Saturday, November 10, 2012

Cakar Istri

Cerpen Fandrik Ahmad
(Tabloid Nova, November 2012 )
 Ia mencakarku. Lagi. Dan, lagi. Begitulah cara ia mengungkapkan perasaannya. Aku menikmati. Hanya dengan seperti itu aku merasa betapa cinta itu masih ada, untukku.
Sakit memang. Menderita memang. Kalau kau menyibak bulu-bulu yang menutupi sebagian wajahku, kau akan mendapati beberapa bekas coretan hasil maha karyanya. Ia mencakarku sebab gagal dan kesal tak bisa mencerabut bulu-bulu itu dari akarnya. Bukan segelas kopi atau teh sebagai penghangat pagi yang disodorkan ketika aku bangun, atau bergelayut manja memintaku mendaratkan kecupan hangat di keningnya. Bukan. Ia langsung menjambak dan mencakar mukaku sembari berteriak histeris; pekerjaannya setiap kali bangun pagi.
Sebenarnya, aku tak suka bertampang brewokan. Ketika masih muda, menikah, sampai memunyai anak semata wayang dengannya, aku tak pernah memelihara bulu-bulu itu. Tetapi kemudian semua berubah ketika aku merasakan sebuah siksaan batin di lapangan pemasyarakatan. Ya, di dalam jeruji besi itu, aku tak sempat memikirkan untuk memotong bulu-bulu wajahku. Jangankan memotong, seberapa panjang pun aku tak peduli.
Aku pernah memotong kumis dan janggutku agar tak ada lagi bulu-bulu yang bisa dijambaknya. Upayaku berhasil. Setelah kupotong, ia tak pernah menjambak dan mencakar mukaku lagi. Namun, ia berganti ketakutan melihatku serta berusaha keras menghindar. Mirip orang kesurupan.
''Siapa, kau? Pergi! Jangan mendekati,'' katanya suatu pagi ketika baru terjaga. Ia menjauh hingga terjerembab dan ngesot di lantai kamar.
''Aku suamimu.''
''Bukan. Bukan suamiku!'' histerisnya. 
Aku merasa tidak hanya kehilangan bulu-buluku, tetapi juga kehilangan istriku. Pernah aku berpikir bahwa ia bukan mengenaliku, tetapi mengenali kumis dan janggutku. Aku merasa total kehilangan segalanya. Tak memiliki apa-apa. Ia tak mau kursi rodanya kudorong, tak mau kusuapi bubur, dan tak terdengar pula umpatannya ketika baru bangun yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah cakaran.
''Bapak jahat. Bapak kejam. Kembalikan anakku,'' betapa umpatan itu kurindukan.
Demi mendengar umpatan itu lagi, terpaksa aku menaruh kumis dan jenggot palsu di mukaku. Kehidupan kembali normal.
Dua tahun sudah istriku seperti itu. Dua tahun pula aku merasa telah berkelamin ganda; sebagai kepala dan ibu rumah tangga. Ia tak bisa beraktifitas kecuali duduk manis di atas kursi roda dan senang berbicara sendiri di bawah pohon kakau dengan beragam mimik: bercanda, bersedih, menagis, dan tertawa. Memang, pohon kakau yang tumbuh di halaman itu adalah tempat bermain istri dan anakku.
Saat menemaninya, kerap kali aku mengungkapkan permintaan maaf kendati responnya selalu sama, diam sejenak lantas tertawa. Kalau bukan diam-diam karena aku tak lari ke pelukan perempuan lain, tak mungkin ia bernasib malang seperti ini. Tujuh tahun menikah, aku cuma tetap tinggal berdua saja. Kukira ia tak bisa memberiku tangis seorang bayi. Di balik kebohongan atas rasa keberpuraan sabar menantikan ia berkata AKU HAMIL, kulampiaskan kepada perempuan lain.
Setahun berjalan dalam lingkar skandal perselingkuhan, ia mengabarkan kalau sedang jatuh hamil. Matanya menatap teduh. Penantian panjang akhirnya tercipta. Jelas aku bahagia. Jiwa yang kering bertahun-tahun akhirnya basah juga. Hanya waktu itu aku bisa melupakan sosok perempuan yang berdiri di balik punggungnya. Untuk menandai kabar gembira ini, aku ke kebun kakau tempat kerjaku. Kuceritakan kepada kepala mandor kalau istriku sedang hamil muda.
''Kalau boleh aku mau minta satu pohon kakau kepada bapak,'' pintaku.
''Untuk apa?''
''Mau di tanam di halaman, Pak. Sebagai tanda kalau pohon itu ditanam saat istriku sedang hamil muda. Biar kalau sudah besar, anakku juga bisa bermain di bawahnya.''
Kepala mandor memberikan satu bibit pohon kakau yang kupinta. Bibit itu merupakan yang terbaik dari bibit pohon kakau yang lain. Sebagai hadiah, katanya.
Hari tak cukup sore ketika aku keluar dari pintu gudang. Namun, awan hitam sudah merenggut matahari yang seharusnya sebentar lagi akan menjadi sunset. Langit menggelap. Angin bertiup menggugurkan dedaunan. Mobil dan motor terlihat berjalan tergesa-gesa. Takut dimakan gerimis atau hujan di perjalanan, aku menghampiri sebuah rumah yang kental dengan arsitektur rumah adat kolonial belanda, tak jauh dari tempatku bekerja.
Seorang perempuan dengan senyum berlesung, yang tak asing lagi bagiku, membukakan pintu. Rambutnya ikal tergerai di atas balutan kaos u can see, yang membuat dadanya terlihat mengeras. Aroma parfum merebak di sekujur tubuhnya. Aku menyambarnya dan mendaratkan satu kecupan manis.
Ia menuntunku. Duduk di sofa. Seekor kucing belang tidur melingkar. Perempuan itu hendak membuatkanku secangkir kopi, tapi aku melarangnya.
''Istriku hamil,'' kataku.
''Aku juga hamil,'' katanya.
''Kau hamil?'' tanyaku bercampur kaget.
''Kau tak akan mengingkari janjimu, bukan?''
Aku diam. Tatapannya tajam, siap menerkam. Sedangkan tatapanku telah menjadikan perempuan itu seperti seekor ular raksasa yang tengah melilit mangsanya. Tak bergerak. Senyumnya tak lebih dari sebuah desis dengan lidah yang menjulur-julur. Kenapa aku jatuh ke pelukannya? Tangannya yang lembut terasa kasar dalam belaian.
''Bukankah kau menyatakan siap meninggalkan istrimu bila aku bisa memberiku seorang anak? Bukankah kau akan membawaku pergi sejauh mungkin? Sejauh dari pandangan istrimu. Masih ingatkah?''
Aku terduduk lesu. Bukan tak ingat pada janji itu. Kupandang lekat bibit pohon kakau yang kusandarkan di depan pintu. Gorden biru langit pada jendela yang terbuka, sedikit meliuk ditiup angin. Dadaku seketika berat. Kupandangi perempuan itu. Tangannya mendekap. Tenang bersandar di lemari. Senyum bergincu itu tak lagi menarik.
''Aku tak bisa...'' kataku lirih.
''Berarti kau memilih keluargamu hancur? Pilihlah! Memberikan kesan meninggalkan istrimu tanpa sebab atau hancur karena perselingkuhanmu terbongkar? Yah, sama-menyedihkan, sih. Tapi paling tidak, salah satunya ada yang terbaik.''
''Jangan kau paksa aku untuk memilih.''
''Hidup itu pilihan, sayang. Tak usahlah kau bermain api jika takut terbakar.''
''Jangan sampai kau menyakiti istriku,'' nadaku kini tak lebih dari sebuah ancaman keras.
''Owh, kau memilih istrimu? Justru kau sendiri yang akan menyakiti istrimu, bukan aku,'' perempuan itu membentak.
Seberkas sinar memantul dari jendela. Hujan urung untuk turun. Aku dan perempuan itu saling menyulutkan emosi. Sebagaimana dalam film-film, si perempuan berakhir dengan tangis, sedangkan si lelaki berakhir setelah memecahkan suatu benda. Dan, benda yang kupecahkan adalah kaca meja. Kucing belang kaget dan melonjak terbirit-birit.
''Beri aku waktu tiga hari bersama istriku. Setelah itu, kau bebas memilikiku.''
Perjalan sore itu sungguh berat.
Di halaman, aku dan istriku bersama-sama menanam pohon kakau. Kubilang, kelak, di bawahnya akan kujadikan taman bermain anak kita. Matanya yang bening berkilau-kilau. Ia tersenyum. Oh, betapa aku tak kuat meninggalkan senyum itu. Senyum yang tulus, tak dibuat-buat. Seharusnya aku bisa berbahagia berlindung di bawah senyuman yang tulus, bukan senyuman yang dibuat-buat. Ia menginginkan seorang anak laki-laki. Katanya, kalau sudah dewasa bisa sesempurna diriku sebagai suami. Ah, apa sempurnanya? Tak tahulah di belakangnya aku menyimpan bangkai. Tak tahulah kalau cintanya kubandol-bandolkan kepada orang lain.
Sungguh, melewati waktu sampai mencapai tiga hari merupakan perjalanan yang sangat sulit. Seperti menunggu kedatangan seekor siput. Aku memiliki hasrat kuat membuat keinginannya menjadi sempurna dan terkabulkan. Sejak itu, aku menemukan diriku menjadi sosok dari bayang-bayang anakku. Ah, apa sempurnanya bila anakku seperti diriku.
Menginjak hari kedua, keputusan sudah kuambil. Aku harus memotong sebagian hidupku. Layaknya sebuah pohon, aku ingin hidup cuma bercabang satu, membesar, dan menjulur ke atas dalam satu pucuk tujuan. Oh, bayang-bayang ketakutan, kecemasan, kegundahan, dan perasaan dag-dig-dug lainnya menyerangku secara bergantian, semacam bom molotov yang jatuh di medan pertempuran.
Pada hari ketiga, malam rebah tanpa sepotong bulan. Aku menemui perempuan itu. Mengabarkan kalau malam ini aku ingin menghabiskan malam sebelum benar-benar pergi dengannya, meninggalkan istri dan rumah bekas kolonial itu. Tetapi, esoknya, aku tak jadi pergi. Perempuan itu pergi sendiri. Kendati demikian, akulah yang mengantarnya pergi. Ke neraka! Kututup mulutnya dengan bantal dan kucekek sedikit sebelum kucongkel sedikit pula sebagian isi perutnya dengan gunting. Bayang-bayang ketakutan telah menuntunku untuk berani melakukan perbuatan senekat itu.
Drama cinta segitiga terendus setelah itu. Istriku shock berat. Ia mengamuk. Histeris. Mencakar-cakar mukaku. Cakaran yang pertama dalam perjalanan rumah tangga. Lalu, aku membusuk di penjara. Mendekap 20 tahun. Selama itu, kesetiaan menitikkan airmata; setiap Sabtu dan Rabu ia tak pernah absen datang membesuk. Sampai anak yang dikandungnya lahir, tak sendirian lagi ia datang. Betapa menderitanya membesarkan anak seorang diri. Kesalahan masa lalu semakin membusukkanku di penjara.
Sepanjang waktu. Mendekap. Membusuk.
Jam menunjukkan pukul 9.47 pagi. Seorang polisi jaga menuntunku sampai di depan pintu gerbang. Aku tak percaya telah melewati massa sepanjang 20 tahun. Betapa tak terbilang bahagia. Jeruji-jeruji besi yang memisahkan aku, istri, dan anakku seperti ambruk seketika.
Seorang anak muda datang menghampiri seraya memelukku erat. Menyambut kebebasanku.
''Anakku.'' sekali dalam seumur hidup, aku menangis.
Kami pulang dengan wajah semringah. Ia memboncengiku dengan sepeda motor miliknya. Kehidupan kembali bergerak. Udara segar melabrak. Kencang. Kencang sekali. Sampai, tanpa sadar aku telah terkapar di tanah lembab. Jantungku berdegup kuat dan merasakan pusing yang berlipat-lipat. Lengan sebelah kiri terasa sangat ngilu. Banyak bercak darah di sekujur tubuhku. Kukira itu darahku. Namun ternyata, darah itu adalah darah anakku yang terkapar kaku. Tak jauh. Tak bernyawa.
Kehilangan anak semata wayang tak bisa diterima oleh istriku. Kondisinya menjadi labil, kian tak waras memahami situasi. Apalagi sejatinya ia belum bisa berdamai dengan masa lalu. Aku dijadikan kambing hitam sebagai orang yang telah merenggut nyawa anakku sendiri. Orang yang menyebabkannya kecelakaan. Oleh karena itu, setiap kali bangun tidur, ia berteriak dan mencakar-cakar mukaku.
Kupandangi istriku di bawah pohon kakau yang tengah asyik berbicara dengan pohon itu. Bila sudah begitu, jangan diganggu. Ia akan marah. Marah sekali. Ia bisa menghardik dan mencakarmu. Menyangkamu sebagai orang yang akan memisahkannya dengan pohon kakau yang telah ditahbisnya sebagai anak. Betapa menderita memang hidup dengan keadaan keluarga seperti ini. Tetapi aku tak punya alasan lain untuk tak meninggalkannya karena perempuan itu satu-satunya cinta yang tersisa. Tempat untuk berpulang.
Bubur yang tadinya terasa hangat sudah menjadi dingin. Aku masih menunggunya selesai bercakap-cakap.***

Jember, 28 September 2012


0 comments: