Cerpen Lan Fang
05.03.2004: 06.00 - 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi
menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika
merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam,
aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi.
Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati
tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan
pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku
tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang
tahun. Mas Ari, seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan
Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet,
adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda
energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak
berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih
menunggu dari seseorang...
05.03.2004 : 09.00 - 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota
Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang . Anganku terbang ke dunia lain. Saat
ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah
butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang
membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis
dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note
book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah,
dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio
Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan
dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya , "Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang
gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!"
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media
yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di
jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio
Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan
suara serak kernet berteriak-teriak, "Boyo...Boyo...Joyoboyo... kiri...
kiri!" Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus
celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku
menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena
harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki
lima yang
berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno
bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis.
Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok,
tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan
bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah
kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi
untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa
dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi
uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka
adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka
parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan
bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis
semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut
di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku
karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.
05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam
hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum
juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan
penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan
selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya
diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar
hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki
itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat
membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota
menuju terminal kota
Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di
Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di
dalam angkutan kota
itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang
memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya.
Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku
bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap
detik yang kulalui bersamanya.
"Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku
tidak akan membuatmu menderita," begitu ia menawarkan asa di tengah
keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu.
Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir
panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata "ya"? Apakah aku dalam
kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan
yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki
itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak
mampu berkata "tidak". Juga seperti monster yang menarikku amblas
sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap "ya". Aku cuma
merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah
melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya... rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan
tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang
menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta .
Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan
naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal
pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya .
Padahal uang di dompetku tinggal lima
puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari
Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat
apa di belantara Jakarta
yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
"Aku Ian," begitu ia memperkenalkan diri dengan
hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke
Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
"Aku Metta," rasa nyaman yang hangat itu
membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah
aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang
baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu,
betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa
nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk
menerimanya.
Salahkah aku?
Ya... rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang
malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang
tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang
kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam
keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan
naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya
sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma
diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk
sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline
untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh
bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah --laki-laki yang
menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai
sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian
ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan,
sampai... ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan
kemungkinan terburuk: "berjalan sendiri"! Laki-laki itu duduk tanpa
menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku
merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak
berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi
sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri
seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan
menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang
mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil
telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua
lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit
rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang,
dan rasa asa.
"Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di
sisiku. Aku sayang sekali padamu..."
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah
heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang
dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang
kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku
adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang
di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia
yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Kau laki-laki kesepian... Kau hanya butuh perempuan
untuk ditiduri...," sahutku setengah geli acuh tak acuh.
"Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang
sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk
ditiduri," ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada
serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari
seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang
kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan
sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat
sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, "Bolehkah aku memeluk
dan menciummu?"
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku.
"Ah... kamu wangi. Aku suka wangimu," ujarnya ketika menghirup udara
di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun.
Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan
kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk
kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku.
Ajaibkah?
"Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku," kudengar
bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God...!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya
mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam
batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan,
halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta,
sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya
kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan
di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan
pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di
bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia
bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah
sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar
suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar
hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti...
05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku
melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku,
bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu,
basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu
menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap
yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran
di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung,
meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu,
pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di
dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika
pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
"Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami
menikah di gereja," ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
"Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu
bersamamu," apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
"Tidak mungkin."
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang
didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu
paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi
hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan
darah.....
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat
sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak
merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku
masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada
mailbox...
05.03.2004 : 22.00 - 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di
sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih
baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di
tempat yang tertinggi. "Lupakan saja... laki-laki itu menipumu...",
begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa
setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...laki-laki itu tidak
menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah
malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!
06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi
canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah
aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak
tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika
aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di
langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... bercinta dengan bayang-bayang sepanjang
malam!
(Surabaya :
05.04.2004: 08.45 PM: saat ini aku masih kasmaran!)