Friday, March 28, 2014

K. 17 L. 16


(Dimuat di Tribun Jabar, 16 Maret 2014)
K. 17
Tatapan perempuan itu beku seperti es. Perempuan bermata ilalang, teduh tapi sunyi. Aku tak menemukan bias cahaya di seraut wajahnya yang oval. Ia tengah menyorongkan wajahnya dengan bibir bergerak samar. Merapal sesuatu pada bunga-bunga yang berjejer di beranda rumahnya.
Sedang bernyayikah dia untuk bunga-bunga itu? Ah, barangkali ia hanya mencari perhatian. Hem, perempuan memang selalu ingin mencari simpati.
L. 16
Apakah ia orang baru? Sejak kapan berada di sini? Hem, Sepagi ini ia sudah rapi benar.  Sepertinya ia tipikal pekerja keras. Tidak. Tidak. Ia hanya seorang pegawai negeri yang dituntut waktu untuk melayani abdinya. Harus kuakui, ia memang mandiri. Di usia yang demikian muda sudah mengenakan baju safari. Mengagumkan!  
Berani-beraninya ia melempar senyum. Huh, pasti hanya sekedar basa-basi. Masa bodoh. Apa peduliku. Lelaki di mana pun selalu sama; para bedebah yang lalu lalang sejenak hanya sekadar menarik simpati perempuan.
K. 17
Perilakunya malah tambah aneh. Pertama kali kulihat ia bernyanyi, kemarin marah-marah, mengumpat segala yang ada di depannya. Sekarang terdengar lentingan kaca pecah dan teriakan memilukan. Semuanya dilakukan sendirian. Dua vas bunga di depan pintunya pun dibanting. Bukankah setiap pagi dia selalu bernyanyi untuk bunga-bunga itu? Perempuan gila?
Tidurku benar-bebar terganggu. Suara tangisnya melengking di langit-langir kamar. Memilukan. Aku paling tidak tega mendengar tangis perempuan. Lemahku ada pada air matanya.
Aku beranjak ke beranda. Perempuan itu tengah duduk mendekap. Di beranda. Wajahnya seperti kabut; kelam, suram dan pucat. Rambut acak-acakan karena dijambak sendiri.
L. 16
Ada yang mengetuk pintu? Jam lima pagi. Siapa? Remang di luar jendela membuatku malas. Ah, jangan-jangan itu Mas Fajri. Aku akan menuntut segala janji-janjinya!
Ternyata, lelaki itu. Kecewa, jelas.
“Maaf, apakah anda memiliki nomor telepon tukang servis WC? Sepertinya WC di rumahku mampet.”
“Anda siapa? Maaf tak sempat ganti baju,” selorohku. Matanya menelanjangi tubuhku yang terbalut lingerie. Semoga tak menyangkaku yang bukan-bukan.
“Saya Fandi, tetangga sebelah. Baru seminggu saya tinggal di kompleks ini. Rumah kita sehadapan.” Tanpa disebut, aku sudah tahu kalau rumahnya sehadapan.
“Tunggu sebentar.” Kutinggalkan sejenak lelaki itu. Ia memerhatikan segala macam benda di rumahku. Halaman pun tak luput dari sorot matanya. “Ini nomor teleponnya. Kalau tidak bisa, cobalah nomor yang satunya,” beriku.
“Terima kasih.” Ia pergi mengibas-ngibaskan nomor telepon yang telah kuberikan.
K. 17
Perempuan itu sungguh misterius. Cuma di bagian luar rumahnya saja yang menunjukkan keindahan. Tata ruangnya tak ada kesan rapi. Lantai kotor berserakan. Asbak di meja penuh dengan puntung rokok, terbalik menumpahkan isinya.
L. 16
Semakin hari, Fandi terus memerhatikanku. Apakah ia menemukan sesuatu yang istimewa? Ah, sudahlah. Tak berpikir macam-macam, batinku.
K. 17
Perempuan itu ternyata tinggal sendirian. Benar, dia perokok. Kerapkali aku menemukannya nge-fly, menikmati hisapan demi hisapan sebelum diempaskan ke udara. Lalu, ia memandang lekat asap membubung yang baru lepas dari mulutnya. Aku tidak suka perempuan perokok.
L. 16
Jangan harap kau bisa melarikan diri dariku. Aku akan membuatmu bertekuk lutut di kaki dan mengakui bahwa yang ada di rahimku adalah darahmu. Tak akan semudah itu kau melupakan Risa, perempuan yang kini tak pernah kau beri kesempatan untuk bermimpi pelangi. Kau harus memenuhi segala janjimu. Termasuk singgasana yang kau janjikan. Apa kau bahagia dengan kekasihmu yang baru itu? Jangan harap.
K. 17
Aku terkejut. Perempuan itu menungguku, duduk di depan pintu.
“Maaf, boleh aku masuk?”
“Ya, silahkan.”
Kejutku jadi gugup. Seksi nian dia dengan balutan kaos u can see dan celana Jeans. Senyum mengembang manja. Lekuk tubuhnya memompa jantung berdenyut lebih cepat. Namun sayang, pakaian mini itu hanya membuat lekuk perutnya yang jelek kelihatan. Gilakah? Ah
“Arsitektur yang bagus,” gumamnya.
“Tidak juga. Ruangan ini sama saja dengan ruang di rumahmu. Hanya penataannya saja yang berbeda,” jelasku.
“Ya, ya! Maksudku tata ruangnya. Tidak seperti rumahku. Kacau. Kapan-kapan maukah kau memperbagus tata ruang rumahku?”
“Dengan senang hati.”
Perempuan itu mondar-mandir. Sorot matanya menggeledah seluruh isi ruangan yang hanya berukuran kurang lebih enam kali lima meter itu. Sofa kecil, meja oval, televisi dua puluh sembilan inci lengkap dengan sound system dan DVD tak lepas dari padangannya.
“Oh, ya. Silahkan duduk. Mau munum apa?”
“Tidak terima kasih. Namaku Marisa. Panggil saja aku Risa. Itu foto siapa?”
“Oh, tunanganku. Sebentar lagi dia akan menjadi istriku,” ungkapku bangga.
“O…Selamat! Semoga menjadi pasangan yang serasi. Maaf, aku harus pulang.” Perempuan itu berlalu sebelum aku mengucapkan terima kasih atas pujiannya.
Kesimpulan untuknya hampir mencapai taraf kegilaan.
L. 16
Tidak! Tidak! Seharusnya bukan Fandi. Tetapi kau. Ya, kau! Kau yang harus bertanggungjawab.
K. 17
Perempuan itu, maksudku Risa, datang lagi dengan seonggok wajah seperti mayat. Tak ada cahaya sama sekali di parasnya. Teh yang kusodorkan langsung tandas diseruput tuntas tak berbekas.
Senandung elegi mengalun dari bibirnya yang kering dan pecah: hidup Risa terperosok oleh lelaki hidung belang yang mengatakan telah berjanji akan menikahinya. Hampir empat bulan ia menunggu lelaki bernama Fajri. Bukan ia yang memerlukan lelaki itu, tetapi segumpal darah di perutnya yang memerlukannya.
“Kau sudah menghubunginya?”
“Fajri selalu berjanji. Aku muak.” Jelasnya.
Kesimpulanku seketika beruba: Risa tidak gila.
L. 16
Tak apalah cerita ini tumpah kepada Fandi. Ia bisa dipercaya. Aku sedikit tenang. Tetapi, belum benar-benar tenang sebelum kau kuterlantarkan. Sepintar apa kau sembunyikan simpananmu? Aku pasti akan memburunya. Kau hanya anak tupai yang belajar melompat. Linda. Hem, nama simpananmu bagus juga. Entahlah, apa dia sebagus namanya.
Aku akan menusuk jantung Linda agar dadamu berdarah. Oh, tidak. Tak akan ada darah yang muncrat dari dadamu hanya karena kehilangan Linda, bukan? Kau pasti akan berpaling ke perempuan lain. Baiklah, kalau begitu aku akan menjadi pemburu setia para perempuanmu. Aku akan selalu mengunjungi rumah mereka dan mengalungkan melati ke lehernya. Bagaimana? Setuju? Pasti engkau mengatakan tidak. Ha..ha..ha..ha…
K. 17
Hampir setiap sore Risa bertamu. Ya, cuma sekedar bertutur remeh-temeh tentang lika liku kehidupannya. Di balik wajah yang terus berkabut, aku masih menemukan secercah cahaya di sana. Di pendar matanya.
“Kau tahu, pada proses penciptaan perempuan, malaikat sempat protes kapada Tuhan karena menciptakannya dengan begitu lembut,” ujarku mencoba menyulut kembali cahaya yang hampir redup itu.
“Lalu?”
“Ternyata malaikat tidak mengetahui betapa di balik kelembutan itu Tuhan memberikan kekuatan yang luar biasa.”
“Luar biasa!?”
“Ketika malaikat menyentuh dagunya, dia bertanya lagi, ‘Tuhan! makhluk ciptaan ini amat lelah dan rapuh, seolah terlalu banyak beban baginya,’ katanya. Padahal itu adalah air mata.”
“Untuk apa?”
“Pertanyaanmu persis seperti yang ditanyakan malaikat. Air mata adalah salah satu caranya mengekspresikan segala ekpresi hati: cinta, cemburu, sepi, derita, haru, bahkan benci.”
“Hebat!”
“Ya, Tuhan memang hebat dalam menciptakan perempuan,” kataku.
“Bukan Tuhan.”
“Siapa?”
“Raja Dongeng, kau. Maukah di lain waktu kau menceritakan yang lainnya,” senyumnya mengembang. Aku bahagia.
L. 16
Perempuan mempunyai kekuatan mempesonakan laki-laki. Ia bisa mengatasi beban bahkan melebihi laki-laki. Ia mampu tersenyum walau hatinya menjerit. Ia bisa menyanyi ketika menangis. Ia dapat menangis saat terharu. Bahkan ia bisa tertawa tatkala ketakutan. Perempuan mampu berdiri melawan ketidakadilan…
Terima kasih, Fandi. Aku makin yakin jalanku benar. Aku harus mampu melawan ketidakadilan ini!
K. 17
Wah, besok malam tunanganku akan datang. Aku harus meminta bantuan Risa untuk memasak makanan khas padang. Tetapi apakah dia mau membantuku? Ah, masa bodoh. Tak ada salahnya aku meminta bantuan. Yakin Risa membantuku. Lagi pula tak ada yang sulit baginya. Dia sangat jago dalam urusan ini.
L. 16
Fandi memintaku memasak masakan padang? Tak ada alasan bagiku menolaknya. Sebuah kesempatan membalas kebaikannya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Sayang, ia sudah memiliki calon istri. Tak mungkin aku merebut Fandi dari calon istrinya, karena akan menjadikan perempuan itu hidup seperti Zombie, sepertiku.
Beruntung sekali perempuan itu. Fandi pemuda baik dan mandiri. Tak sepertimu yang cuma obral janji. Seandainya sejak dulu aku mengenalnya, pasti akan lain cerita. Ah, seandainya bukan seandainya.
K. 17
Aku tak sabar menunggu kedatangan tunanganku. Hidupku serasa setengah mati dalam setengah tahun. Apa rambutmu masih tergerai sebahu, dokter? Dokter? Ya! Aku akan menyebutmu Dokter Linda sebagai apresiasi atas selesainya studimu. Jika sudah menikah, aku pasti akan mengubah panggilan itu: memanggil dengan sebutan Sayang. Sementara orang-orang harus memanggilmu dengan sebutan dokter atau nyonya. Ah, sebutan nyonya terlalu meninggikan derajat. Biarlah mereka menyebutmu ibu dokter saja.
L. 16
Malam ini, aku akan membawakanmu segelas anggur bercampur darah pacarmu. Bila perlu, air matamu juga turut kuperas dan kucampurkan agar rasanya nikmat seperti anggur tahun 90-an. Oh, betapa romantisnya. Kita mendentingkan gelas dan bersulam.
Anakku, malam ini aku akan menemui perempuan simpanan ayahmu. Kau harus tahu betapa buruk kelakuannya. Ia tidak hanya menduakan, tetapi menomersekiankan ibumu. Kuharap kau tidak bersedih hati. Kau harus bangga memiliki ibu setegar karang.
Masih ingatkah kau pada ceritanya Om Fandi? Perempuan mampu berdiri melawan ketidakadilan!
Perutku serasa bergerak, kendati kutahu, ini hanya perasaanku saja.
K. 17
Sudah setengah satu. Lampunya masih nyala. Apakah Risa belum tidur?
L. 16
Seumur hidup baru pagi ini aku menikmati udara segar. Otot-ototku serasa meregang setelah semalam menegang. Anggur yang kujanjikan sudah siap. Besok, aku akan mengajakmu bersulam. Tetapi, izinkan dulu aku memeras air matamu. Dan, maukah kau setia beberapa menit untuk menunggu anggur itu menjadi dingin di dalam kulkas? Aku berjanji akan melayalanimu tanpa menunggu pintamu, seperti dulu. Akan kubaringkan kau. Setelah itu, hanya kita yang tahu…
Lihatlah anakku, Fandi sedang duduk manis di beranda. Oh. Tidak. Fandi menagis. Apa yang terjadi padanya? Seharusnya ia berbahagia nanti malam akan menyambut calon istrinya. Jangan-jangan pertunangannya gagal.
K. 17
Lindaaaaaa…..!!!
L. 16
Linda? Siapa Linda?
Jember,12 Desember 2013

0 comments: