Saturday, November 10, 2012

Di Balik Kekerasan Orang Madura dalam Cerpen Kerabhan Sape Karya Mahwi Air Tawar dan Lotrengan Karya Fandrik Ahmad

Oleh: Mawaidi, Imron Wafdurrahman, Muhammad Suharji, Nur Muhammad*

Abstrak

Makalah ini mengkaji cerpen “Kerabhan Sape”, dan “Lotrengan” melalui pendekatan sosiologi sastra. Kajian sosiologi sastra dalam cerpen ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat (Wiyatmi, 2009:97).

Metode pendekatan sosiologi sastra ini dilakukan dengan cara mengkaji fenomena dibalik kekerasan orang Madura dalam cerpen “Kerabhan Sape” karya Mahwi Air Tawar dan “Lotrengan” karya Fandrik Ahmad. Dalam hal ini, wujud karya sastra agar menjadi cermin yang dapat menghidupi pandangan orang-orang terhadap orang Madura terkait dengan predikat kekerasan. 

Kata Kunci: Dibalik kekerasan orang Madura

A. Pengantar

Tahun 2010, di bulan Maret terbit buku Antologi Cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Corak cerpen dalam Antologi tersebut adalah menggunakan latar Madura dan budayanya. Dalam Antologi tersebut memuat 12 cerpen—yang 10 cerpen sudah dimuat di media (“Bulan Selaksa Celurit”, “Eppak”, “Nyanyian Perempuan Sunyi”, “Barana”, “Kerabhan Sape”, “Mata Blater”, “Tandak”, “Kasur Pasir” dan “Cerita Penandak”) dan 2 cerpen belum dipublikasikan (“Durama” dan “ Sapi Sonok”).

Lahirnya Antologi Cerpen tersebut mendapat apresiasi dari banyak kalangan, termasuk Kiai yang juga penyair Madura, D. Zawawi Imron mengatakan, Mahwi Air Tawar adalah cerpenis Madura yang berhasil mengangkat tema lokal Madura. Lewat cerpen-cerpennya, Mahwi menunjukkan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya[1]. Sampai saat ini, nama Mahwi Air Tawar bukan nama asing lagi dalam kancah kesusastraan.

Adalah Kerabhan Sape, cerpen yang dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu 30 Oktober 2006. Pada dasarnya, cerpen ini berjudul (asli) Lotreng. Kemudian, oleh penulisnya diubah menjadi Kerabhan Sape ketika dalam perampungan Antologi tunggalnya dengan tujuan judul dan isinya mempunyai satu kesatuan makna. Sebab, Lotreng mempunyai arti Sapi Sonok (nama lain Lotreng/Lotrengan). Sementara, jika tetap terpaku pada judul awal, tidak etis kemudian dalam pemaknaannya.

Enam tahun berikutnya (dari cerpen Mahwi Air Tawar yang dimuat di Kedaulatan Rakyat), Koran Radar Surabaya, Minggu 08 April 2012, melahirkan Lotrengan di rubrik “CERPEN” karya Fandrik Ahmad. Salah satu cerpenis yang tinggal di Sumenep Guluk-Guluk ini merupakan lelaki kelahiran Ledokombo Jember. Seiring lamanya ia berada di Madura, ketertarikannya menulis cerpen berlatar Madura menjadi gila setelah cerpennya berjudul “Anak Celurit” tayang di Koran Sumatera Ekspres (01 April 2012).

Radar Surabaya mengawali tahun 2012 dengan menghadirkan cerpen bertema budaya lokal Madura. Sejak sebelumnya, cerpen yang dimuat di rubrik tersebut rata-rata menonjolkan tema sosial dan romantisme. Meskipun pada akhir tahun 2011 (Minggu 04 Desember 2011) Suhairi Rachmad sempat menyuguhkan karyanya berjudul Pacek. Suhairi mengangkat budaya Madura seputar dinamika perempuan pacek dan ruang kehidupannya. Sebagai tokoh utama perempuan (Suminah), terdapat konstruksi gender juga sedikit demi sedikit saling bergesekan dalam cerpen Pacek.

B. Kekerasan Orang Madura

Mendengar kata “Orang Madura”, maka pertama kali yang tergambar adalah paradoks dari keluguan dan kecerdasan, kesombongan dan kekonyolan, serta kekerasan sekaligus kelucuan. Ungkap Joni Ariadinata dalam kata pengantar Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Setidaknya, paragraf awal ini menjadi pembuka pada bahasan berikutnya mengenai Kekerasan Orang Madura yang ditakuti, disegani, dikagumi, dibenci, oleh banyak orang.

Pada Februari 2001, terjadinya perang antar suku Madura dan Dayak menghabiskan ratusan korban jiwa yang mati sia-sia. Dalam perang tersebut, Madura terkenal dengan kekerasannya. Sehingga banyak orang berimplikasi bahwa Madura kejam dan tidak punya perikemanusiaan.

Tahun 2011, koran Radar Madura memberitakan di Kecamatan Ambunten, bahwa seorang lelaki berinisial dan mempunyai istri berinisial. Suatu waktu, istrinya pergi ke pasar dalam rangka belanja. Ternyata, si istri pergi ke pasar juga bertujuan lain yaitu bertemu dengan seorang lelaki selingkuhannya. Suami dari istri itu yang mulai sejak awal mencurigai sikap istrinya, langsung membuntuti istrinya ke pasar dengan meminjam motor milik tetangga. Pendeknya, istrinya yang diketahui benar-benar bertemu dengan seorang lelaki itu diketahui. Suaminya itu langsung mendatangi lelaki itu waktu itu juga dengan celurit yang disebetkan ke tubuh lelaki itu hingga tak berdaya.

Simbol bagi orang Madura yang menjadi ciri khas tidak hanya dapat dilihat dari sikap kerasnya saja. Anggapan orang-orang yang demikian dan tidak mengenal benar siapa orang Madura selalu mempunyai perspektif “keras” dan lain-lain. Kenyataannya, dari sekian pengalaman para wisatawan dan berbagai survei yang dilakukan, justru mendapatkan hal yang unik dari orang Madura sendiri ketika berinteraksi langsung, lebih-lebih terjun langsung ke dalam masyarakat. Orang Madura yang dikenal arogan, ternyata mempunyai watak yang lembut, sopan, santun dan menghargai terhadap orang lain.

Sepakat dengan pernyataan Dr. A. Latief Wiyata dalam makalahnya berjudul Benarkah Orang Madura Keras? yang dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura, di hotel Utami Sumekar Sumenep, pada tanggal 09 November Maret 2007. Di sana, ungkapan yang harus diperhatikan terhadap orang Madura antara sikap “ketegasan” dan “kekerasan”. Kedua kata ini mempunyai makna yang sangat tipis sekaligus tebal dalam pemahamannya. Barangkali, perlu adanya pemahaman yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura dari dua kata tersebut. Dua kata benda—yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. “Keras” menunjukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut”, sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, mengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti).

Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.

Tidak salah jika orang Madura mempunyai prinsip, “Katembheng pote mata, bhengok pote tolang[2]”. Peribahasa ini adalah sebuah ketegasan pada diri orang Madura ketika menghadapi persoalan terkait dengan harga diri atau martabat. Dapat dikatakan, emosi orang Madura ada pada “harga diri” orangnya. Sebab, orang Madura mempunyai pedoman “Ia tidak akan mengganggu orang lain, selagi orang lain tidak mengganggu dirinya”. Istilah ini sama halnya dengan sifat lebah. Orang Madura tersebar di berbagai tempat di Indonesia dengan tujuan mencari kehidupan, menabur kedamaian dan kebaikan. Maka lebah juga demikian, selalu menabur kebaikan dan ketenteraman. Namun, jika lebah diganggu atau kawannya diganggu, ketegasan adalah jalan utama dalam menegakkan kebijakan.

Di situlah pintu-pintu orang luar yang ingin berinteraksi dengan orang Madura. Dapat dilihat bahwa orang Madura tipe orang yang fleksibel dalam hal apapun.

C. Cerita Dibalik Kekerasan Orang Madura

Karya sastra dalam hal ini berperan aktif terutama dalam karya cerpen oleh sastrawan generasi Madura khususnya. Sebab, menulis karya sastra, khususnya cerpen tidaklah gampang bagi orang yang tidak tahu “wajah” ranah tujuannya. Cerpen meskipun merupakan bentuk karya fiksi, tetap digarap sesuai dengan warna-warna realitas di dalam masyarakat. Karya yang ditulis sesuai dengan keadaan masyarakatnya berikut kebudayaan yang ada termasuk moment kaya akan sebuah karya. Itu sebabnya, cerpen juga membutuhkan data referensi sebagai media transformasi bahan mentah menjadi bahan matang.

Cerpen Kerabhan Sape dan Lotrengan, juga tidak lepas dari romantisme cerita yang menjadi bumbu-bumbu untuk menghindari dari kejenuhan cerita. Selebihnya, Kerabhan Sape dan Lotrengan fokus pada budaya yang disajikan secara estetik. Di sini, dalam narasi yang disajikan, terdapat hiruk pikuk “kekerasan” orang Madura dalam menyikapi suatu hal.

Terlebih dahulu, kita maknai apa itu Kerabhan Sape? Kerabhan Sape adalah kontes sepasang sapi jantan yang diadu kecepatan larinya dengan ditunggangi oleh seorang lelaki di atas kaleles yang disebut joki. Sedangkan, Lotrengan adalah kontes sepasang sapi betina yang dihiasi seperti pengantin yang dipertontonkan dengan berbagai gaya yang dimilikinya dan ketika berjalan diiringi oleh musik saronen. Kedua pergelaran kontes ini merupakan salah satu kebudayaan khas Madura.

Kerabhan Sape hadir dengan sudut pandang orang ketiga. Dalam cerpen khususnya, sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta satu kesatuan cerita yang utuh (Sayuti, 2000:158). Cerpen ini mengisahkan Matlar sebagai tokoh utama yang menjadi joki Kerabhan Sape milik ayahnya sendiri. Menjadi joki Kerabhan Sape membutuhkan waktu yang relatif lama. Sehingga tidak mengherankan jika Matlar belajar menjadi joki sejak kecil dan menguasai beberapa teknik menunggang sapi.

Akibat Matlar menjadi seorang joki, ia menjadi seorang pengangguran. Berbeda dengan Jumira yang pada saat itu sudah menjadi seorang cameramen. Padahal Jumira adalah teman masa kenangannya sewaktu kecil bersama Matlar. Alangkah nasibnya, bila cita-cita Matlar ingin sekolah yang tidak didukung orang tua, lalu menjadi joki kerabhan sape.

Sayuti (2000:158) mengatakan bahwa, sudut pandang jika ditelisik lebih mendasar merupakan visi seorang pengarang dengan mengambil pandangan untuk melihat suatu peristiwa atau suatu kejadian dalam cerita. Karenanya, cerpen Lotrengan menggunakan sudut pandang orang kedua dengan “akuan”. Sebab itu pula, karya fiksi sesungguhnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupan ceritanya. Sebuah karya, dilihat dari sudut pandang yang dipakai pengarangnya juga bisa menjadi barometer keestetikaan sebuah cerpen.

Tokoh utama dalam cerpen Lotrengan adalah Dullah, orang terdekat si pencerita (akuan). Dullah adalah anak Slamet yang sering memenangkan kontes Lotrengan tiap kali bertanding. Dibalik itu, Durham yang masih mempunyai hubungan darah dengan Slamet merasa rendah diri ketika sepasang sapi lotrengannya kalah atas sapi anak Slamet, Dullah.

Beberapa cara oleh Durham untuk menang dilakukan. Pada pertandingan di lapangan Trunojoyo yang menjadi taruhan adalah Marhani, anak Durham, perempuan yang saling sama suka dengan Dullah. Kesepakatan itu, jika Durham kalah atas sapi Dullah, Marhani boleh kawin dengan Dullah. Apabila Dullah kalah, maka Marhani akan dikawinkan dengan dukun sapi milik Durham.

“Kekerasan” di Madura tidak bisa dipungkiri keberadaannya yang bersumber dari berbagai cerita-cerita dalam bentuk tulisan (karya) maupun lisan (visual). Itu sebabnya, kata “Madura”, “Celurit”, “Carok”, “Darah” menjadi hal yang menakutkan dan mengerikan. Predikat “keras” yang diperuntukkan orang Madura menjadi hal yang ekstrem di telinga kebanyakan orang luar. Alih-alih berkunjung ke pulau garam itu, berinteraksi dengan orang Madura saja bagi orang-orang menjadi sesuatu yang harus disegani atau dihindari.

Kerabhan Sape dan Lotrengan mencoba hadir di tengah ancaman Madura sebagai media pencetak manusia keras. Gelar kekerasan sejatinya memang tidak jauh dari realitas yang ada. Namun, tindakan keras yang demikian terjadi sebab adanya akibat yang melatarbelakangi kejadian seperti itu.

“Saya kasihan. Usiamu masih muda. Ini kesempatan, Matlar. Kamu tahu Jumira? Temanmu dulu? Sebentar lagi ia akan jadi tukang poto seperti di tipi,” ujar Madrusin.

Matlar terasa terbakar mendengar nama Jumira disebutkan (Tawar, 2010:18).

Tokoh Matlar selalu teringat dengan kata-kata Madrusin yang menyuruh sapinya dibuat nyasar ketika pertandingan kerapan sapi. Jaminan Madrusin (Bapak Jumira) jika sapi Matlar dibuat nyasar maka ia akan membiayai Matlar sekolah seperti laiknya Jumira.

Itulah sebentuk dilema etis yang terjadi pada tokoh Matlar. Di samping ia harus setia menjadi penunggang sapi milik Ayahnya, di sisi lain pula ia ingin sekolah dan menjadi anak pintar.

Matlar terhenyak ketika bayangan sebilah celurit tampak di samping kandang. Terdengar langkah kaki seseorang. Sapi-sapi meraung, tambah lama tambah pilu. Bersamaan dengan suara langkah kaki itu, dari sela reranting terdengar cericit kelelawar. Sapi-sapi meraung kian pilu, panjang dan berulang-ulang.

Matlar tergegap ketika bapaknya sudah berdiri tegap di samping kandang dengan sebilah celurit di tangan.

Matlar terbayang Madrusin memberinya uang. Terbayang pula bayangan ia berangkat ke kota bersama Jumira dan teman-temannya untuk melanjutkan sekolah.

“Pergi!” bentak Lubanjir.

Matlar terperanjat, sementara sepasang sapi kerapan-nya terus menghentak-hentakkan kaki ke tanah seolah tak rela ditinggalkan Matlar. Sebelum Matlar sempat beranjak, Lubanjir terlebih dulu mengibaskan celuritnya pada leher sepasang sapi itu. Dan menyemburlah darah (Tawar, 2010:22).

Wujud kekerasan dalam cerpen Lotrengan mulai muncul ketika kontes akan dimulai. Sementara tokoh “akuan” pada waktu itu sedang menunggu Dullah yang tiba-tiba menghilang.

“Besar juga nyalimu, cah bagus. Keras kepala seperti bapakmu,” kata Durham angkuh. Aku terpancing amarah. Hampir saja celurit kutarik dari dalam berengka, tapi tangan Dullah menenangkan (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Perkataan tokoh Durham kepada tokoh Dullah adalah sebuah pelecehan martabat. Sebab itulah, tokoh “akuan” yang berada di sampingnya akan mengeluarkan celurit dari barengkanya. Jika tidak ada sebab musabab pelecehan martabat maka emosi tokoh “akuan” tidak meledak.

“Cukuplah paman mengambil tanah yang sudah jelas-jelas menjadi bagian warisan bapakku.”

“Oh, begitu? Bagian bapakmu? Cuih, cah bagus, bagaimana dengan bagianmu? Apa kau masih mau memiliki anakku?” Ucapnya enteng. Kali ini Dullah mematung nanar.

Marah menggumpal di urat-urat tubuhnya. “Menikahlah dengan sapi-sapimu, cah bagus,” ucap Durham yang berlalu dengan mata jalang. Dullah menggumpalkan tangan kuat-kuat (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Pelecehan selanjutnya adalah tokoh Durham yang mengatai tokoh Dullah untuk menikah dengan sapinya. Tokoh Durham mengatakan seperti itu atas dasar tokoh Dullah tidak mau mengalah dalam pertandingan. Dampaknya, tokoh Dullah mengalami emosi tingkat tinggi atas pelecehan sosial itu.

“Aku harus bisa menyadarkan bapakmu.”

“Jangan! Aku saja tak berdaya saat bapak mengalungkan celuritnya ke leherku,” suara Marhani lirih. Ada sesuatu yang disembunyikan.

“Jika bapakmu bisa mengalungkan celurit ke lehermu, mengapa aku tak bisa mengalungkan kepadanya?” (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Dialog di atas adalah percakapan Dullah dan Marhani yang bertemu di bawah pohon siwalan dekat dengan kandang. Wujud kekerasan muncul pada percakapan terakhir dalam kutipan di atas. Dullah berkata demikian, sebab ada musabab bahwa Durham akan mengalungkan celurit di leher anaknya, Marhani.

Kata “mengalungkan celurit” merupakan majas ironi yang disampaikan oleh penulis melalui percakapan tokoh Marhani dengan tokoh Dullah.

D. Penutup

Membicarakan masyarakat tidak akan terlepas dari kebudayaan. Konsep masyarakat dan kebudayaan batas-batasnya tidak begitu tegas. Masyarakat merupakan organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Sementara, kebudayaan bisa juga diartikan sebagai suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (www.anneahira.com/masyarakat-dan-kebudayaan.htm). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat tanpa kebudayaan akan statis atau mati.

Kerabhan Sape dan Lotrengan ternyata tidak hanya sekadar ritual kebudayaan belaka yang tidak ada maknanya. Justru, dua kebudayaan ini mempunyai falsafah hidup warga masyarakat Madura.

Di Madura, Kerabhan Sape (Kerapan Sapi) merupakan simbol bagi laki-laki Madura. Simbol tersebut adalah pertanda bahwa manusia memiliki nilai-nilai potensi kebudayaan. Sebagaimana sapi kerapan, adalah sapi laki-laki yang jantan dan pemberani ketika menghadapi lawan. Sifat-sifat yang dimiliki sapi kerapan seperti ketundukan pada yang kuasa (maksudnya yang memiliki) menjadi ukuran kesopanan dan kekhasan dalam bersikap.

Perilaku lelaki Madura dalam perbandingannya dengan sapi kerapan dapat dilihat dari penggambaran cerpen Kerabhan Sape. Sapi-sapinya tak berani mengusik jika ia tertidur di sana. Bila ada orang usil mengganggu tidurnya, maka sapi-sapi itu akan meronta, mengibas-ngibaskan ekor dan melenguh hingga orang yang ingin mengganggu Matlar akan ketakutan dan lari. Suatu ketika, saat Matlar tengah mengambilkan air minum untuk ibunya yang sakit, pada waktu bersamaan Bapaknya menyuruh Matlar membeli telur. Namun, Matlar tak mengacuhkan perintah Lubanjir. Seketika Lubanjir menampar Matlar. Seketika itu juga sapi-sapi itu menyeruduk Lubanjir hingga Bapak Matlar itu terhuyung dan jatuh (Tawar, 2010:19-20).

 Demikian perempuan Madura. Lotrengan juga dapat disimbolkan sebagai perempuan Madura yang cantik dan bisa menjaga dirinya dari kecacatan zhahir dan batin. Sebab, jika sapi lotrengan mengalami gangguan kejiwaan hal itu akan berpengaruh pada mental dan psikis sapi. Tidak salah jika sapi Lotrengan dirawat secara khusus dan dipelihara dengan kasih sayang. Terlebih itu pula, terlihat keistimewaan sapi lotrengan pada saat pergelaran Sapi Sonok, sapi-sapi dipercantik, didandani, disolek, dan diberi aksesoris yang indah.

Sepuluh pasang sapi, lengkap dengan segala atributnya siap unjuk kebolehan. Kalung kuningan dan kilauan pernak pernik berpendar menghiasi paras sepasang sapi yang sebelumnya diluluri kunyit dan aneka kembang agar tubuhnya sintal, mengkilap, dan wangi. Seandainya mereka manusia, akan sangat cantik bermahkota permata dan kilauan manik-manik melingkar di leher.

Tidak! Sapi-sapi itu memang benar-benar cantik. Lihatlah! sepasang sapi Kusen lebih cantik daripada istri yang setia menemaninya di arena pertandingan. Bibirnya saja lebih sensual. Lebih basah ketimbang bibir istrinya. Lihatlah! Sapi gacoan Durham lebih molek dari paras istri pertama dan keduanya. Begitu juga dengan sepasang sapi Kang Slamet, kesaksiannya tak bisa dibandingkan dengan istri dan anaknya yang sudah dewasa (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Sekalipun, meski tidak semua lelaki Madura berwatak seperti yang disimbolkan Kerabhan Sape dan perempuan Madura seperti yang disimbolkan Lotrengan, setidaknya hal itu menjadi ukuran bahwa manusia mempunyai potensi kebudayaan.

Fàdh Äldrîch, dalam catatan akun facebook-nya yang berjudul Mengenal bangsa Madura: Watak, Tradisi budaya dan Keislamannya, menuliskan bahwa, selain berwatak “keras” dalam arti tegas, orang Madura juga memiliki jiwa persaudaraan yang tinggi terutama ketika berada di daerah perantauan. Orang Madura sangat mencintai sesamanya. Berdasarkan filosofi yang melekat pada masyarakat Madura adalah kata “Madura” yang berarti Madu dan Darah. “Madu”, Orang Madura bisa berbuat manis dalam arti sopan, dan berbudi kepada siapapun jika orang lain juga bersifat demikian serta menghormati harkat dan martabatnya. Sedangkan, “Darah”, Orang Madura akan berbuat keras jika orang lain melanggar dan menginjak adat, harga diri dan martabatnya, baik orang lain maupun sesama orang Madura sendiri, sekalipun sangat rentan kekerasan yang muncul dalam bentuk carok. (https://www.facebook.com/note.php?note_id=162280593872255).

Daftar Pustaka

Sayuti, Suminto A, Drs. 2000. Berkenalan dengan Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Soelaeman, M. Munandar, Dr. 2007. Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT Refika Aditama.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Tawar, Mahwi Air. 2010. Mata Blater, Yogyakarta: Matapena. *Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Fiksi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY dengan dosen pengampu Wiyatmi, M. Hum


0 comments: