Monday, September 8, 2014

Cerita yang Gagal Kutulis

Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
Kuintip langit dari sipit mataku. Awan tampak mengandung dan pucat. Entah, kapankah bulatan itu akan pecah dan memburai seperti tangis seorang perempuan—yang kupikir sebelumnya selalu bermata cerah—yang sempat kuintip sore kemarin, berjalan menjauhi titik matahari.
Tapi, bukan karena itu aku berlama-lama mematung di wajah jendela. Bukan. Aku berijtihad memulai cerita yang kau pesan semalam.
''Buatkanlah cerita tentangku. Kau harus buktikan dengan dengan ide-ide kreatif yang sudah bercokol di kepalamu.Bukankah kau sudah memiliki banyak referensi mengenai diriku?'' Harus kuakui, suara serak dan sembab itu menyebabkan keraguan pada ketegasanku untuk mengatakan tidak.
''Aku usahakan, tapi tak bisa janji.''
''Sebagai Raja Dongeng, kau kerap mengatakan, tulislah apa yang bisa kau tulis. Sekarang, aku ingin meminjam bahasa itu untuk kuucapkan kepadamu. Yah, anggap saja aku sebagai peserta menulis yang sedang mengingatkan strategi dan jurus jitu itu kepada gurunya.'' Sudah tiga setengah tahun kau memanggilku Raja Dongeng oleh sebab keranjinganku menulis cerita.
''Baiklah. Akan kucoba. Tapi, kau harus mengabulkan satu permintaanku malam ini.''
''Permintaan? Apa? Ayo, sebutkan.''
Aku mendesah. Dalam. Dalam sekali. Biarlah perasaanmu mengular.
''Tetapi tak boleh marah. Janji dulu kau tak akan marah.''
''Aku tak akan mungkin marah kendati yang akan kau ucapkan kurang sedap di telinga. Anggap sajalah sebagai timbal jasa sebab kau telah bersedia menulis cerita untukku.''
''Sebenarnya aku hanya ingin mengajakmu tertawa bersama. Kita sudah lama tak tertawa bersama. Bagaimana?'' aku tak tahan lagi. Tawaku pecah.
''Ah, cara bercandamu garing. Gak lucu...!''
''Tapi kau harus tertawa.''
Sejenak  kita terjebak diam sebelum tawa pecah bersama-sama. Aku lega bisa membuatmu tertawa malam ini. Paling tidak, tidurku sedikit nyenyak sebelum kututup pembicaraan ini dan men-silent-kan handphone.
Aku ragu bisa menulis cerita untukmu. Cerita tentangmu. Barangkali aku terpikat dengan keadaan yang memberikan cukup jaminan bahwa pilihan yang diambil dapat menjanjikan sesuatu yang amat kuimpikan. Seberapa banyak waktu dan keruwetan yang akan kuhabiskan sekedar mendapatkan jaminan itu? Hem, jika keraguan ini menjadi semacam garis tak berhingga atau menjadi semacam garis lingkaran, ia betul-betul dapat menyesatkan!
***
Laron-laron mengerumuni merkuri di sudut-sudut taman kota. Ada sebuah kursi beton yang sebagian masih lembab dan sebagian sudah kering. Kendati demikian, hanya kursi itu yang terbilang kering dari air hujan yang turun melepas senja. Kursi beton, tempat di mana kita biasa membagi cerita di taman itu. Dingin? Tentu. Hatiku tak kalah dingin dengan kabut tipis yang memburamkan lampu-lampu kota.
Aku menunggumu sebelum Masjid Agung di sebelah taman, sebelah jalan raya mengumandangkan adzan Isyak. Kulirik arloji digital yang menunjukkan waktu tanpa kesalahan. Sesekali kuhitung menit yang sudah berdetak selama berada di sini. Pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Tetapi bila menunggu sesuatu yang sangat diharapkan, maka kesabaran yang akan menunggu. Aku ingin mendengar cerita itu langsung darimu. Dari mulutmu.
Langit berkedip. Sepoi angin menggiring cemas. Aku mengatupkan bibir kuat-kuat menahan hati yang mungkin segera membeku. Jalan-jalan taman kota dan bising kendaraan belum juga menampakkan wajahmu.
''Maaf, terlambat. Lama menunggu?'' Bau parfum ini? Aha...
Seketika kau sudah berdiri di sampingku ketika aku memperhatikan gincu banci-banci di sudut taman. Cukup lama aku tak melihat wajahmu. Selama aku merindukan senyum yang menghadirkan palung di pipimu itu.
''Lumayan.''
Kau duduk.
''Aku tetap menyebalkan, bukan? Selalu datang tak tepat waktu.'' Anganku mengulur jauh sebelum kebiasaan itu kau ucapkan lagi.
''Tetapi aku yakin kamu akan datang. Sudah siap?''
''Siap?''
''Ya, bercerita. Bukankah sekarang posisimu sebagai juru cerita dan posisiku sebagai juru tulis?''
''Nikmati saja dulu suasana kota. Sudah lama kita tak melakukan hal semacam ini: melihat anak-anak bermain, para ABG yang saling curi pandang atau bergelut mesra, para banci, atau para pengamen yang mengobral suaranya yang biasa kita pesan menyanyikan beberapa lagu bila sudah kehabisan topik,'' pungkasnya. Matanya ke mana-mana.
Aku terdiam, terpaku menatap mata itu. Mata yang sembab. Mata yang semacam baru tiba di titik frustasi yang tak menemukan ruang untuk berbagi. Matanya seperti ingin bertutur tentang banyak hal yang harus siap kutampung. Tapi mengapa belum mulai bertutur? Sorot itu kemudian menggantung di langit. Berpendar.
Aku diam menyambut kalimat pertamamu. Diam pula menyambut air matamu. Kau bercerita. Banyak. Banyak sekali. Sebanyak air matamu yang terus menetes. Sesekali  menikam manik mataku dengan tatapanmu yang muram.
***
Aku bingung harus memulai dari mana, yang sekiranya aku tidak ikut di dalam cerita yang aku tulis. Mungkinkah pula aku mesti menulis ceritamu tanpa memasukkan aku sebagai salah satu lakonnya? Ah, itu hanya akan menjadi sekedar cerita yang mengandalkan imajinasi belaka. Imaji kosong tanpa makna. Bukankah kau menyuruhku menuliskan kisah nyata? Tentang sakit? Tentang penghianatan?
Rembulan terlihat separuh ketika mengantarkan langkahku jatuh ke taman kota. Kuhirup udara sedalam mungkin dan mengentaskannya tanpa beban. Di depanku, seorang anak menagis meminta eskrim pada ibunya. Dasar anak! Malam hari minta eskrim. Di sudut samping mataku, seorang pengamen mengobral suaranya kepada para pembeli makanan di sepanjang trotoar. Di sudut sebelah mataku, tepat di kursi beton tempat biasa kita duduk, sepasang kekasih tengah menjalin asmara. Betapa rona sejoli itu sungguh tak begitu asing. Ya, itu perempuan yang tengah kudapati menangis pada suatu sore.
''Kalau kita menikah,  ingin punya anak berapa?'' kata perempuan itu, memandang seorang ibu bermain dengan anaknya.
''Empat.''
''Empat? Tidak kurang?''
''Tak punya anak tak jadi masalah asal kau tetap seperti ini.'' Perempuan itu dipeluknya di tengah bekapan dingin sehabis gerimis.
''Jangan bilang begitu. Banyak yang mengatakan kalau anak itu semacam pupuk rumah tangga.''
Satu kecupan mendarat di rambutnya. Lantas ia menggamit kedua tangannya. Tanganku turut bergerak.
Aku tersentak. Aku tahu kalau ucapan-ucapan itu adalah ucapanku sendiri. Kau juga tahu siapa perempuan yang kumaksud. Ah, masa lalu yang sudah berhasil kukubur bangkit lagi, menjadi teror seumpama hantu. Yang tak habis pikir, mengapa aku bersedia menuliskan cerita tentangmu. Yang tak habis pikir, mengapa kau tanpa beban menyuruhku menuliskan cerita tentangmu.
Benar memang, cerita yang kau maksud bukanlah cerita tentang kita, melainkan senandikamu bersama selingkuhanmu. Tetapi cerita itu tidaklah lengkap tanpa menyinggung penghianatanmu telah menyelingkuhiku. 
Betapa bodohnya kita dulu, mengubah status sahabat menjadi kekasih lantaran sama-sama salah mempersepsikan perhatian kita masing-masing. Seharusnya, bila tak mengubah apa pun, aku bisa legawa menarasikan bebanmu tanpa harus merasa terbebani; perasaan iba seorang sahabat tanpa merasa pernah disakiti.
Deru kendaraan mulai lengang. Desis Anjing betina sedang menyusui anaknya cukup jelas terdengar. Malam sudah larut benar. Kertasku tetap putih.
***
Pagi sekali, handhoneku berdering, membangunkanku.
''Bagaimana? Selesaikah ceritaku?''
''Belum. Maaf, aku tidak bisa.''
''Kenapa?
''Aku tak habis pikir kenapa kau memunyai perasaan menyuruhku setelah keputusan berpaling ke lain hati. Itu sudah cukup menyiksaku, apalagi menuliskannya. Maaf, aku tidak sanggup...'' kutekan tombol berwarna merah.
Aku ingin tidur lagi. Hari ini hari minggu, hari libur. Aku tak mau semua berpikir--termasuk diriku sendiri--mengapa sebegitu bodohnya sempat bersedia menuliskan ceritamu yang telah jelas-jelas melukaiku. Tetapi setidaknya, sebagai seorang teman, kebersediaanku menandakan betapa aku masih memiliki rasa iba dan simpati atas kesedihanmu, kendati aku gagal menulis cerita itu.
Sudahlah, aku ingin tidur.***

Jember, 16 Mei 2013

0 comments: