(Cerpen Lan Fang, 08 Juli 2006)
"NYONYA Lan Fang, selamat pagi!
Bayinya cantik sekali," seorang perawat masuk sambil mendorong boks bayi
kecil dari kaca dan meletakkannya di sampingku. "Kalau kondisi Nyonya
sudah lebih nyaman, apakah hendak menyusui bayinya?" tanyanya sambil
membuka jendela.
"Suster, orang itukah yang
merawat taman di rumah sakit ini?" tanyaku ketika melihat seorang
laki-laki yang sedang memangkas rumpun bougenvile di halaman taman.
"Ini anak yang keberapa, Nyonya?"
"Sampai jam berapa ia
bekerja?"
"Suami Nyonya tentu sangat
senang mendapatkan bayi secantik ini."
"Suster, bisakah bayi itu
dibawa keluar?" akhirnya aku menukas dengan kesal.
"Tapi ini waktunya ia
menyusu."
"Beri saja susu formula. Saya
sedang ingin menikmati taman itu."
"Ng..."
"Saya yakin kalau
perawat-perawat di rumah sakit ini bisa merawat bayi itu dengan baik,"
tandasku.
Kali ini ia tidak berkata apa-apa
lagi. Ia mendorong boks bayi itu keluar dari kamarku. Sedikit rasa pening dan
rasa sakit di bagian bawah perutku, membuatku teringat bahwa empat hari yang
lalu aku telah melahirkan bayiku melalui operasi caesar. Sebetulnya, ini adalah
rasa pening dan rasa sakit yang sudah kesekian kalinya kualami, sehingga
seharusnya tidak perlu lagi kurasakan. Bukankah rasa ini yang setiap kali
kurasakan sehabis melahirkan bayi-bayiku?
Ini adalah kelahiran bayiku yang
ketujuh!
Aku menikah pada usiaku yang kedua
puluh tahun. Usia suamiku terpaut tujuh tahun denganku. Ia mengantongi sarjana
komputer dan bisnis keuangan dari Amerika. Dalam usianya yang muda, orang
tuanya sudah mempercayainya untuk menjalankan sebagian dari roda bisnis
perusahaan yang membiak besar. Bisa kukatakan, suamiku adalah laki-laki ideal
impian para gadis. Entah aku kejatuhan bulan dari mana ketika keluarga besar
mereka memilihku menjadi istri laki-laki itu.
Aku tahu bahwa keluarga besar
mertuaku masih sangat kolot memegang tradisi. Mereka tidak sembarangan memilih
menantu. Kalau cuma sekadar mencari gadis cantik, kaya atau berpendidikan tinggi,
pasti mereka bisa mencari gadis lain yang jauh melebihiku. Ditilik dari segala
segi, aku hanyalah kontestan yang tidak diunggulkan menang dalam perebutan
posisi menjadi menantu di keluarga itu. Bahkan sangat dimungkinkan aku
tereliminasi di babak-babak awal.
Tetapi ternyata mereka memilihku!
Sudah tentu aku mau!
Dan point kemenangan itu
adalah aku dilahirkan pada hari, bulan, tahun, waktu yang bagus. Berdasarkan feng
shui , shio ku cocok dengan shio suamiku. Setelah semua aspek
dihitung oleh calon mertua perempuanku, diantara semua gadis yang dicalonkan,
akulah yang akan membawa nasib keberuntungan, harmonis, umur panjang dan banyak
anak...
Banyak anak... banyak anak...banyak
anak...
Dua kata itu mendengung seperti
bunyi sekumpulan tawon yang menyerang telingaku. Aku memang sudah melahirkan
banyak anak untuk suamiku. Enam anak! Apa kurang banyak?
Sakitku terasa menjadi-jadi. Bukan
saja pening, tetapi kepalaku seakan meledak dibombardir bom nuklir. Otakku
seperti milk shake yang terkocok-kocok. Batok kepalaku seperti sudah
menjadi serpihan kaca pecah. Masih ditambah payudaraku yang bengkak membatu
karena air susu yang mendesak-desak. Membuat sakitnya terasa menjalar sampai ke
ketiak. Bagian bawah perutku memilin-milin mengembalikan rahim yang membesar
agar menciut kembali. Kulit perut yang menggelambir seperti leher sapi dengan
guratan-guratannya. Ketika aku miring ke kiri, seonggok kulit itu pun ikut
menumpuk ke kiri. Kalau aku miring ke kanan, onggokan kulit itu juga ngeloyor
ke kanan. Kalau aku telentang, kulit lembek yang kisut itu melebar di seluruh
area perut.
Sebetulnya kondisi ini juga bukan
masalah.
Seperti yang sudah-sudah, sehabis
masa empat puluh hari bersalinku, aku akan menghabiskan banyak waktuku di salon
untuk menjalani program perampingan dan pembentukan tubuh lagi. Lemak-lemak di
seputar lengan, paha, punggung dan perut akan disedot. Payudara akan dibentuk
agar kencang kembali. Aku akan menjalani diet ketat. Juga senam aerobic
untuk mengencangkan otot-otot yang kendor.
Lalu...simsalabim!
Tubuhku kembali seperti patung
pahatan seniman Bali. Kembali menjadi tubuh sempurna yang memamerkan kemolekan
perut rata dan dada kencang. Untuk mengurus bayi pun aku tidak perlu pusing.
Karena bayiku langsung menempati kamar sendiri yang lengkap dengan bed set
dengan gambar kartun, dinding ber-wall paper, susu formula yang paling
mahal, dan seorang baby sitter yang akan menjaganya dua puluh empat jam.
Aku tidak perlu cemas dengan biaya
hidup atau biaya sekolah anak-anakku. Dengan kekayaan yang dimiliki suamiku,
semua makanan lezat, permen, gula-gula dan ice cream, selalu saja
tersedia. Bukan pula suatu yang sulit untuk membelikan baju dan mainan untuk
memenuhi lemari keenam putriku. Di kemudian hari, juga bukan hal yang aneh bila
putri-putriku bersekolah ke luar negeri. Jadi, melahirkan banyak anak, sama
sekali bukan masalah bagi suamiku atau mertuaku.
Beberapa bulan kemudian setelah aku
melahirkan anak yang ke sekian – yang ternyata anak perempuan lagi, mertua
perempuanku mulai mencekoki aku dengan jamu dan ramuan penyubur kandungan.
Kadang-kadang aku bertanya, apakah aku kurang subur? Bukankah aku sudah
memberikan cukup banyak cucu untuknya?
"Tetapi belum ada cucu
laki-laki," begitu jawabnya tenang seakan-akan aku adalah cetakan puding
agar-agar jelly. Di mana ia mengaduk sebungkus agar-agar jelly dengan gula
pasir dijerang di dalam panci, lalu setelah mendidih ia menuangkan ke dalam
cetakan plastik yang berbentuk aneka rupa.
Aku ingin sekali mengatakan kepada
mertuaku, aku sudah capek menjadi cetakan puding agar-agar jelly. Aku capek
melahirkan. Aku bosan gembrot dengan perut membusung, kaki membengkak, berjalan
terseok-seok, mengejan atau menjalani operasi caesar, lalu kembali dengan kulit
perut menggelambir seperti celana jeans yang harus dipermak.
"Kamu menantu tertua di
keluarga ini. Coba lihat, ipar-ipar perempuanmu semua sudah memberikan cucu
laki-laki. Masa kamu tidak bisa? Padahal hokky mu bagus. Kamu harus
mempunyai anak laki-laki yang meneruskan warisan perusahaan dan menyambung
marga," begitu mertuaku bersikeras dengan nada menyalahkan. Lalu apakah
aku harus mengatakan kepadanya bahwa secara teori kedokteran, jenis kelamin
bayi ditentukan dari khromosom Y yang dibawa spermatozoa anak
laki-lakinya pada saat pembuahan? Bukankah sel telur ovum perempuan
hanya mengandung khromosom XX? Jadi bukan kesalahanku kalau aku terus menerus
melahirkan anak perempuan. Walau pun aku bukan mahasiswa kedokteran dan
kebanyakan nilai ujianku hanya standar C saja, tetapi aku tidak terlalu bodoh
untuk mengingat pelajaran biologi.
"Lebih baik kita ke dokter
saja," begitu kataku kepada suamiku. "Kita menjalani proses
inseminasi saja, kalau perlu bayi tabung sekalian. Pilih semua khromosom Y dari
spermatozoa-mu, agar semua menjadi bayi laki-laki."
Aku sudah tidak tahan lagi menjadi
cetakan puding agar-agar jelly. Seharusnya suamiku yang lulusan luar negeri itu
bisa menerima pendapatku. Setidaknya ia bisa membelaku di hadapan mamanya bila
aku yang disalahkan karena terus menerus melahirkan anak perempuan.
"Ke dokter?! Hanya untuk
membuat bayi laki-laki saja kita harus ke dokter?! Lalu orang tuaku dan
saudara-saudaraku semua akan tahu bahwa aku yang tidak mampu memberi bayi
laki-laki! Begitu?! Gimana sih kamu? Yang benar saja. Itu akan mempermalukan
aku, tahu?!" suamiku malah mengomel panjang lebar kepadaku.
"Kalau begitu kita tidak usah
mempunyai anak lagi. Kita sudah punya enam anak!"
"Enam anak perempuan!"
tandasnya. "Semua saudaraku memiliki anak laki-laki. Sudah seharusnya kita
mempunyai anak laki-laki juga."
"Lalu?"
Lalu ketika suamiku mencumbuku untuk
calon bayi laki-laki lagi, kusuruh ia memadamkan lampu. Bukan karena aku
merasa minder dengan bentuk tubuhku yang sudah mengalami permak berkali-kali.
Tetapi karena aku merasa ini bukan kegiatan bercinta lagi yang membutuhkan
sarana untuk saling memandang pancaran ekspresi dari pasangannya. Ini hanya
sekadar aktivitas pembibitan seperti ayam betina petelor, seperti oven kue
bolu, atau seperti injection moulding machine di pabrik plastik yang
menghasilkan gayung yang sudah diproses melalui moulding dari biji-biji
plastik.
Dan hamillah aku untuk yang ketujuh
kali!
"Banyak anak itu banyak rezeki.
Apalagi kalau banyak anak laki-laki. Sepertinya kali ini kamu mengandung anak
laki-laki," kata shinhe yang memberikan obat penyubur. Mama juga
sudah bertanya kepada suhu yang menghitung feng shui, berdasarkan
perhitungannya, kali ini adalah anak laki-laki.
"Lalu bentuk perutmu juga
kelihatan berbeda. Tidak bundar seperti biasanya. Kalau perutnya sedikit
lancip, itu tandanya bayi laki-laki," mertuaku sudah sibuk sejak bulan
pertama kandunganku.
Ia menyuruhku memakan tim ayam,
madu, kacang hijau, sop buntut, dan semua makanan yang bergizi setiap hari.
Juga ramuan jamu Cina yang membuatku semakin muntah karena pahit dan getir. Ia
bahkan melarangku makan rawon dan kecap agar bayiku tidak sehitam kuah rawon
dan kecap. Ia menyuruhku memperbanyak makan telor dan susu, agar bayiku seputih
dan sehalus telor dan susu.
Dia membuatku merasa lebih cemas
sampai semakin lemas. Aku waswas sekali kalau bayi yang kukandung lagi-lagi
perempuan. Rasa takut dan khawatir itu membuat kehamilanku kali ini sangat
rewel. Aku sering muntah, mual dan pening. Sebetulnya itu adalah gejala biasa
yang dialami orang hamil. Tetapi karena rasa yang menghantuiku sangat mencekam,
maka segalanya menjadi tidak nyaman. Aku jadi malas merapikan diriku karena
tahu bahwa akan sama saja seperti waktu-waktu terdahulu.
Ketika aku berkaca, maka yang tampak
di pantulan kaca itu adalah sesosok tukang sihir. Aku kelihatan lebih tua dua
puluh tahun, kulit wajah yang lusuh, pori-pori wajah yang berminyak, mulut
cemberut, lingkaran mata yang cekung, sinar mata suram dan rambut kusut masai
ditambah perut yang kian hari kian membuncit.
"Itu tanda-tanda mengandung
anak laki-laki. Kalau mamanya tambah cantik, biasanya mengandung anak
perempuan. Tetapi kalau mamanya tambah jelek maka ia mengandung anak
laki-laki," mertuaku berteori.
Itu adalah teori mertuaku! Tetapi
kenyataan bisa berbeda dengan teori.
* * *
AKU memicingkan mata bukan saja
karena silau terkena sinar matahari yang pecah ketika berjingkat-jingkat
menerobos bingkai jendela kamar. Tetapi lebih banyak karena merasa seluruh
ruang berputar-putar naik turun seperti roal coaster.
Aku memencet bel berulang-ulang dan
seorang perawat masuk tergopoh-gopoh.
"Ada yang bisa saya bantu,
Nyonya?" tanyanya.
"Saya tidak mau dijenguk siapa
pun. Termasuk mertua dan suami saya!"***
(Surabaya, 11.05.2006, 00.15 WIB)
0 comments:
Post a Comment