Monday, August 4, 2014

Slerok


(Dimuat di Republika, 6 Juli 2014)

Undangan dari Taris kudekap. Wewangian menguap dari kertas itu. Sungguh tak asing, aroma parfum yang kerap hilang dan tercium secara tiba-tiba. Lebih setahun aroma itu hilang namun membekas seperti kerak di kaki dermaga. Bersugesti.

Parfum itu manifestasi keindahan! Koarnya ketika kukritik aroma parfum itu. Kepalaku terasa pening karena menurut selera penciumanku Taris terlalu berlebihan memakainya.

Dia benar-benar ingin hidungku menyesuaikan diri dengan wewangian yang berubah setiap pakaian lucut dari tubuhnya. Kendati kerap bergonta-ganti parfum, hanya ada satu parfum yang disenanginya sehingga hidungku sangat peka.

Lebih dari itu, feeling berbicara lain. Taris hendak membentuk kepribadian baru dalam diri seorang yang tak suka aroma parfum, atau barangkali dia tak lebih hanya seorang penjual yang ingin menawarkan barang? Ya, Taris memiliki sebuah toko, La Tansa de Parfum, namanya. Ah, perasaan kadang kerap terlalu berlebihan.

Dia mengenalkan berbagai jenis dan merek parfum. Tentu saja, sebagai orang yang tak suka menggunakan parfum, aku sama sekali tak tertarik mengenali jenis wewangian, apalagi mereknya. Bila harus ada aroma pengusir bau yang melekat di badan, barangkali hanya deodoran. Bukan soal parfum yang melekatkanku dengannya. Perasaan peduli terhadap pendidikan di daerah tertinggal yang membuatku dekat dengan gadis bermata matahari itu.

Taris seorang petualang sejati. Dia aktivis lingkungan. Di kampus, dia konsen menggeluti bidang konservasi lingkungan. Menurutku, Taris perempuan yang unik: mengambil jurusan ekonomi, tetapi konsen pada konservasi lingkungan.

Cerita bermula ketika Taris melakukan observasi lingkungan di lereng Gunung Raung, pembatas antara Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Secara detil bercampur empati dia menceritakan temuan sekelompok penduduk dengan segala keterbatasan: pangan, kesehatan, sampai pendidikan.

Slerok nama kampung itu. Tumbuh di kawasan hutan pinus yang dingin dan tak ramah sinyal. Kendati berada di lereng gunung, sumber mata air tak lebih dari sekadar pancuran air kran. Slerok mirip dengan area yang hilang. Di saat penduduk kota Jember menyambut gembira event tahunan macam Bulan Berkunjung ke Jember, yang go international, masyarakat Slerok bersusah payah di lereng yang senyap nan asing.

“Sebenarnya tak ada yang perlu ditakjubkan melihat kondisi pendidikan seperti itu. Apa yang tidak ada di negeri ini. Meski sudah berganti rezim dan setiap kebijakan selalu diselipkan kata modernisasi dan pemerataan sosial, tetap saja ada yang terabaikan,” tukasnya dengan alis terangkat dan hampir bersentuhan.

Taris antusias membangun kembali area yang hilang itu. Seakan esok tak akan melihat kampung itu lagi. Salah satu terobosan pikiran yang dikembangkan adalah menghidupkan kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar yang sudah mati suri selama satu setengah tahun.

Sekolah dengan bangunan serba sirap itu hanya memiliki dua ruang kelas. Satu ruang untuk kelas 1-2-3 sementara kelas 4-5-6 di ruang yang satunya. Di ruang kelas hanya ada tiga gambar: presiden, wakil presiden dan burung garuda lengkap dengan lima butir pancasila. Tak ada peta, tak ada buku pengayaan, tak ada bank data kelas.

“Sekolah itu harus hidup. Sebagian anak-anak sudah ogah-ogahan belajar, lebih memilih mengumpulkan biji mahoni dan sengon dari pada turun-naik sekedar belajar cara berbahasa Indonesia dengan benar. Kaki-kaki itu sudah lelah setiap hari terluka kena batu cadas jalan setapak. Kasihan bukan, mereka juga anak bangsa.”

Masalahnya hanya Taris seorang yang iba. Taris sungguh mengerti betapa diantara para pecinta alam, dalam kondisi seperti ini, hanya aku yang bisa memahami perasaannya. Dan dia menutup cerita sembari merajuk dengan nada iba: Aku butuh bantuanmu.

Uluran tangannya tanpa jeda membuka cakrawala. Alif ba ta tsa, ilmu hitung, cerita rakyat, sampai pantun jenaka terselip renyah diantara tawa canda. Bau lapuk sirap dilahap rayap dan aroma keringat lenyap oleh wewangian di tubuhnya.

Tak mudah berdamai dengan masa silam yang sesekali bertandang sebagai rasa sesal. Namun, tatapan sendu bocah perempuan yang terbaring di atas lincak beralas rajutan serabut daun pinus menyadarkan betapa masa silam datang bukan untuk dihukumi apalagi dirutuki, melainkan harus menjadi cermin untuk melangkah hari.

“Sudah kuduga kakak pasti senang,” suara Wulan ringan namun menjerat leher.

Ada cahaya di matanya. Lidahku menebal. Telingaku mengental. Tangan Wulan terasa dingin menggenggam pergelangan tanganku. Energi itu tampak memberikan keyakinan betapa dugaannya tidak salah.

Bentuk alisnya yang tebal melengkung menipu pandangan seolah dia berbaring karena kecapean biasa. Sakit yang tak bisa dia lawan seperti sirna oleh senyum yang selalu mengembang. Bibirku terasa berat untuk ditarik, tetapi harus kutarik, demi Wulan.

Malam itu langit tampak bersih meski hanya dengan sedikit bintang. Memasuki pergantian musim, Gunung Raung seperti dipeluk duri-duri tajam. Angin berkesiur membangkitkan bulu kuduk. Deru generator meraung-raung. Sebentar lagi mesin itu bakal mati karena malam sudah cukup larut untuk tidak butuh cahaya. Generator itu hanya memiliki nyawa 6 jam per hari untuk menghasilkan tenaga listrik.

Benar! Raungan itu kini sudah mati. Rumah-rumah berdinding sirap dengan jarak yang berjauhan seperti sebuah peti mati peninggalan sejarah. Ada suasana dingin, gelap, dan muram, bergelantungan di dinding kamar.

Penduduk tak berani membangun rumah yang lebih megah dari itu. Lahan di sana secara legal milik Perhutani yang menanungi area hutan pinus. Memberikan izin permanen hanya akan membuat masalah baru soal urusan klaim kepemilikan lahan. Di samping memang, bangunan permanen susah didirikan karena kontur tanah yang berbatu dan jalan transportasi yang sangat sulit dilalui.

Dari celah dinding sirap, disitu aku leluasa melirik langit dengan dua bintang yang tertangkap oleh pandangan. Kesiur angin berdesir menudung reranting pinus. Deru serangga malam terasa lebih dekat. Ingin kumainkan harmonika, tetapi lidah rasanya terkunci untuk berirama.

Malam seperti kembali mendamparkanku sebagaimana malam pertama di tempat ini. Butuh waktu hampir seminggu tubuhku bisa menyesuaikan diri dengan suhu yang seperti sayatan pisau cukur. Selimut saja tidak cukup melelapkan mata. Dingin kerap melawan. Semalam suntuk waktu kuhabiskan duduk sengkil, memandang puncak Gunung Raung.

Lolongan anjing menemani pandangan sunyi. Pikiran berkelana pada suatu masa yang melelahkan. Taris pamit untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswi. Skripsinya mandek hampir tiga semester.

“Paling lama enam bulan,” pintanya.

Berat membayangkan saat dia tiada, aku seorang mengurus enam kelas sekaligus, kendati secara realitas cuma ada dua kelas. Karena keterbatasan fasilitas, saat ini, dua ruang kelas itu dipakai untuk kelas 1-2-3, sementara kelas 4-5-6 ‘dimutasi’ dengan sistem sekolah jarak jauh ke SDN Sumber Gadung, satu setengah kilo di bawah kampung Slerok. Peran ganda harus kulakukan: pukul enam mengantar anak kelas 4-5-6 dan pukul delapan mengajar kelas 1-2-3.

Bukan namaku yang tertulis di atas undangan. Undangan ditujukan untuk Ustadz Izzuddin, pengasuh pondok tahfidz, tempat Wulan belajar agama selepas lulus dari sekolah reot itu. Tanggal resepsi pernikahan sudah lewat dua bulan lalu. Wulan sengaja menyimpan undangan warna merah marun itu untuk menunjukkan kabar bahagia kepada seluruh penduduk Slerok. Orang pertama dia pilih adalah aku.

Wulan cuma segelintir bocah lereng gunung yang hidup karena mimpi-mimpi Taris. Taris memang jago membakar motivasi betapa hidup untuk mengabdi. Dia mampu mengubah keterbatasan menjadi ketakberhinggaan. Dia bukan hanya berhasil meyakinkan bocah-bocah untuk terus meraup ilmu demi menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, tetapi juga berhasil meyakinkan orangtua bahwa tak ada yang sulit asal mau berusaha. Sebagai orangtua, tentu mereka ingin ingin anaknya memiliki kehidupan lebih baik, yang tidak hanya mengandalkan tenaga fisik, naik turun gunung sekedar untuk bertahan hidup.

Kini, Wulan sudah pergi. Tubuhnya berdiri di puncak Gunung Raung dengan lambaian tangan yang khas. Dia tampak berpamitan sebelum melakukan perjalanan jauh, entah kemana. Gamitan tangan dingin itu masih membekas di pergelangan tangan. Baru terasa jika rasa dingin itu simbol kepasrahannya pada keadaan.

Akhir-akhir ini pikiranku dicekoki bermacam-macam argumen untuk meninggalkan Slerok. Apa yang perlu ditunggu lagi. Perempuan yang diharapkan datang sudah jelas tak mungkin akan kembali. Dia sudah memiliki imam, penuntun hidup. Membangkang pada imam berarti memaktubkan diri menjadi penghianat.

Senyum Wulan, dengan segala perjuangan dan kelelahan, membuat perasaan untuk meningalkan Slerok menyisakan rasa malu. Dia berjuang, membangun harapan sampai di atas kerongkongan.

Apakah kakak menyerah dan meninggalkan kami hanya karena Kak Taris tak kembali? Di dalam mimpi, berkali Wulan bertanya.

Dalam kondisi apapun, puncak gunung selalu tampak berwibawa. Bulan sabit bertengger di atasnya seperti bando anak perempuan yang terlepas. Rindu ini tak akan pernah berada di titik nadir.

Undangan itu masih kudekap. Dada terasa pecah. Mata jadi perih ingat pesan Wulan: sampaikan salamku pada Kak Taris.

Ada senyum di sana. Di puncak Gunung Raung.

Jember, 1 Juni 2014
(Dedikasi untuk alm. Ribut Sri Wulandari)

0 comments: