Saturday, December 24, 2011

Punk Rock Jalanan

(Majalah Hijrah, Edisi II Desember 2011)

Pekikan gitar menggema. Suara sumbang membahana dalam gerbong. Beberapa penumpang memberikan uang receh saat kusodorkan sebungkus Mie Sedap kosong. Kutelusuri gerbong-gerbong itu penuh semangat. Tak lupa seutas senyum aku haturkan pada mereka.

Saat kepala kereta api yang memanjang nampak semakin membesar memasuki stasiun, aku, si pengamen tetap di stasiun Kalisat, bersiap diri menghibur penumpang dengan gitar kecil. Berdiri di sisi jalur 1 atau jalur 2. Pengamen tetap adalah sebutan untukku sendiri tanpa ada pengakuan dari orang lain. Di stasiun itu tak ada pengamen legal atau pengamen kontrakan. Tidak. Semua tak ada. Aku katakan demikian karena aku tak pernah mencoba mengadu nasib di tempat lain; di Mall, di Kafe, atau di pasar-pasar sekalipun. Suara dan petikan gitarku hanya menggema di sekitar gerbong dan peron stasiun itu.

Jangan kira aku tidak terkenal. Orang-orang sudah banyak yang mengenaliku. Si Mattahli, dua puluh tahun menjadi pengamen di stasiun Kalisat. Tapi, jangan kau tanya siapa saja, aku ragu menjawabnya. Bukan aku tidak tahu, mereka juga bukan tak tahu siapa aku. Mereka tahu hanya tak mau tahu, karena aku hanya pengamen sebuah stasiun, bukan “pengamen” televisi.


Kereta api gaya Sri Tanjung jurusan Banyuwangi-Yogyakarta sudah berhenti di jalur 2. Beberapa penumpang naik-turun dari gerbong itu. Suara riuh bercampur aduk. Ada yang menjemput, ada yang melepas. Orang-orang berebut menawarkan jasa tranportasi. Dari abang becak sampai supir taksi.

Aku belum berani masuk ke dalam untuk menghibur para penumpang. Aku masih menunggu masinisnya keluar dari kepala kereta. Bukannya aku takut dimarahi, bukan pula takut kena pidana. Aku menunggunya hanya bermotif persahabatan. Ya! Aku selalu menunggu masinis kereta itu keluar dan melambaikan tangan padaku. Maka, barulah aku beraksi menghibur para penumpang. Kebiasaan ini sudah aku lakukan sejak dua puluh tahun yang lalu.

Penumpang yang naik-turun sudah kelihatan sepi. Masinis yang aku tunggu-tunggu baru keluar disertai dengan lambaian khasnya. Segera aku balas lambaian itu berikut dengan senyum renyahku. Kewajiban telah kutunaikan. Aku persiapkan gitar, sebelum langkah pertama ditegakkan. Segera aku menyisir gerbong-gerbong itu.

Secepat kilat kakiku melompat ke dalam gerbong. Wajah-wajah lelah sudah biasa aku temui. Aku berdiri di muka layaknya pramugari di pesawat terbang, tepatnya di tengah-tengah pintu gerbong. Tak pernah lupa kuberikan kata sambutan sebelum memetik gitar sembari berdendang. Mereka merupakan mutiara hidupku. Rejeki yang dititipkan Tuhan.
Sebuah lagu yang masih sangat terbilang populer kunyanyikan. Alamat Palsu meluncur dari suara sumbangku.

Tiba-tiba, memasuki pertengahan lagu, bocah yang duduk di depanku mabuk. Ia muntah. Sepatu bututku belepotan dengan muntahannya. Menjijikkan. Sempat aku berhenti berdendang.


“Maafkan anak saya mas,” ungkap ibunya cemas.

“Tak apa, bu,” ucapku ramah. Ia itu tersenyum.

Segera kembali kupetik gitar. Ke sana ke mari membawa alamat…

Usai bernyanyi, kukeluarkan plastik bungkus Mie Sedap dari dalam kantong. Kuulurkan pada mereka. Berharap ada logam yang jatuh. Tak banyak memang, juga tak sedikit yang bersikap tak acuh dan memalingkan muka saat menyodorkan “dompetku”. Yah! Itu biasa. Aku tak mempermasahkannya. Tujuan utamaku adalah untuk menghibur. Perkara urusan uang, itu efek samping dari apa yang kukerjakan.

Satu gerbong, satu lagu dihargai 5.100 rupiah. Lumayan juga. Lebih dari cukup untuk sekali mengganjal perut. Dalam satu kereta, aku hanya bisa memetik gitar di dua gerbong saja. Aku sudah memperhitungkan waktu yang aku punya. Untuk penumpang dan untuk masinisnya.

Aku tak pernah absen meluangkan waktu menghibur kepenatan masinis. Untuk yang satu ini, aku tak menyodorkan apa-apa. Berikhlaskan diri. Aku tahu, betapa berat menjadi seorang masinis. Disamping jarang pulang berbaur dengan anak dan istri, ia juga “menanggung” ratusan bahkan ribuan nyawa manusia.

Seperti biasa. Lagu-lagu lawas selalu menjadi pilihan utama mereka. Katanya, lebih mengasyikan dari pada lagu-lagu band, koplo, atau pun lagu disco. Saat aku menyanyi sembari memetikkan gitar, terpancar rona kebahagiaan di wajah mereka. Mereka yang rindu pulang.

Aku melompat dari atas lokomotif. Seutas senyum kuberikan sebagai bekal perjalanan. Kereta api melaju kembali. Di peron, lambaian tanganku mengiringi kepergian mereka. Selamat jalan kawan!

Aku melangkah menghampiri seorang gadis yang tengah duduk sendirian. Yang sempat aku tinggalkan barang sejenak. Yang selalu menungguku di peron paling utara, di bawah jam dinding stasiun kala aku bertugas memainkan gitar. Gadis yang telah menemaniku sejak empat belas tahun yang lalu. Umurnya kira-kira lima tahun lebih muda dariku.

“Coba tebak, aku dapat berapa?” kataku.

“Sembilan ribu tujuh ratus?” cetusnya tanpa ragu.

“Ya, tepat sekali!” Seutas senyum terurai dari bibirnya yang kusam.

Oh, ya! Delia nama gadis itu. Bagus kan untuk ukuran nama gadis stasiun macam dia. Ia baik, peramah, pemurah, dan satu lagi, ucapannya selalu menghiburku. Kedua matanya tak bisa melihat. Tapi ia tak tampak seperti gadis buta. Kecantikannya tak berkurang. Tatapannya tajam meski baginya terasa kosong. Delia tak pernah mempermasalahkan kekurangannya. Ia selalu optimis. Katanya, tak punya mata sungguh lebih baik dari pada tak punya hati. Buktinya, dia bisa menebak berapa banyak hasil uang yang aku dapat.

Empat belas tahun yang silam, aku menemukan Delia kecil kehujanan di sisi stasiun. Menangis. Pakaiannya basah. Aku tanyakan mengapa menangis, ia tak menjawab. Aku tanyakan asal-usulnya, ia juga tak menjawab. Akhirnya, aku menyerah. Aku duduk di sampingnya, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Sambil menunggu Kereta Api dari Surabaya yang akan tiba setengah jam lagi, aku lebur bersama permainan gitarku. Kupetik benang-benang itu dengan gemulai. Kulantunkan lagu sendu sebagai pengiring turunnya hujan.

“Suaramu bagus,” kata Delia memujiku.

“Kata orang suaraku hancur. Yang bagus itu petikan gitarku,” aku mengelak.

“Tidak! Suaramu yang bagus,” katanya lagi.

“Terserahlah. Toh, suara gitar dan suaraku saling melengkapi.”

“Maukah kau menyanyikan sebuah lagu untukku?” pintanya.

“Lagu apa?”

“Terserah. Aku hanya ingin kau bernyanyi untukku.”

“Tapi sebelum aku menyanyi, maukah kau menjawab satu pertanyaanku?”

“Jika tidak memberatkan.”

“Mengapa kau berada di sini?” ucapku.

“Aku suka bunyi Kereta Api,” katanya tanpa beban.

Cerita masa lalu mengalir dari mulutnya. Kakeknya adalah seorang masinis. Meskipun jarang berada di rumah, setiap kakeknya usai bertugas, ia selalu mendapat oleh-oleh. Tapi, kakek yang tiap kali tiba di rumah dan selalu memakaikan topi masinis ke kepalanya, sudah tiada lagi. Dua bulan yang lalu, kakeknya meninggal dunia.

Delia sangat terpukul. Kehilangan kakeknya lebih berat dari pada kehilangan penglihatannya. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ia tak mengenalikedua orang tuanya. Kakeknya tak pernah bercerita.

Delia memang tak bisa melihat, tapi ia bisa menitikkan air mata. Aku tak mau membawanya larut dalam kesedihan. Segara kupetikkan gitar. Mengajaknya bernyanyi bersama.

Sejak saat itu, hidupanku damai bersamanya. Gadis buta itu telah membukakan mata hatiku, bahwa sebenarnya hidup tak habis segalanya. Aku ingin menikahinya. Suatu saat nanti, entah kapan, aku ingin menikahinya.

***
Uang yang baru kudapatkan dari hasil memetik gitar diberikan cuma-cuma pada orang yang tak dikenal. Katanya, orang itu lapar dan minta makanan. Lalu Delia memberikan uang itu semuanya.

“Kenapa kau melakukannya,” bentakku tak terima.

“Dia lapar,” jawabnya.

“Dari mana kau tahu kalau dia lapar? Dengan mata,” sindirku tertawa kecewa.

Delia menangis. Air matanya berderai mengiringi kedatangan kereta api Gaya Baru jurusan Surabaya-Banyuwangi. Aku pun tak sempat menelusuri gerbong-gerbong itu. Aku frustasi.

“Jangan sembarangan percaya kepada orang. Bisa saja orang itu menipumu atau bahkan mencelakakanmu,” amarahku memuncak, tapi aku berusaha merendahkan suaraku.

“Lebih baik tak punya mata dari pada tak punya hati,” ucapnya dengan isak tangis yang tersisa.

Terserahlah, adalah hakku menuntut sebuah pertanggungjawaban. Uang itu hasil jerih payahku. Aku melangkah kecewa mendekati jalur dua. Delia, kutinggalkan di tempat biasa. Sesuai jadwal, lima menit lagi kereta jurusan Surabaya-Banyuwangi akan tiba.

Matahari terlihat cerah. Penumpang semakin banyak. Tukang ojek dan kenek semakin merapat. Calo juga ada—entah dengan copet. Penjual makanan, minuman, mainan berteriak dengan gaya khasnya. Obrolan mereka bercampur-aduk. Sesekali aku sempatkan melirik Delia untuk memastikan Gadis buta itu masih berada di tempatnya.

Sinyal Kereta Api masuk stasiun berbunyi. Lokomotif membesar hingga desiran angin menabrakku. Orang-orang berdesakan naik-turun. Dari lokomotif, masinisnya sudah melabaikan tangan. Aku tersenyum. Segera kutelusuri gerbong-gerbong itu. Menyanyi satu dua buah lagu sebagai bekal perjalanan mereka. Sungguh sangat beruntung hari ini, satu lagu dihargi Rp. 10.500! Aku melompat ke gerbong lain. Kupetikkan gitar lagi. Lumayan juga, dapat Rp. 9.700.

Bunyi gitarku berhenti setelah menghibur para masinis itu. Roda baja berputar dan terus menjauhi stasiun. Aku tak sabar mengabarkan kabar gembira ini pada Delia. Karena perbuatan mulianya mungkin rejekiku hari ini amat banyak.

Tapi, sorot mataku tak mendapatkan Delia berada di peron paling utara itu, di bawah jam dinding stasiun. Aku hanya menemukan sebuah topi masinis yang sudah usang. Topi peninggalan kakeknya. Kutelusuri seluruh peron, tempat parkir, loket, dan warung makanan, Delia tetap tak kutemukan.

Uang itu masih kugenggam erat. Berharap ia akan menebak berapa penghasilanku hari ini.

Muara Office, 08.48 PM

3 comments:

Lin Hana FAM879M, Anggota Jember said...

seah uy,,, mak jen okey nih,,,

Lin Hana FAM879M, Anggota Jember said...
This comment has been removed by the author.
Fandrik Ahmad said...

beh, marik yang mau nyusul...