Mungkin itulah
sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang
ingin selalu mengulang kenangan.
Kuintip langit
dari sipit mataku. Awan tampak mengandung dan pucat. Entah, kapankah bulatan
itu akan pecah dan memburai seperti tangis seorang perempuan—yang kupikir
sebelumnya selalu bermata cerah—yang sempat kuintip sore kemarin, berjalan
menjauhi titik matahari.
Tapi, bukan karena
itu aku berlama-lama mematung di wajah jendela. Bukan. Aku berijtihad memulai
cerita yang kau pesan semalam.
''Buatkanlah
cerita tentangku. Kau harus buktikan dengan dengan ide-ide kreatif yang sudah
bercokol di kepalamu.Bukankah kau sudah memiliki banyak referensi mengenai
diriku?'' Harus kuakui, suara serak dan sembab itu menyebabkan keraguan pada
ketegasanku untuk mengatakan tidak.
''Aku usahakan,
tapi tak bisa janji.''
''Sebagai Raja
Dongeng, kau kerap mengatakan, tulislah apa yang bisa kau tulis. Sekarang, aku
ingin meminjam bahasa itu untuk kuucapkan kepadamu. Yah, anggap saja aku
sebagai peserta menulis yang sedang mengingatkan strategi dan jurus jitu itu
kepada gurunya.'' Sudah tiga setengah tahun kau memanggilku Raja Dongeng oleh
sebab keranjinganku menulis cerita.
''Baiklah. Akan
kucoba. Tapi, kau harus mengabulkan satu permintaanku malam ini.''
''Permintaan?
Apa? Ayo, sebutkan.''
Aku mendesah.
Dalam. Dalam sekali. Biarlah perasaanmu mengular.
''Tetapi tak
boleh marah. Janji dulu kau tak akan marah.''
''Aku tak akan
mungkin marah kendati yang akan kau ucapkan kurang sedap di telinga. Anggap
sajalah sebagai timbal jasa sebab kau telah bersedia menulis cerita untukku.''
''Sebenarnya aku
hanya ingin mengajakmu tertawa bersama. Kita sudah lama tak tertawa bersama.
Bagaimana?'' aku tak tahan lagi. Tawaku pecah.
''Ah, cara
bercandamu garing. Gak lucu...!''
''Tapi kau harus
tertawa.''
Sejenak kita terjebak diam sebelum tawa pecah
bersama-sama. Aku lega bisa membuatmu tertawa malam ini. Paling tidak, tidurku
sedikit nyenyak sebelum kututup pembicaraan ini dan men-silent-kan handphone.
Aku ragu bisa
menulis cerita untukmu. Cerita tentangmu. Barangkali aku terpikat dengan
keadaan yang memberikan cukup jaminan bahwa pilihan yang diambil dapat
menjanjikan sesuatu yang amat kuimpikan. Seberapa banyak waktu dan keruwetan
yang akan kuhabiskan sekedar mendapatkan jaminan itu? Hem, jika keraguan ini
menjadi semacam garis tak berhingga atau menjadi semacam garis lingkaran, ia
betul-betul dapat menyesatkan!
***
Laron-laron
mengerumuni merkuri di sudut-sudut taman kota. Ada sebuah kursi beton yang sebagian
masih lembab dan sebagian sudah kering. Kendati demikian, hanya kursi itu yang
terbilang kering dari air hujan yang turun melepas senja. Kursi beton, tempat
di mana kita biasa membagi cerita di taman itu. Dingin? Tentu. Hatiku tak kalah
dingin dengan kabut tipis yang memburamkan lampu-lampu kota.
Aku menunggumu
sebelum Masjid Agung di sebelah taman, sebelah jalan raya mengumandangkan adzan
Isyak. Kulirik arloji digital yang menunjukkan waktu tanpa kesalahan. Sesekali
kuhitung menit yang sudah berdetak selama berada di sini. Pekerjaan yang paling
membosankan adalah menunggu. Tetapi bila menunggu sesuatu yang sangat
diharapkan, maka kesabaran yang akan menunggu. Aku ingin mendengar cerita itu
langsung darimu. Dari mulutmu.
Langit berkedip.
Sepoi angin menggiring cemas. Aku mengatupkan bibir kuat-kuat menahan hati yang
mungkin segera membeku. Jalan-jalan taman kota dan bising kendaraan belum juga
menampakkan wajahmu.
''Maaf,
terlambat. Lama menunggu?'' Bau parfum ini? Aha...
Seketika kau
sudah berdiri di sampingku ketika aku memperhatikan gincu banci-banci di sudut taman.
Cukup lama aku tak melihat wajahmu. Selama aku merindukan senyum yang
menghadirkan palung di pipimu itu.
''Lumayan.''
Kau duduk.
''Aku tetap
menyebalkan, bukan? Selalu datang tak tepat waktu.'' Anganku mengulur jauh
sebelum kebiasaan itu kau ucapkan lagi.
''Tetapi aku yakin
kamu akan datang. Sudah siap?''
''Siap?''
''Ya, bercerita.
Bukankah sekarang posisimu sebagai juru cerita dan posisiku sebagai juru
tulis?''
''Nikmati saja
dulu suasana kota. Sudah lama kita tak melakukan hal semacam ini: melihat
anak-anak bermain, para ABG yang saling curi pandang atau bergelut mesra, para
banci, atau para pengamen yang mengobral suaranya yang biasa kita pesan
menyanyikan beberapa lagu bila sudah kehabisan topik,'' pungkasnya. Matanya ke
mana-mana.
Aku terdiam,
terpaku menatap mata itu. Mata yang sembab. Mata yang semacam baru tiba di
titik frustasi yang tak menemukan ruang untuk berbagi. Matanya seperti ingin
bertutur tentang banyak hal yang harus siap kutampung. Tapi mengapa belum mulai
bertutur? Sorot itu kemudian menggantung di langit. Berpendar.
Aku diam
menyambut kalimat pertamamu. Diam pula menyambut air matamu. Kau bercerita.
Banyak. Banyak sekali. Sebanyak air matamu yang terus menetes. Sesekali menikam manik mataku dengan tatapanmu yang
muram.
***
Aku bingung harus
memulai dari mana, yang sekiranya aku tidak ikut di dalam cerita yang aku
tulis. Mungkinkah pula aku mesti menulis ceritamu tanpa memasukkan aku sebagai salah
satu lakonnya? Ah, itu hanya akan menjadi sekedar cerita yang mengandalkan
imajinasi belaka. Imaji kosong tanpa makna. Bukankah kau menyuruhku menuliskan
kisah nyata? Tentang sakit? Tentang penghianatan?
Rembulan terlihat
separuh ketika mengantarkan langkahku jatuh ke taman kota. Kuhirup udara
sedalam mungkin dan mengentaskannya tanpa beban. Di depanku, seorang anak
menagis meminta eskrim pada ibunya. Dasar anak! Malam hari minta eskrim. Di
sudut samping mataku, seorang pengamen mengobral suaranya kepada para pembeli
makanan di sepanjang trotoar. Di sudut sebelah mataku, tepat di kursi beton
tempat biasa kita duduk, sepasang kekasih tengah menjalin asmara. Betapa rona
sejoli itu sungguh tak begitu asing. Ya, itu perempuan yang tengah kudapati
menangis pada suatu sore.
''Kalau kita
menikah, ingin punya anak berapa?'' kata
perempuan itu, memandang seorang ibu bermain dengan anaknya.
''Empat.''
''Empat? Tidak
kurang?''
''Tak punya anak
tak jadi masalah asal kau tetap seperti ini.'' Perempuan itu dipeluknya di
tengah bekapan dingin sehabis gerimis.
''Jangan bilang
begitu. Banyak yang mengatakan kalau anak itu semacam pupuk rumah tangga.''
Satu kecupan
mendarat di rambutnya. Lantas ia menggamit kedua tangannya. Tanganku turut
bergerak.
Aku tersentak.
Aku tahu kalau ucapan-ucapan itu adalah ucapanku sendiri. Kau juga tahu siapa
perempuan yang kumaksud. Ah, masa lalu yang sudah berhasil kukubur bangkit
lagi, menjadi teror seumpama hantu. Yang tak habis pikir, mengapa aku bersedia
menuliskan cerita tentangmu. Yang tak habis pikir, mengapa kau tanpa beban
menyuruhku menuliskan cerita tentangmu.
Benar memang,
cerita yang kau maksud bukanlah cerita tentang kita, melainkan senandikamu
bersama selingkuhanmu. Tetapi cerita itu tidaklah lengkap tanpa menyinggung
penghianatanmu telah menyelingkuhiku.
Betapa bodohnya
kita dulu, mengubah status sahabat menjadi kekasih lantaran sama-sama salah
mempersepsikan perhatian kita masing-masing. Seharusnya, bila tak mengubah apa
pun, aku bisa legawa menarasikan bebanmu tanpa harus merasa terbebani; perasaan
iba seorang sahabat tanpa merasa pernah disakiti.
Deru kendaraan
mulai lengang. Desis Anjing betina sedang menyusui anaknya cukup jelas
terdengar. Malam sudah larut benar. Kertasku tetap putih.
***
Pagi sekali, handhoneku berdering, membangunkanku.
''Bagaimana?
Selesaikah ceritaku?''
''Belum. Maaf,
aku tidak bisa.''
''Kenapa?
''Aku tak habis
pikir kenapa kau memunyai perasaan menyuruhku setelah keputusan berpaling ke
lain hati. Itu sudah cukup menyiksaku, apalagi menuliskannya. Maaf, aku tidak
sanggup...'' kutekan tombol berwarna merah.
Aku ingin tidur
lagi. Hari ini hari minggu, hari libur. Aku tak mau semua berpikir--termasuk
diriku sendiri--mengapa sebegitu bodohnya sempat bersedia menuliskan ceritamu
yang telah jelas-jelas melukaiku. Tetapi setidaknya, sebagai seorang teman,
kebersediaanku menandakan betapa aku masih memiliki rasa iba dan simpati atas
kesedihanmu, kendati aku gagal menulis cerita itu.
Sudahlah, aku
ingin tidur.***
Jember, 16 Mei 2013
0 comments:
Post a Comment