Dalam
terminology politik, ada yang disebut black campaign (kampanye hitam). Istilah
tersebut bukanlah kampanye yang dilakukan malam hari, atau kampanye yang
dilakukan oleh orang yang berkulit hitam. Sederhananya, black campign adalah
sebutan bagi cara-cara atau permainan kotor dalam dunia politik.
Kata
black campaign merupakan serapan dari bahasa Inggris. black campaign adalah
suatu model perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina,
memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang
dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau
pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya dengan sampai
berbagai cara, bahkan membawa pemahaman agama untuk menghegemoni masyarakat.
Apabila
ilmu black campaign diterapkan untuk menyerang kelompok lain maka yang terjadi
adalah “efek karambol” yang dalam artian akan semakin mengular dan menimbulkan
perpecahan antara satu dengan yang lain. Apabila kondisi masyarakat sudah
demikian pecah, maka, calon yang terpilih akan sulit membangun pemerintahan
yang kuat dan kokoh.
Terkait
dengan persoalan black campaign, ada hal yang menarik dalam sebuah pesta
demokrasi di pedesaan, utamanya dalam hal Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Ada
banyak black campaign yang bisa ditemui di pedesaan, antara lain menghasut dan
apa yang disebut “Serangan Fajar”. Saya hanya akan membahas dua persoalan
tersebut, karena keduanya sudah sangat mencengkram demokrasi kita.
Pertama, menghasut. Menghasut adalah sebuah
cara untuk membuat opini kebohongan di masyarakat dalam rangka menjatuhkan
lawan politik. Contoh “Awas jangan pilih dia lagi. Kalau jadi, pasti akan
semakin banyak korupsinya”. Cara ini memang sangat lumrah atau biasa dalam
dunia perpolitikan.
Namun,
cara pandang masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan berbeda dalam
mengambil keputusan. Masyarakat pedesaan lebih cenderung menggunakan
self-culture. Tingkat kekerabatan di pedesaan jauh lebih erat dibandingkan
perkotaan karena struktur nasab sangat terjaga. Di samping itu, masyarakat
lebih menggunakan pendekatan emosional ketimbang pemikiran—hal ini dipicu oleh
tingkat pendidikan yang rendah. Karena menggunakan pendekatan emosional, maka
segala hal yang terjadi disikapi secara emosional juga. Sangat wajar apabila di
pedesaan, Pilkades lebih ‘meriah’ dan lebih ‘panas’ daripada pemilihan Bupati,
Gubernur, bahkan Presiden.
Sebagaimana
dalam teory psikologi, bara ‘panas’ pada perasaan akan berbuah marah. Apabila
bara ‘panas’ dipertemukan dengan kondisi yang ‘panas’ pula akan menimbulkan
amarah. Sehingga tak ayal dalam Pilkades kerap terjadi perselisihan antar
keluarga karena beda calon, perselisihan yang berakibat retaknya silaturrahmi
(tak nyapah), carok dan lain sebagainya.
Kedua,
serangan fajar. Serangan fajar merupakan istilah dalam dunia politik yang
menyebarkan uang kepada masyarakat pada waktu H-1. Cara ini memang sangat ampuh
diterapkan di pedesaan yang mayoritas memiliki tingkat ekonomi yang rendah.
Mereka sebenarnya bukan termasuk golongan orang yang pragmatis, hanya karena
pendidikan yang rendah kemudian ditopang oleh kebutuhan yang selalu kurang,
maka daya jangkau mereka sangat pendek. Apa yang ada sekarang adalah yang untuk
sekarang pula. Begitulah kira-kira.
Jadi, dengan begitu mereka mudah menerima
suap.
Sejatinya,
calon yang menggunakan metode seranga fajar adalah calon yang menjadikan momen
pemilihan (menjadi) Kepala Desa sebagai tempat investasi, bukan mencerminkan
sikap pemimpin yang memiliki sikap loyal terhadap masyarakatnya. Dalam hal ini
yang terjadi adalah hukum jual-beli, yakni bagaimana modal harus kembalu dulu.
Logika sederhananya seperti ini, apabila calon yang terpilih menghabiskan uang
400 juta untuk menyuap, maka pasti calon terpilih tersebut berupaya agar
modalnya tersebut harus kembali terlebih dahulu.
Selain
daripada itu, serangan fajar juga merupakan sebuah indikasi maraknya perjudian
pada tubuh demokrasi kita. Tentu, sebagaimana orang yang berjudi, menyuap orang
itu sudah menjadi hal yang lumrah. Di sini, masih menggunakan hukum jual-beli.
Banyak kasus seorang calon pilkades yang meminta bantuan dana kepada pemodal
(orang yang kaya) dengan sistem riba alias mabuduk pesse. Jika demikian, kasus
seperti lebih parah lagi. Logikanya, apabila seorang calon terpilih meminjam
uang 400 juta, maka ia harus mengembalikan dua kali lipat dari nominal itu
untuk melinasinya. Belum lagi masih belum memikirkan uang untuk dirinya
sendiri. Dengan demikian, uang yang dibagikan tidak ada artinya bila
dibandingkan dengan uang yang diambil oleh yang membagikan.
Memang
dalam kondisi tertentu, kita tak mudah menghindari praktik keduanya. Akan
tetapi, apabila kita berkikir jernih dengan mengandalkan
pertimbangan-pertimbangan yang matang untuk memilih, Insya Allah demokrasi yang
sesungguhnya akan tercipta dengan baik. Oleh karena itu, gunakanlah hak pilih
anda sebaik mungkin. Jangan diperjual-belikan dan jangan hanya sekedar
digunakan atas nama kekerabatan.
0 comments:
Post a Comment