Indrajid mengalihkan pandangan pada emak Marhani.

“Baiklah kalau begitu. Dengan lapang kami menerima lamaran ini,” tukas emaknya.

Jawaban yang searah! Sungguh, Marhani sangat berbahagia mendapati Indrajid telah memenuhi janji. Sesal karena mengorbankan darah mengucur di tengah selangkangan sebelum kalimat sakral ijab-qabul dibacakan raib. Kini, baginya, lelaki itu telah membuktikan korban setia saat bercinta di atas perahu tua itu. Paling tidak, pinangan itu telah mengantarkan perasaannya pada titik simpul sebuah pertanggungjawaban.

Indrajid dipandang cukup berpendidikan. Seorang buruh nelayan, sempat menamatkan pendidikan sampai sekolah tingkat atas. Paling tidak, dengan pengalaman pendidikan setingkat itu, tak akan membuatnya kesulitan mencari pekerjaan saat nelayan libur melaut pada pergantian musim atau saat tera’ bulen. Jarang-jarang ada pemuda nelayan tamat sekolah sampai setinggi itu. Paling banter ikut si epak melaut. Menenteng jaring lebih gagah ketimbang memanggul tas. Begitulah yang dibangun.

Sedangkan Marhani, gadis pesisir yang tak tahu seperti apa pendidikan sekolah itu. Orangtuanya hanya mengajarkan alif, ba, ta, tsa… di surau menjelang petang. Selebihnya menanak, mengolah sayur, dan menjemur ikan. Selain daripada itu, kerap saban pagi, membantu ibunya berjualan nasi, berkeliling rumah-rumah nelayan, atau menunggu para nelayan pulang memanggul hasil tangkapan. Siklus kehidupan. Tak bosan-bosan dijalani. Banyak pemuda kampung ngiler pada perempuan pesisir yang kerap mengenakan sampir lorek tanpa sandal ketika berjualan. Marhani tak begitu cantik. Hanya karena warna kulitnya lebih putih ketimbang perempuan pesisir seusianya, ia lebih diunggulkan.

“Nak, kamu paraben, tak perlulah sekolah. Yang penting bisa masak enak, pasti sudah disayang suami,” kata si emak mengajari ilmu berumah tangga. Seperti sebuah sabda, kata-kata itu senantiasa ia pegang.

***
Matahari hampir rebah usai setitik air hampir jatuh dari kelopak mata. Pandangan Marhani kosong. Datar menghujam pusara. Abjad demi abjad di kayu nisan mendikti sesuatu yang masih membekas. Marhani menyingkirkan serakan daun-daun kering dan mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas pusara.

Terlalu banyak sisa kehidupan manis yang tersimpul. Namun, setiap kali mengingat, selalu ada lorong gelap membengkokkan pada sebuah perjalanan. Tak berujung. Tak berkelas. Bukankah kenangan datang bukan untuk dihukumi? Bukankah hidup tanpa refleksi merupakan hidup yang tak layak dijalani? Lagi, Marhani kalah oleh permainan angan.

“Keinginanmu segera aku kabulkan,” ujar Indrajid seraya memeluk.

“Keinginan apa?” Marhani heran.

“Lho, katanya ingin memiliki perahu sendiri. Sekarang aku akan membelinya pada Nyi Talhah, tapi dengan cicilan. Tak apa, kan?”

“Apa cukup bayaranmu?”

“Juraganku itu orangnya baik. Sudahlah, jangan banyak mikir. Sekarang, kamu tinggal tanda tangani surat ini.” selembar kertas disodorkan ke mukanya.

“Ini surat apa? Tanda tangannya di mana?” Sesuai dugaan! Kekakuan Marhani yang tak bisa baca-tulis betul dipahami.

“Ini, akad persetujuan kita membeli perahu dengan harga cicilan. Sini tanganmu, pakai cap jempol saja.” Telaten Indrajid menuntun tangan Marhani. Mengoleskan sedikit tinta pada jempol kiri dan meletakkannya pada selembar kertas itu. Jadilah, cap jempol!

Mata Marhani bercahaya. Betapa pun, itu merupakan surprize paling melambungkan hatinya meski kemudian berbuah meremukkan jiwa. Marhani tak tahu bahwa surat itu bukanlah akad persetujuan harga cicilan membeli perahu. Surat itu, surat izin poligami! Surat persetujuan menikahi Supinah, janda kembang anak Nyai Talhah, sudah terlanjur ditanda tangani.

***
Selembar daun kemboja gugur. Karena embusan angin atau karena batas umur, entah. Suara pintalan ombak mengisi pelataran kuburan yang hening. Satu lagi kuburan yang kerap dikunjunginya. Tak jauh dari pekuburan Indrajid. Kembali Marhani membuka mushaf kecil. Serak suara menyimpulkan doa-doa kepada orang yang telah banyak mengajarinya tentang kehidupan.
Di pusara itu, seketika panas hati Marhani tumpah. Tak ada satu pun sekat rasa yang memisah. Dengannya. Dengan emaknya.

“Mak, aku minta maaf. Aku tak bisa jadi istri solehah seperti yang selalu Emak ajarkan. Aku tak bisa menjadi diri Emak yang sabar menahan kemarahan Epak. Aku tak bisa…,” debur ombak menyembunyikan seraknya. Sebutir air menetes dari sudut mata. Bermuara di pusara. “Aku tak tahu, apakah jalanku bertobat akan dilapangkan oleh-Nya. Aku tak tahu, apakah masih ada tempat di surga bagi orang yang telah menyudahi napas suaminya sendiri. Tetapi, aku masih memiliki keyakinan kalau Emak tetap memiliki surga. Bukankah berulangkali Emak mengatakan kalau setiap perempuan menyimpan surga di telapak kakinya. Masihkah Emak simpan untukku?” Tangannya gemetar memungut daun-daun kering.

“Aku janji, mengajarkan cucu Emak untuk selalu taat dan patuh pada suami. Aku akan mengatakan bahwa epaknya adalah suami yang sangat bertanggungjawab,” desahnya. “Tetapi maaf, aku tak akan mengajarkan cara-cara emak berumah tangga, demi masa depan anakku. Tenanglah, Mak. Aku tak mengatakan kalau perempuan itu tak perlu sekolah. Perempuan juga harus sekolah. Pendidikan surau dan pendidikan sekolah sama penting. Seandainya emak masih hidup, tentu sangatlah bangga melihat cucu Emak selalu mendapat ranking kelas. Aku tak akan berhenti menyekolahkannya sampai ia menjadi seorang sarjana,” ucapnya lirih.

Marhani memungut sekuntum kemboja. Diciumnya bunga itu serupa mengecup kening emaknya...

Annuqayah, 01-11-11, 10:11 PM
Saronen: Alat musik tiup tradisional Madura
Oreng konah : Sebutan orang Madura untuk orang terdahulu (nenek moyang)
Tera’ bulen: terang bulan, seminggu pada pertengahan setiap bulan dalam kalender Hijriyah
Paraben : Perawan

2 comments:

Anonymous said...

Keren. Selamat ya...

Fandrik Ahmad said...

ya, terima kasih....