(Dimuat di Jurnal Nasional 9 Maret 2014)
Akhir-akhir ini
pekerjaan Ibu bertambah. Awalnya tak kusebut pekerjaan, melainkan cuma
kebiasaan. Sulit memang membedakan antara pekerjaan dengan kebiasaan. Bukankah
pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Bukankah kebiasaan
adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang pula?
Saban pagi,
selalu begitu. Ia duduk mematut sunyi. Bibirnya mengatup rapat, bersenyum pucat. Kedua tangan bertumpu pada lincak bambu dengan bahu bersandar tabing.
Matanya sorong pada matahari yang baru mengecup kening bumi. Mata itu baru sedikit
teralihkan bila kaki-kaki lurus tegap dengan pacul dan sabit melintas di
depannya, di langkan rumah. Ia tidak sadar betapa telapak kakinya merusak rumah
undur-undur di kolong lincak.
Mata itu sudah
tak sejernih asalnya. Tetapi mata itu masih seperti gravitasi. Mencapit ruang
terkecil di suatu masa—yang sebagian orang sudah tak bisa mencapitnya—yang tak
kuketahui. Hanya mata laur itu yang tahu. Berbicara dalam sunyi. Bertutur tentang banyak hal yang miskin kata.
Sementar pagi terus
merangkak, kawat jemuran mengular tanpa pakaian basah, mulut tungku masih
dingin membisu, beras belum terkeramasi air, panci belum berpisah dengan leteng,
butir nasi belum terlepas dari piring. Semua itu korban dari pekerjaan baru Ibu
yang harus kukerjakan.
“Semoga hari
ini Akang dapat penumpang banyak,” kata Maryamah, tetangga sebelah. Memberi sebungkus
bekal mengayuh becak.
Ibu menoleh.
“Kakang
berangkat, semoga laku banyak,” kata Rapek, tetangga sebelah, penjual sayur. Menyalami
istrinya.
Ibu menoleh.
“Semoga panen padinya
banyak,” kata dua lelaki memulai percakapannya. Di depan Ibu.
Ibu mematung.
Tadi malam,
welang sangit tanda panen memang memadati dop 5 watt. Orang-orang yang nongkrong
di warung Mak Jamil dengan pesanan kopi pahit dan rokok murahan, berbagi kabar
tentang hasil panen.
Ibu bukan
perempuan yang tak mengerti makna denyar pagi. Bukan pula bagian dari perempuan
pemalas sebagaimana yang diterakan dalam sabda-sabdanya sendiri, yang katanya
tak boleh kucontoh. Bukan. Perempuan itu adalah Srikandi. Perempuan itu adalah
Kartini. Menurutku.
Dua nama pernah
melekat padaku sebelum yang terakhir melekat atas nama Duharani: Laila Fajrin
dan Aisyatus Siddiqoh. Sejatinya, penulisan yang benar adalah Dhuharani
sebagaimana kesesuaian dengan lisan bahasa Arab, namun karena guru SD—yang tak
mau disalahkan dengan alasan bahwa dalam bahasa Indonesia penulisan yang benar
memang Duha—salah menulis ijazah sampai terpakasa kuikhlaskan huruf ‘H’ selamanya lenyap.
Aku lahir tepat
pada kokok ayam pertama dini hari yang bertaut dengan suara tokek. Namun
tangisku pecah ketika gema adzan tiga langgar di kampung selesai.
Sauk dan
sakit-sakitan adalah alasan kuat pergantian nama Fajrin ke Dika. Maknanya tak
terlalu menyimpang dari tanda kelahirku. Tetapi pergantian itu tak
menyelamatkanku dari kondisi kesehatan fisik yang labil.
Duha memiliki
makna jauh lebih dalam, kata Ayah, suatu ketika 20 tahun lalu, sebelum menjadi sebaris
nisan 17 purnama lalu. Duha simbol kebangkitan, semangat, dan pencerahan. Waktu
dimana malaikat menebar rezeki kepada manusia. Momen penting mengarahkan manusia
ke mana harus melangkah dan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Duha menjadi waktu sebagai objek sumpah
Tuhan.
Penyuka semur
keong besusul dan oseng-oseng pakis itu tutup usia setelah pontang-panting
dirawat ke sana kemari. Kata dokter kolesterol karena keranjingan semur keong
besusul. Aku tak cukup mengerti apa itu kolesterol, apalagi Ibu. Saat itu, di
pikiran kami hanya bercokol sekotak ladang untuk dijual demi membiayai
kesehatannya.
“Dalam kondisi
apa pun, petani sejati pantang menjual tanah. Menjual, berarti menghianati Ibu
Pertiwi,“ larangnya. Kami pun tak jadi menjualnya dan membiarkan Ayah sekarat menjelang
ajal.
Di mana ada Ibu,
di situ Ayah pula. Keduanya memang tak terpisahkan kendati jarak dan waktu sudah
sangat jelas berbeda.
Lara! Ya, lara!
Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati,
yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata.
***
Ditinggal
tulang punggung keluarga adalah kenyataan yang tidak buruk amat. Buktinya,
sampai saat ini aku dan Ibu tetap berdiri tanpa kekar seorang lelaki. Sekotak
ladang yang pernah ingin kami jual, dapat digarap dengan baik. Ibu sempurna
menjelma Srikandi berdarah Kartini. Aku? Kau Prameswari, permaisuri di rumah
ini, kata Ibu.
Pagi berdenyar.
Tiga ekor kambing diseret-seret tuannya. Seekor ayam betina berkotek meningkahi
perhatian ayam jantan. Ibu membatu di lincak bambu.
“Mari, dibantu,”
tukasku.
Setumpuk cucian
dalam kantong beras kuserahkan padanya karena di atas kepalaku sudah bercokol
sebak peralatan dapur: bajan, panci,
piring, cobek, sendok serta kresek isi abu tomang
dan sabun colek.
Kami menuruni jalan
setapak menuju sebuah mataair di lereng bukit. Sampir motif lorek kembang cengkeh dijinjing setinggi lutut. Lepas
pandangan ke barat, hutan sengon terpancang kokoh. Konon, hutan itu merupakan
rahim dari kampung ini. Saksi peristiwa hebat, gerilyawan kampung menumpas
penjajah.
Hutan itu sekarang
menjelma tempat pencarian tambahan. Rerantingan kayu bisa didapat dari sana. Kalau sedang mujur, tak perlu memanggul
kayu sampai ke rumah. Lambaian tangan bisa segera meringankan beban di punggung.
Tujuh ribu rupiah! Raiblah pegal di badan.
Seberapa jauh
jarak terakhir kali Ibu mengais rerantingan di hutan itu, seberapa jauh
jaraknya terpental dari rombongan sesama pencari kayu, seberapa jauh pula Ibu menurunkan
pandangan pada jalan setapak, tak terbaca sudah. Lama sudah pagi tak terdengar
berisik di kandang.
Setiapkali
berpapasan dengan Ibu-Ibu yang nongkrong di emperan atau yang lebih dulu naik
turun bukit, mata kami selalu ditautkan pada jalan setapak. Barangkali mereka sudah
emoh mengeluarkan sepatah kata untuk kami berdua, hingga kata-kata yang hendak
mereka keluarkan diwakili oleh mata mata yang memandang sinis: lihatlah kedua
perempuan itu! Satunya janda tua, satunya perawan tua. Seperti itu kalau
milih-milih lelaki!
“Permisi, ya, Ibu-Ibu.
Kami duluan, ” seloroh seorang perempuan yang tiba-tiba nyerobot dari belakang.
Ada yang
tertusuk. Nyeri. Tak kubalas tatapannya. Setua itukah aku?
Di atas air
menggenang, berguguran daun-daun kering. Alang dan tanaman pakis tumbuh lebat
di sekitar pancuran dan di sepanjang sisi selokan. Ikan-ikan kecil mengambang—yang
melesat bilamana coba disentuh. Air beriak sepanjang selokan membentuk gugusan
kristal.
Aku dan Ibu menepi.
Menunggu sepi, menunggu sunyi. Menunggu Ibu-Ibu pergi.
***
Tujuan hidup
perempuan berujung pinangan. Itulah alasan kuat teman sebangkuku sudah banyak
memiliki dua anak. Besar-besar lagi. Apabila buah dada anak perempuan sudah
setumbuh jagung, tugas Ibu adalah mengajari anaknya belajar bersolek diri. Membawa
anak gadisnya ke acara perkawinan, khitanan, rokatan, kompolan, dan perayaan
desa lainnya. Tentu, tujuan akhir berharap memeroleh lirikan pemuda. Tambah
banyak, tambah bangga.
Ibu duduk mematung di emperan. Burung
pericit berjibun di pohon Randu. Ibu pernah memetikkan pelajaran berharga
untukku dari pohon itu. Pemahaman tentang arti berbagi. Di musim kemarau, ketiadaan
air terbatas. Untuk memaksimalkan asupan, daun-daun memilih mengugurkan diri
untuk memberi kesempatan putik-putik bunga agar tetap tumbuh mekar pada
waktunya.
Begitu pun sebaliknya. Putik-putik
itu akan berubah menjadi kapuk yang berterbangan disaup angin—yang kusebut
musim salju menyambangi ladang. Melambaikan tangan pergantian waktu
selanjutnya.
Aku menarik slot pengunci pintu
kayu. Sekantong cucian dengan ikatan rafia merah di bagian ujung kantong. Derak
pintu menolehkan pandangannya.
“Duduk dulu, Duk.”
Aku menyipit ke dekatnya.
“Kamu ingin lelaki yang bagaimana?
Kau sudah dewasa, kau layak berkeluarga. Lihatlah temanmu sudah punya anak
semua.”
Lekas saja aku merasa bersalah.
Inikah lara itu? Para lelaki yang datang hanya untuk pergi berjibun di kepala.
Lelaki berselempang sarung, lelaki berkumis tebal, lelaki berbulu lebat, lelaki
berambut klimis, lelaki dengan mobil T 120, dan entah lelaki mana lagi yang
pernah kutolak, sekarang datang lagi. Lelaki dari segala zaman. Di mata Ibu.
Ya, di mata Ibu.
“Kenapa nada Ibu menyerah?”
“Lihatlah kata orang: kau perawan
tua. Apa kamu tak malu? Apa kamu tak merasa iri melihat perempuan sebayamu
sudah menimang anak?”
“Aku belum siap.”
“Dari Ayahmu ada sampai tiada kamu
tetap bilang belum siap. Mau sampai kapan bilang begitu?”
Tegurnya tak lebih dari mengiba. Tak
ada yang bisa kuperbuat selain diam.
“Lihat! Keningmu, rambutmu, parasmu,
dan lekuk tubuhmu jelas usia telah memakannya. Kalau saja dulu Kakang tak
pernah mengatakan jangan terlalu memaksakan kehendak, mungkin sudah kau
kucarikan jodoh sendiri.”
Aku tercekat.
“Kemarin, Mad Jali datang kemari
membawa sekarung beras. Ia mengutarakan niatnya meminangku menjadi istrinya.
Setua apa pun manusia pasti membutuhkan pasangan hidup, termasuk Ibu. Tapi Ibu menolak.
Sebagai ganti kecewa, kuberikan tawaran lain. Denganmu.”
Aku tercengang. Ingatan tertubruk pada
sekarung beras di pilar dapur yang sempat kupertanyakan dalam hati.
“Demi Ibu, terimalah lamaran itu,”
suaranya mengecil namun serak.
Bagaimana mungkin aku menerima
lamaran itu, sementara garis seorang istri tidak boleh tidak harus siap
diboyong suami dari rumah asalnya, tanpa pesangon apa pun. Bila cuma tanpa
pesangon, tak masalah. Tetapi kebahagiaan yang Ibu pinta akan melapukkannya
sendiri di usia senja. Hidup sendiri.
“Aku belum siap,” sanggahku.
“Sampai kapan?”
“Entah. Selamanya mungkin.”
Mataku saling bertumbuk dengan mata
yang sudah tak kuat menahan genangan di ceruknya. Sadar tidak kuat bersitatap
lama dengannya, pohon Randu menjadi pengalihan menghindari mata itu. Seperti
pohon Randu, tujuanku sudah kutemukan, dan Ibu sendiri membantuku menemukannya.
(*)
Jember,
07 Desember 2013
0 comments:
Post a Comment