(Cerpen Lan Fang, Suara Merdeka, 11 Desember 2006)
Kamar A5
AKU melihat perempuan muda itu masuk sendirian ke kamar
sebelah. Ia cantik berumur tiga puluh lima tahunan. Ketika melintasiku, ia cuma
tersenyum tipis, hanya senyum basa basi. Karena kulihat ada mendung di wajah
cantiknya. Sepanjang sore aku duduk di depan kamarku, tetapi ia tidak kelihatan
keluar dari kamarnya lagi. Sampai malam.
Kamar A6
Perempuan muda di kamar sebelah itu
tersenyum ramah ketika aku hendak masuk ke kamarku. Kurasa ia hendak mengajakku
ngobrol. Tetapi aku sedang tidak berniat ngobrol. Perempuan di kamar sebelah
itu muda, segar, dan cantik. Aku sempat mengintip sedikit dari tirai jendela
yang kusibakkan, kulihat ia tertawa ceria dengan seorang laki-laki separuh baya.
Sampai malam.
Kamar A5
Akhirnya perempuan di kamar sebelah
itu mengajakku ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang, ia mondar mandir keluar
masuk kamar dengan gelisah seperti sedang menanti seseorang. Ia bahkan tidak
memesan makanan.
Wajahnya keruh, muram, juga marah,
dan sedih. Sebenarnya aku ingin tahu kenapa. Tetapi ia tidak memberiku
kesempatan bertegur sapa. Padahal hampir semua penghuni rumah penginapan ini
sudah kukenal.
"Hamil ya? Berapa bulan?"
mendadak ia bertanya ketika sekeping sore jatuh dari kaki langit. Ia duduk di
teras depan kamarnya sendiri. Kelihatan sekali, pertanyaannya itu hanya
basa-basi daripada duduk melongo sendiri.
"Tujuh bulan," aku senang
ia menyapaku walau pun sekadarnya.
"Anak pertama ya?" ia
bertanya lagi.
"Untukku anak pertama. Tetapi
untuk bapak, ini anaknya yang keempat."
"Maaf, bagaimana
maksudmu?" ia tidak kelihatan ngobrol sekadar lagi.
"Ini kehamilan pertama untukku.
Tetapi bapak -maksudku suamiku- sudah memiliki tiga anak dari Teteh,
istri terdahulu."
"Ooo..." ia tidak
meneruskan percakapan.
Kamar A6
Akhirnya aku mengajak perempuan di
kamar sebelah itu ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang aku sudah menunggu.
Sampai capai, bosan, kesal, marah dan sedih. Aku sampai tidak mempunyai selera
makan sama sekali.
Tadi aku berpikir hendak sarapan
bersamanya. Tetapi ia tidak datang-datang juga. Katanya, sibuk, sibuk dan
sibuk. Entah pekerjaan apa yang membuatnya begitu sibuk sampai sulit sekali
untuk menemuiku. Padahal aku datang dari Surabaya ke Jakarta khusus menemuinya.
Tapi aku tahu, ia pasti disibukkan oleh istrinya.
"Kami dari Cilegon,"
begitu kata perempuan muda di kamar sebelah, ketika sekadar iseng aku
menanyakan mereka dari mana. "Bapak hendak membeli rumah di sini. Kami
sedang melihat-lihat kompleks perumahan di sekitar sini."
Perempuan muda itu memanggil
laki-laki yang diakui sebagai suami tersebut dengan panggilan
"Bapak". Laki-laki itu memang sudah kelihatan seperti bapak-bapak.
Kepalanya plontos dengan kacamata botol dan perut sedikit membuncit. Ia memang
lebih pantas menjadi bapak perempuan muda itu.
"Selisih usia kami memang jauh.
Bapak sudah lima puluh lima tahun dan usiaku dua puluh lima tahun,"
perempuan itu menjelaskan dengan nada tanpa beban. "Tetapi enak kok, Mbak,
kalau punya suami yang usianya lebih tua. Bisa ngemong dan lebih
pengertian," sambung dia santai.
"Bapak juga sangat adil dalam
membagi waktu, perhatian, dan keuangan kepadaku dan Teteh. Bahkan
belakangan ini, Bapak selalu memberiku sedikit lebih banyak karena aku sedang
hamil. Adil kan bukan sekadar harus sama rata, Mbak...tetapi sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan."
Ooooo..., aku jadi malas untuk
meneruskan percakapan.
Kamar A5
Kuceritakan kepada Bapak mengenai
pembicaraanku dengan perempuan di kamar sebelah. Kukatakan bahwa aku adalah
perempuan yang paling berbahagia ketika dikawini Bapak. Walau pun pada saat
mengenal Bapak, aku sudah mempunyai pacar yang seusia denganku. Tetapi entah
kenapa aku memutuskan untuk menerima Bapak, walau aku tahu bahwa Bapak telah
beristri dan mempunyai tiga anak yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di
bawahku.
Ketika mengenal Bapak, aku bekerja
sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor. Dan Bapak sebagai patner
usaha dari perusahaan di tempatku bekerja. Aku langsung saja mengiyakan lamaran
Bapak walau pun kedua orang tuaku keberatan karena selisih usia kami terpaut
jauh dan kedudukanku sebagai istri kedua.
Kamar A6
Aku sudah tinggal di sini dua hari.
Dan rasanya aku hampir meledak. Ia sama sekali tidak mengunjungiku. Kami hanya
saling menelepon atau bertemu di plaza terdekat, lalu ia terbirit-birit begitu
ada dering telepon dari istrinya. Ia begitu ketakutan dengan istrinya. Aku
marah tetapi tidak punya hak untuk marah. Aku sedih dan meratapi ketololanku di
kamar yang melompong.
Aku tidak tahan. Aku ingin cerita
kepada perempuan di kamar sebelah tentang kemalanganku. Aku mengenal lelakiku
sudah tiga tahun lebih. Aku menyayanginya lebih dari menyayangi diriku sendiri.
Kalau ditanya kenapa aku menyayanginya sampai seperti itu, aku juga tidak tahu
apa alasannya.
Bahkan kalau mau jujur, lelakiku
justru memiliki banyak kekurangan. Ia tidak kaya, tidak ganteng, tidak kekar,
tidak lulusan luar negeri, tidak mempunyai deposito, tidak punya sikap tegas,
dan banyak "tidak" "tidak" "tidak" yang lain.
Juga membuatku tidak tega meninggalkannya.
Tetapi aku malu cerita kepada
perempuan di kamar sebelah itu. Apa yang bisa kuceritakan kepadanya karena
lelakiku hanya memiliki kata "tidak" yang lengkap. Adapun Bapak
-suaminya itu- memiliki semua kata "ya" yang genap.
Laki-laki tua separo baya itu bukan
saja memiliki kekayaan, memberinya uang dan akan membelikannya rumah, tetapi
juga jelas-jelas mencintainya.
Kerap kudengar suara mereka tertawa
di teras kamar. Mereka bercerita dan saling berbicara dengan nada lemah lembut.
Kalau pun lelaki itu berada di rumah istri tua nya, lelaki itu tidak segan
menerima teleponnya. Lalu lelaki itu segera terbang ke pelukannya.
Bagaimana dengan lelakiku?
Aku bukan perempuan mata duitan yang
menuntut kekayaan darinya. Tetapi jangankan memberiku uang, memberiku sekilas
ciuman saja susahnya minta ampun. Ia mau bermain api tetapi tidak mau terbakar.
Ia suka bermain air tetapi tidak mau basah. Ia melarangku SMS bahkan jeritan
teleponku ratusan kali pun tidak diterima bila ada istrinya. Ia selalu kalah
dengan teriakan dan bantingan pintu istrinya. Lalu ia seperti balita kebelet
ngompol, lari terbirit-birit meninggalkanku bila istrinya sudah memekik di
telepon seluler. Dan terus menerus berjalan begitu. Siapa yang tahan?
Sampai saat ini ia tega membiarkan
aku terkapar terbakar kerinduan di kamar ini. Aku bukan sekadar gemetar
inginkan napasnya menyentuh kulitku.
Lebih dari itu. Aku ingin ia
mengerti bahwa napasku untuk hidupnya. Aku ingin waktu berhenti ketika aku
bersamanya. Karena semua yang ada pada diriku untuknya. Akhirnya aku hanya bisa
menceritakan kemalanganku sambil tersedu sepanjang malam kepada tembok.
Kamar A5
Perempuan di kamar sebelah itu
benar-benar misterius. Dua malam ini tidur kami terganggu karena semalaman
entah berapa kali kudengar bunyi pintunya terbuka dan tertutup. Ia keluar masuk
kamar hanya sekadar mondar-mandir lalu duduk di teras kamar. Apakah ia tidak
tidur? Atau ia tidak bisa tidur? Dan besoknya kulihat matanya sembab dengan
pelupuk mata bengkak. Ia menangis. Pasti! Tetapi apa yang ia tangisi?
Kamar A6
Perempuan muda yang sedang hamil itu
benar-benar mengagumkan. Bagaimana tidak mengagumkan? Keberadaan perempuan
kedua di dalam sebuah rumah tangga akan selalu dihujat masyarakat sebagai
perempuan yang memalukan. Tetapi ia kelihatan begitu tenang, berbahagia dan
menikmati keberadaannya. Sementara aku kelincutan seperti ikan kehabisan air.
Tidak tahu harus bagaimana
"Aku tidak bingung dengan
statusku. Kalau suatu saat harus mundur, aku tidak keberatan untuk mundur. Asal
bapak bertanggung jawab atas anak yang kulahirkan. Karena aku masih muda. Aku
masih bisa kawin lagi," ia bercerita sangat ringan.
"Apakah kamu tidak memiliki
perasaan cemburu dan ingin memiliki?" tanyaku.
"Perasaan itu kadang-kadang
ada. Tetapi buat apa? Bapak mencukupiku semuanya. Aku tidak pernah kekurangan
apa pun."
Aku terperangah mendengar
jawabannya. Tetapi permasalahanku bukan karena lelakiku tidak seperti lelakinya
yang serba mencukupinya dari kepala sampai ke kaki. Juga bukan masalah apakah
aku bisa mencari laki-laki lain atau tidak.
Masalahnya, aku bisa mati kalau
hidup tanpa laki-laki itu!
Kamar A5
Aku bisa tertawa kalau ada yang
bilang cinta bisa bikin orang mati merana. Yang benar adalah orang bisa mati
kalau tidak punya uang.
Karena itulah, aku memutuskan untuk
menerima lamaran Bapak dan memutuskan pacarku yang kerjanya saja masih tanda
tanya. Walau pun ia lebih pantas jadi bapakku daripada menjadi suamiku, tetapi
yang jelas hidupnya sudah mapan. Daripada pacarku yang baru saja menyelesaikan
kuliahnya. Kapan aku bisa menikmati libur ke luar negeri, mobil mahal dan rumah
mewah? Aku tidak mengurangi jatah istrinya. Karena milik Bapak sudah berlimpah
ruah. Aku hanya mengambil kelebihannya sedikit. Kurasa aku tidak salah.
Tetapi kalau orang mencibirku sebagai
perempuan pengeretan, aku bisa marah. Karena aku tidak seperti itu.
Bukankah sekarang aku sedang mengandung anak Bapak? Aku akan memberikan seorang
bayi kepada laki-laki tua itu. Kalau pun aku tidak menjadi istrinya lagi,
tetapi anakku tetap akan menjadi anaknya.?
Kamar A6
Aku ingin sekali memberikan anak
kepada lelakiku. Karena anak adalah bagian yang hidup dariku dan darinya. Anak
akan membuat cinta tidak pernah berakhir. Anak membuat aku memilikinya utuh
penuh. Aku tidak perduli jika itu dikatakan salah. Karena tidak ada yang salah
di mata cinta.
Kamar A5
Aku tidak tahu apa yang salah dengan
perempuan di kamar sebelah. Karena sudah seharian ini ia tidak kelihatan.
Semalam juga tidak terdengar pintu kamarnya terbuka dan tertutup seperti
malam-malam sebelumnya atau langkah sandalnya yang terseret-seret di teras
depan.
"Aku menunggu seseorang,"
itu katanya ketika kami bertemu kemarin.
"Sudah ketemu?" tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Sebetulnya
sudah. Tetapi tidak bisa bicara."
"Kenapa?"
"Karena dia selalu sibuk,"
sahutnya seakan asal menjawab.
"Seandainya kamu bisa bicara
dengannya apakah kamu mau bercerita?"
"Maaf, bagaimana
maksudmu?" aku meniru pertanyaannya ketika
awal percakapan kami.
"Ceritalah tentang aku."
"Oooo...," aku tidak tahu
bagaimana harus meneruskan percakapan.
Kamar A6
Tidak salah kalau aku capai menunggu
lelakiku datang. Aku sudah
di sini tiga hari dan dia tetap
tidak punya waktu. Padahal sudah bermalam-malam aku menyisir sepi sampai tepian
pagi. Maka tubuhku yang penat kubaringkan di tempat tidur dengan perasaan
enteng. Di sisi bantal, kuletakkan amplop dari dokter kandungan yang menyatakan
aku positif hamil.
Aku harus istirahat. Kulihat ada
lingkaran hitam di mataku karena terlalu banyak menangis dan tidak tidur.
Tetapi aku takut, kalau sewaktu-waktu dia datang menemuiku, padahal aku masih
lelap. Karena buatku, waktu bersamanya sangat berarti. Aku tidak ingin
kehilangan sedetik pun.
Kamar A5
Ada seorang laki-laki yang mencari
perempuan di kamar sebelah.
Ia mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah
tetapi tidak ada yang membuka.
"Ketuk saja, mungkin sedang di
kamar mandi," kataku sok tahu.
Laki-laki itu mengetuk pintu agak
keras.
Tidak ada sahutan.
"Apakah ia keluar?"
laki-laki itu bertanya kepadaku.
Aku menggeleng dengan yakin.
"Dari semalam ia tidak ke mana-mana.
Ia menunggu seorang laki-laki."
Ketukan di pintu semakin keras.
"Apakah kamu yang
ditunggunya?" aku bertanya lagi.
Laki-laki itu diam.
Pintu itu bukan diketuk lagi. Tetapi
digedor. Lalu dibuka paksa dengan kunci serep milik penjaga wisma.
Bau tidak sedap menghambur keluar.
Perempuan itu tidur nyenyak di atas
tempat tidur.
Laki-laki itu terhenyak.
Tetapi telpon selulernya menyalak
nyaring. Suara seorang perempuan terdengar menggelegar di ujung sana "di
manaaaaa? Cepat pulangggggg!!!"
Laki-laki itu langsung membalikkan
badan.
"Hei, ada pesan
untukmu...," panggilku.
"Aku sibuk...," ia pergi
seakan terkencing-kencing.
Bahkan laki-laki itu tidak sempat
membaca amplop di sisi bantal perempuan itu.
Surabaya, 15.07.2006, 01.58 WIB
0 comments:
Post a Comment