Friday, September 5, 2014

Surat dari Jules Cotard


(Dimuat di Majalah Horison, Agustus 2014)

Aku tak perlu menunggu mati hanya sekedar merasa mati. Ceramah atau nasehat sebelum mati sebagai bekal menembus alam lain, yang katanya penuh fantasi, menjadi semacam angin musiman yang merontokkan dedaunan tua. Cerita panasnya lautan neraka berikut indahnya taman surga menjadi hal yang sungguh-sungguh aneh—bila tidak ingin dikatakan lelucon.

Suatu pagi. Di beranda. Kulitku tersentuh ujung arang cerutu yang dikepit tangan kakek. Kicau burung kakek yang ditarik ke langit-langit dengan ketinggian derajat tertentu telah melupakan satu hal dalam pikirannya jika aku tengah di dekatnya, mengajak mendengarkan kicauan burung yang diberi nama Si Murai Jalul. Kedengarannya cukup aneh, bukan? Jalul adalah simbol sayang kakek kepada burung jenis murai itu.

Si Murai Jalul hanya satu dari sekian burung piaraan Kakek. Di belakang rumah, burung Kacer beradu sahut dengan burung Cucak Jenggot. Jalak Suren juga masih belum dimandikannya. Ya, kakek pernah mengatakan ingin menghabiskan masa tua dengan pekerjaan yang amat disenanginya. Aku baru tahu kalau pekerjaan yang amat kakek senangi adalah memelihara burung setelah kakek mengaku bahwa dirinya sudah tua. Kakek kerap mengatakan ingin terbang, bebas, tanpa beban, tanpa tujuan. 

Kulitku terkelupas. Merah. Tidak panas. Tidak sakit.

“Aduh, kasihan cucuku. Maaf, ya,” Air mukanya menggantung sesal. Matanya belingsatan ke segala sudut rumah. Cerutu itu segera di buang ke seberang pagar. Tangannya segera mengelus-elus tepian lukaku. Matanya celingakan. Semoga tak ada yang tahu, tebakku pada mata itu. Ah, kakek.

“Kakek…!” Alang bukan kepalang, Ibu muncul dari balik tanaman bonsai. Teriakannya seratus persen akan mengagetkan seisi rumah, seperti gempa baru bertamu. Ayah yang cuek karena pekerjaannya dan si pembantu yang paling malas mendengarkan ocehan akan menghampiri teriakan itu.
“Sudah kukatakan jangan dekat-dekat dengan Ari,” sergahnya. Ari, namaku. “Kakek itu ceroboh!”

Ayah yang sudah seperti orang hendak balas dendam juga segera mengumpat. Kepada Ibu, bukan kakek. “Ada apa ribut-ribut?” atau “Tidak bisakah diam sebentar. Aku terganggu.” Hem, entah, kendati aku terlahir dari daging kedua orang itu, aku tak memiliki banyak pembendaharaan kata sebagai tera bagaimana keduanya dapat menjalani hidup bersama sampai sekarang.

Tak terima dengan bentakan Ayah, Ibu turut melancarkan serangan. Endingnya mudah ditebak: Ibu membelaku ketimbang membela Ayah mertuanya, sedangkan Ayah memilih membela kakek ketimbang membelaku. Memang, aku tak sebegitu berharga. Di mata siapapun orang hidup lebih berharga ketimbang orang mati.

Air muka kakek berubah keruh. Bukan tersebab pertengkaran yang biasa terjadi kapan waktu itu. Di langit-langit, si Murai Jalul berhenti berkicau. Sangat disayangkannya mengingat hari masih segar, Jauh dari panas dan bising kendaraan.

Dulu, waktu senggang merupakan waktu yang begitu surgawi, sebelum semuanya berjalan seperti sepasang rel kereta api, tak ada titik temu. Sebagai wanita karir, Ibu disibukkan dengan usaha butik. Kelas importir. Ayah juga disibukkan dengan pangkatnya sebagai manajer perusahaan yang bergerak di bidang multifinancial, selain mengurus kebun teh milik kakek yang sudah dipasrahkan kepadanya. Sampai sekarang keduanya tak berubah; terus diburu pekerjaan.

Aku ingin kembali menjadi anak kecil. Menghabiskan waktu sepenuhnya sekedar bermain. Aku rindu pada pada sebuah album keluarga yang secara bergantian, Ayah dan Ibu menerakan sebuah gambar, membuka halaman per halaman untuk menanamkan kesimpulan dibenakku betapa serasi nan romantis mereka berdua.

“Beruntunglah kamu terlahir sebagai anaknya,” begitulah gambar-gambar itu berbicara sebelum mimpi menghampiriku.

Sekarang, keberuntungan itu sudah purna. Percuma merespon perang mulut itu. Aku juga tidak memiliki alat untuk mengatakan kepada mereka betapa gambar-gambar itu berhasil membangun keberuntungan dalam hidupku. Bicara hanya membuang waktu. Aku bahkan tak punya pemikiran apa pun. Semuanya tak bermakna. Otakku sudah mati. Begitulah kesimpulan surat dari Jules Cotard.

Aku berusia dua puluh tiga tahun. Usia yang menurut seorang yang terlahir sebagai lelaki merupakan usia emas. Usia merdeka. Usia bebas ekpresi. Usia bebas memilih. Usia bebas memutuskan garis hidup antara remaja dan dewasa. Mohon arti remaja dan dewasa ini jangan disandarkan pada usia, karena jawabannya hanya ada pada psikolog. Apabila begitu, kita tidak punya pilihan menentukan sendiri jawabannya. Intinya, bebas. Ya, bebas.

Aku tak memiliki makna dari usia dua puluh tiga tahun itu. Jiwaku hanya bisa dipahami oleh jiwaku sendiri karena orakku tak bisa merespon dan tubuhku tak bisa mengejewantahkannya. Itu sulitnya. Aku hidup diantara dua dunia. Kehidupan yang sangat sesak, pedih, dan pahit. Kupikir, hantu-hantu yang berkeliaraan di dunia ini turut juga merasakan tiga rasa yang ingin ditinggalkanku itu. Hantu-hantu bukan ingin meneror, melainkan ingin bertanya bagaimana cara keluar dari kehidupan di dua dunia.

Dan akhirnya, menghabiskan waktu di pemakaman merupakan tempat yang paling aku senangi. Aku sepenuhnya percaya bahwa bagian dari tubuhku sudah tak eksis lagi. Seharusnya di sanalah tempatku. Aku merasa sudah mati dan sudah selayaknya menemani mereka yang terbaring rapi di bawah tanah sana. Tetapi, keluargaku terus melarang—bahkan terus mengawasiku—pergi ke pemakaman. Kata mereka, aku masih hidup.

Peristiwa aneh ini kualami setelah bangun dari tidur. Benar-benar sulit dijelaskan, apalagi diterima. Aku merasa otakku hilang! Tak bisa merespon rasa dan tak bisa membedakan bau. Naluri berkehendak raib. Aku menjadi orang yang hidup tanpa nafsu. Aku tak butuh makan, tak butuh minum, tak butuh udara, dan semua kebutuhan alamiah manusia lainnya. Akibat peristiwa aneh ini, aku seperti sebuah bola karet yang dibandulkan ke sana ke mari. Membawaku dari puskesmas, rumah sakit, dukun, hingga psikiater.

Kata dokter, apa yang kuderita adalah kelainan syaraf. Kerusakan pada salah satu respon otak untuk menangkap sebuah rangsangan. Satu hal yang aku mujurkan, dokter itu tak tahu kalau aku mengkonsumsi obat anti-depresi yang kuminum tanpa sepengetahuan orangtua. Hem, dokter spesialis macam apa di depanku ini.

Kata dukun, aku adalah manusia yang disinggahi makhluk halus kiriman orang. Makhlus halus itu sudah bersarang lama, beranak pinak, dan sulit dibedakan mana jiwaku dan mana jiwa makhluk itu. Jiwaku sudah menjadi rumah mereka. Sejatinya, makhlus halus itu bisa dikeluarkan dari badanku, namun bisa saja jiwa ikut pula pergi. Owh, Ini bukanlah solusi. Ini pembunuhan terencana!

Kata psikiater, aku kekurangan perhatian. Hal mendasar yang menyebabkan seperti ini adalah keterasingan yang berlarut-larut dalam keluarga. Psikiater cantik berwajah lesung itu (kupikir ia juga memakai parfum bila saja hidungku bisa mengendus bau) menyuruh orangtuaku menghabiskan waktunya bersamaku, setidaknya weekend. Menyambungkan perasaan yang ia logikakan dengan kinerja sistem syaraf. Ia juga menyarankan melakukan liburan keluarga, tidak tanggung-tanggung, ke luar negeri sambil lalu menemui seorang ahli neurologi bernama Jules Cotard[1].

Perihal perjalanan ke luar negeri bisa dikatakan hobinya Ayah. Tiga kali ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif sekedar berkeinginan berpelesiran gratis ke luar negeri. Tiga kali nyalon, tiga kali gagal. Setiapkali ada kesempatan pasti mencalonkan diri. Menurut perhitungannya, orang yang nyalon dengan mengeluarkan uang berapa pun tak ada kata rugi. Urusan modal, belakangan. Sampai aku menerakan soal ini, hobinya tersebut gagal diwujudkan kecuali dengan uang sendiri. Pantaslah bila Ayah yang paling ngotot melakukan perjalanan ke luar negeri. Jules Cotard adalah jalan alasannya kendati kota Paris yang bersarang di pikirannya.

Dua minggu kemudian, kami berhasil menemui Cotard. Dua minggu selanjutnya, ia melayangkan surat. Begini isi suratnya:

Sungguh, dia benar-benar pasien yang luar biasa. Apa yang dia rasakan tentang dunia yang melahirkan pengalaman tak lagi menggerakkannya. Ia merasa berada dalam kondisi antara hidup dan mati…

Kedatangan surat itu seakan menjadi palu hakim, memvonisku sebagai orang yang hidup tetapi mati. Aku benar-benar tak perlu merasa untuk makan, minum, berbicara, atau apa pun. Cotard mengatakan bahwa segala kebutuhan alamiahku sebagai orang yang masih hidup harus dijaga. Jadilah aku seperti tanaman. Harus dipupuk. Harus disiram. Harus dijaga segala nutrisinya. Apabila terlambat sedikit, akan layu tanpa mengeluarkan desis keluh.

Orangtuaku sekarang memiliki hobi lain. Mereka kerap membatu. Agenda kerja harian menjadi kacau. Nah, jadilah keluarga kami keluarga batu: eksis dengan pikiran masing-masing. Barangkali mereka ingin memahami sejauh mana rasaku di atas rasa mereka. Barangkali pula mereka ingin memahami makna surat dari Cotard pada bagian tulisan: ini penyakit sindrome yang banyak diakibatkan oleh depresi dan efek pil anti-depresi...

Mujur. Kedatangan kakek melahirkan kembali kran ‘kemeriahan’ keluarga yang sempat hilang. Ayah membawa kakek tinggal serumah setelah kedua adiknya sepakat mengirimkan kakek ke Panti Jompo. Materi sudah mengalahkan cinta. Kesibukan mengalahkan sayang. Sementara, Ayah masih ingin mengembalikan sesuap nasi yang pernah disuapkan kepadanya tempo dulu.

Masalahnya, Ibu kurang senang. Mengurusi seorang anak saja pekerjaan sudah kacau, apalagi ditambah mengurusi manula. Alasan Ibu kupikir berlebihan. Kata pembantu, karena kakek bau tanah. Kapan-kapan aku perlu mengajak Ibu mengunjungi tempat yang sangat nyaman, tempat faforitku. Tempat yang seharusnya aku berada di situ. Ibu harus sadar betapa manusia diciptakan dari tanah dan sepantasnya kembali ke tanah. Pemakaman dapat menjawabnya. Semoga.

Engkau mungkin berpikir, kenapa orang yang merasa otaknya sudah hilang atau orang yang sudah merasa hidupnya sudah tak eksis lagi bisa menjelaskan apa yang dialami. Otakku memang tak berfungsi merespon pertengkarang hebat keluargaku yang terjadi hampir kapan waktu. Otakku juga tak berfungsi menyerap memaknai surat dari Cotard. Otak hanyalah alat untuk menyampaikan respon perasaan dan rasa itu sendiri tersimpan pada palung jiwa yang sangat dalam. Jauh melebihi fantasi. Bila otak tak berfungsi, apakah perasaan tak bisa disampaikan?

Kesimpulannya hanya ada pada satu titik, betapa jiwaku kini tidak pernah bisa diselami oleh mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, sebagaimana yang ditulis Cotard pada akhir suratnya. []

Jember, 4 September 2013


[1] Jules Cotard, dokter pertama yang menemukan dan mendeskripsikan kondisi neurologi misterius yang diakibatkan oleh pil anti-depresi yang kemudian disebut Sindrome Cotard, yaitu orang hidup tetapi merasa dirinya sudah mati. 

0 comments: