Sunday, March 23, 2014

Pelajaran Randu


(Dimuat di Jurnal Nasional 9 Maret 2014)

Akhir-akhir ini pekerjaan Ibu bertambah. Awalnya tak kusebut pekerjaan, melainkan cuma kebiasaan. Sulit memang membedakan antara pekerjaan dengan kebiasaan. Bukankah pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang? Bukankah kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang pula?

Saban pagi, selalu begitu. Ia duduk mematut sunyi. Bibirnya mengatup rapat, bersenyum pucat. Kedua tangan bertumpu pada lincak bambu dengan bahu bersandar tabing. Matanya sorong pada matahari yang baru mengecup kening bumi. Mata itu baru sedikit teralihkan bila kaki-kaki lurus tegap dengan pacul dan sabit melintas di depannya, di langkan rumah. Ia tidak sadar betapa telapak kakinya merusak rumah undur-undur di kolong lincak.

Mata itu sudah tak sejernih asalnya. Tetapi mata itu masih seperti gravitasi. Mencapit ruang terkecil di suatu masa—yang sebagian orang sudah tak bisa mencapitnya—yang tak kuketahui. Hanya mata laur itu yang tahu. Berbicara dalam sunyi.  Bertutur tentang banyak hal yang miskin kata.

Sementar pagi terus merangkak, kawat jemuran mengular tanpa pakaian basah, mulut tungku masih dingin membisu, beras belum terkeramasi air, panci belum berpisah dengan leteng, butir nasi belum terlepas dari piring. Semua itu korban dari pekerjaan baru Ibu yang harus kukerjakan.

“Semoga hari ini Akang dapat penumpang banyak,” kata Maryamah, tetangga sebelah. Memberi sebungkus bekal mengayuh becak.

Ibu menoleh.

“Kakang berangkat, semoga laku banyak,” kata Rapek, tetangga sebelah, penjual sayur. Menyalami istrinya.

Ibu menoleh.

“Semoga panen padinya banyak,” kata dua lelaki memulai percakapannya. Di depan Ibu.

Ibu mematung.

Tadi malam, welang sangit tanda panen memang memadati dop 5 watt. Orang-orang yang nongkrong di warung Mak Jamil dengan pesanan kopi pahit dan rokok murahan, berbagi kabar tentang hasil panen.
Ibu bukan perempuan yang tak mengerti makna denyar pagi. Bukan pula bagian dari perempuan pemalas sebagaimana yang diterakan dalam sabda-sabdanya sendiri, yang katanya tak boleh kucontoh. Bukan. Perempuan itu adalah Srikandi. Perempuan itu adalah Kartini. Menurutku.

Dua nama pernah melekat padaku sebelum yang terakhir melekat atas nama Duharani: Laila Fajrin dan Aisyatus Siddiqoh. Sejatinya, penulisan yang benar adalah Dhuharani sebagaimana kesesuaian dengan lisan bahasa Arab, namun karena guru SD—yang tak mau disalahkan dengan alasan bahwa dalam bahasa Indonesia penulisan yang benar memang Duha—salah menulis ijazah sampai terpakasa kuikhlaskan huruf  ‘H’ selamanya lenyap.

Aku lahir tepat pada kokok ayam pertama dini hari yang bertaut dengan suara tokek. Namun tangisku pecah ketika gema adzan tiga langgar di kampung selesai.

Sauk dan sakit-sakitan adalah alasan kuat pergantian nama Fajrin ke Dika. Maknanya tak terlalu menyimpang dari tanda kelahirku. Tetapi pergantian itu tak menyelamatkanku dari kondisi kesehatan fisik yang labil.

Duha memiliki makna jauh lebih dalam, kata Ayah, suatu ketika 20 tahun lalu, sebelum menjadi sebaris nisan 17 purnama lalu. Duha simbol kebangkitan, semangat, dan pencerahan. Waktu dimana malaikat menebar rezeki kepada manusia. Momen penting mengarahkan manusia ke mana harus melangkah dan apa yang akan dilakukan selanjutnya.  Duha menjadi waktu sebagai objek sumpah Tuhan.

Penyuka semur keong besusul dan oseng-oseng pakis itu tutup usia setelah pontang-panting dirawat ke sana kemari. Kata dokter kolesterol karena keranjingan semur keong besusul. Aku tak cukup mengerti apa itu kolesterol, apalagi Ibu. Saat itu, di pikiran kami hanya bercokol sekotak ladang untuk dijual demi membiayai kesehatannya.

“Dalam kondisi apa pun, petani sejati pantang menjual tanah. Menjual, berarti menghianati Ibu Pertiwi,“ larangnya. Kami pun tak jadi menjualnya dan membiarkan Ayah sekarat menjelang ajal.

Di mana ada Ibu, di situ Ayah pula. Keduanya memang tak terpisahkan kendati jarak dan waktu sudah sangat jelas berbeda.

Lara! Ya, lara! Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata.

***
Ditinggal tulang punggung keluarga adalah kenyataan yang tidak buruk amat. Buktinya, sampai saat ini aku dan Ibu tetap berdiri tanpa kekar seorang lelaki. Sekotak ladang yang pernah ingin kami jual, dapat digarap dengan baik. Ibu sempurna menjelma Srikandi berdarah Kartini. Aku? Kau Prameswari, permaisuri di rumah ini, kata Ibu.

Pagi berdenyar. Tiga ekor kambing diseret-seret tuannya. Seekor ayam betina berkotek meningkahi perhatian ayam jantan. Ibu membatu di lincak bambu.

“Mari, dibantu,” tukasku.

Setumpuk cucian dalam kantong beras kuserahkan padanya karena di atas kepalaku sudah bercokol sebak peralatan dapur: bajan, panci, piring, cobek, sendok serta kresek isi abu tomang dan sabun colek.

Kami menuruni jalan setapak menuju sebuah mataair di lereng bukit. Sampir motif lorek kembang cengkeh dijinjing setinggi lutut. Lepas pandangan ke barat, hutan sengon terpancang kokoh. Konon, hutan itu merupakan rahim dari kampung ini. Saksi peristiwa hebat, gerilyawan kampung menumpas penjajah.

Hutan itu sekarang menjelma tempat pencarian tambahan. Rerantingan kayu bisa didapat dari sana. Kalau sedang mujur, tak perlu memanggul kayu sampai ke rumah. Lambaian tangan bisa segera meringankan beban di punggung. Tujuh ribu rupiah! Raiblah pegal di badan.

Seberapa jauh jarak terakhir kali Ibu mengais rerantingan di hutan itu, seberapa jauh jaraknya terpental dari rombongan sesama pencari kayu, seberapa jauh pula Ibu menurunkan pandangan pada jalan setapak, tak terbaca sudah. Lama sudah pagi tak terdengar berisik di kandang.

Setiapkali berpapasan dengan Ibu-Ibu yang nongkrong di emperan atau yang lebih dulu naik turun bukit, mata kami selalu ditautkan pada jalan setapak. Barangkali mereka sudah emoh mengeluarkan sepatah kata untuk kami berdua, hingga kata-kata yang hendak mereka keluarkan diwakili oleh mata mata yang memandang sinis: lihatlah kedua perempuan itu! Satunya janda tua, satunya perawan tua. Seperti itu kalau milih-milih lelaki!

“Permisi, ya, Ibu-Ibu. Kami duluan, ” seloroh seorang perempuan yang tiba-tiba nyerobot dari belakang.

Ada yang tertusuk. Nyeri. Tak kubalas tatapannya. Setua itukah aku?

Di atas air menggenang, berguguran daun-daun kering. Alang dan tanaman pakis tumbuh lebat di sekitar pancuran dan di sepanjang sisi selokan. Ikan-ikan kecil mengambang—yang melesat bilamana coba disentuh. Air beriak sepanjang selokan membentuk gugusan kristal.

Aku dan Ibu menepi. Menunggu sepi, menunggu sunyi. Menunggu Ibu-Ibu pergi.

***
Tujuan hidup perempuan berujung pinangan. Itulah alasan kuat teman sebangkuku sudah banyak memiliki dua anak. Besar-besar lagi. Apabila buah dada anak perempuan sudah setumbuh jagung, tugas Ibu adalah mengajari anaknya belajar bersolek diri. Membawa anak gadisnya ke acara perkawinan, khitanan, rokatan, kompolan, dan perayaan desa lainnya. Tentu, tujuan akhir berharap memeroleh lirikan pemuda. Tambah banyak, tambah bangga.

Ibu duduk mematung di emperan. Burung pericit berjibun di pohon Randu. Ibu pernah memetikkan pelajaran berharga untukku dari pohon itu. Pemahaman tentang arti berbagi. Di musim kemarau, ketiadaan air terbatas. Untuk memaksimalkan asupan, daun-daun memilih mengugurkan diri untuk memberi kesempatan putik-putik bunga agar tetap tumbuh mekar pada waktunya.

Begitu pun sebaliknya. Putik-putik itu akan berubah menjadi kapuk yang berterbangan disaup angin—yang kusebut musim salju menyambangi ladang. Melambaikan tangan pergantian waktu selanjutnya.

Aku menarik slot pengunci pintu kayu. Sekantong cucian dengan ikatan rafia merah di bagian ujung kantong. Derak pintu menolehkan pandangannya.

“Duduk dulu, Duk.”

Aku menyipit ke dekatnya.

“Kamu ingin lelaki yang bagaimana? Kau sudah dewasa, kau layak berkeluarga. Lihatlah temanmu sudah punya anak semua.”

Lekas saja aku merasa bersalah. Inikah lara itu? Para lelaki yang datang hanya untuk pergi berjibun di kepala. Lelaki berselempang sarung, lelaki berkumis tebal, lelaki berbulu lebat, lelaki berambut klimis, lelaki dengan mobil T 120, dan entah lelaki mana lagi yang pernah kutolak, sekarang datang lagi. Lelaki dari segala zaman. Di mata Ibu. Ya, di mata Ibu.

“Kenapa nada Ibu menyerah?”

“Lihatlah kata orang: kau perawan tua. Apa kamu tak malu? Apa kamu tak merasa iri melihat perempuan sebayamu sudah menimang anak?”

“Aku belum siap.”

“Dari Ayahmu ada sampai tiada kamu tetap bilang belum siap. Mau sampai kapan bilang begitu?”

Tegurnya tak lebih dari mengiba. Tak ada yang bisa kuperbuat selain diam.

“Lihat! Keningmu, rambutmu, parasmu, dan lekuk tubuhmu jelas usia telah memakannya. Kalau saja dulu Kakang tak pernah mengatakan jangan terlalu memaksakan kehendak, mungkin sudah kau kucarikan jodoh sendiri.”

Aku tercekat.

“Kemarin, Mad Jali datang kemari membawa sekarung beras. Ia mengutarakan niatnya meminangku menjadi istrinya. Setua apa pun manusia pasti membutuhkan pasangan hidup, termasuk Ibu. Tapi Ibu menolak. Sebagai ganti kecewa, kuberikan tawaran lain. Denganmu.”

Aku tercengang. Ingatan tertubruk pada sekarung beras di pilar dapur yang sempat kupertanyakan dalam hati.

“Demi Ibu, terimalah lamaran itu,” suaranya mengecil namun serak.

Bagaimana mungkin aku menerima lamaran itu, sementara garis seorang istri tidak boleh tidak harus siap diboyong suami dari rumah asalnya, tanpa pesangon apa pun. Bila cuma tanpa pesangon, tak masalah. Tetapi kebahagiaan yang Ibu pinta akan melapukkannya sendiri di usia senja. Hidup sendiri.

“Aku belum siap,” sanggahku.

“Sampai kapan?”

“Entah. Selamanya mungkin.”

Mataku saling bertumbuk dengan mata yang sudah tak kuat menahan genangan di ceruknya. Sadar tidak kuat bersitatap lama dengannya, pohon Randu menjadi pengalihan menghindari mata itu. Seperti pohon Randu, tujuanku sudah kutemukan, dan Ibu sendiri membantuku menemukannya. (*)

Jember, 07 Desember 2013

0 comments: