(Sumut Pos, Minggu 20 Mei 2012)
Sarip mondar-mandir. Dari kamar ke beranda. Dari beranda ke kamar. Terus berulang. Gemeretak giginya mengatakan kalau perasaannya sedang galau. Cemas. Saat langkahnya sampai di beranda, pastilah sorot matanya menyingkap kerre. Namun, yang ditemukan selalu sama, semak tegalan dan pematang yang petang.
Senyap. Mencemaskan.
“Pada ke mana Munarti,” ucapnya berang.
Anak dan bininya sudah tak ada di rumah ketika ia pulang menyudahi pekerjaan menurunkan la’ang. Kalau Dulla, anaknya, Sarip masih bisa menduga-duga. Bilamana malam begini, bocah itu ngaji di surau Haji Rapik. Tapi Munarti? Ke mana perginya? Ia tak ikut ngaji. Tak ikut kompolan muslimatan. Apalagi semacam arisan. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukannya di rumah berdinding sirap itu selain memasak, mencuci, dan ngomongin orang.
Sarip tak tahu menjawab kecemasannya.
Kerre berayun lagi. Sesuatu rebah dipandangan. Tetap sama: petang, sepi, senyap, dan sunyi. Hanya, sesekali suara jangkrik dan kararoe saling pagut. Sarip menghentakkan kaki ke tanah. Gemeretak gigi beradu kuat. Ia memaksakan diri tenang duduk di atas lincak. Apakah Munarti minggat? Ah, tak mungkin. Kapankah berbuat salah atau menyinggung hati Sunarti pernah dilakukannya.
Pelepah nyiur jatuh tersungkur membentur atap seng di dapur. Sarip terjaga dari lamunan. Patek! Umpatnya.
Ada cahaya mendekat. Berpendar dari semak-semak. Remang. Meliuk. Kerre disingkap dengan kasar. Pasti itu Munarti dan Dulla, pikirnya. Barulah Sarip melihat kalau cahaya itu berasal dari obor seseorang yang sedang menuju rumahnya. Cahaya itu semakin dekat. Pemegang obor semakin jelas. Ia berjalan beriringan dengan dua orang anak. Ternyata Ke Lesap, menjemput anaknya pulang ngaji. Dulla bersama lelaki tua itu. Sarip kecewa.
Dulla mencium tangan Sarip.
“Sakalangkong, Ke,” pungkasnya ramah.
Setelah sedikit beramah-tamah di beranda, Ke Lesap melanjutkan perjalanan.
“Ke mana emakmu, Cong?” tanya Sarip.
“Tak tahu, Pak. Mungkin pergi ke rumah Nyae Rajak.”
Angin silir berdesir dari celah dinding sirap. Aroma celatong dari kandang sapi meruap. Lampu teplok yang terpasang pada salah satu dari empat kayu pilar rumah berayun kasar membuat bayangan Sarip dan anaknya seperti bhuta celleng siap menerkam.
Perkataan Munarti beberapa minggu lalu melesat serupa paku yang dipukulkan pada punggung sapi kerapan. Sejarah minggatnya Misnatun empat tahun lalu kembali membekas. Ya, Misnatun bini pertama Sarip yang cintanya telah menghasilkan Dulla. Tetapi, setelah Misnatun berhenti menyusui Dulla. Ia minggat. Hanya sepucuk surat tergeletak di atas lincak menjadi kabar terakhirnya. Dalam surat itu, ia pamit bekerja ke luar negeri diajak Suparni, bibinya sendiri. Sarip terpukul. Kelakiannya terasa dilecehkan.
Munarti adalah janda kembang yang baru dinikahinya dua tahun silam. Laki Munarti meninggal, jatuh dari atas pohon siwalan ketika menurunkan la’ang milik Pak Kalebun. Sarip mempersunting Munarti karena tak kuat mengasuh Dulla sendirian. Tetapi, kebohongan telah ia perbuat dengan mengatakan bahwa bini pertamanya meninggal karena melahirkan Dulla.
Kerre itu kembali tersingkap. Kasar. Munarti datang, berwajah ceria. Ujung jemarinya menjinjing ujung bawah sampir sarung lorek cokelat hingga di atas lutut.
“Kang!” ucapnya berteriak. Sarip membetulkan gulungan sarungnya.
“Pada ke mana sampai tengah malam begini?”
“Main ke rumah Nyae Rajak,” ketusnya
“Hendak apa ke sana?” Sarip menyelidik.
“Ingin tahu kabarnya. Kan ia baru pulang,” ucapnya. Segaris senyum terbentuk manja.
Bayangan empat tahun silam kembali menggantung di bibir Sarip. Persis sama ketika Misnatun membuka celah mengatakan sesuatu yang diinginkan. Mencari pekerjaan. Ia menatap kolong-kolong lincak. Cahaya lampu teplok memotong separuh wajahnya yang keruh.
“Kenapa, Kang? Tak suka, ya?”
“Bukan begitu.”
“Terus?”
“Ah, tak apa.”
“Kang, sejak Nyae Rajak dan Ke Rajak kerja ke luar negeri, mereka punya cincin emas yang bagus. Gelangnya saja ada dua. Apalagi kalung emas yang dipakai. Ada berliannya, Kang. Sampirnya juga bagus!”
Tutur bininya menggores dada Sarip. Harga diri sebagai seorang lelaki seakan-akan diremehkan. Siapa yang tak ingin seorang laki merias bininya? Siapa yang tak ingin laki memanjakan bininya? Ia hanya seorang tenaga panggilan pemanjat siwalan. Mujur rumahnya berdinding sirap, peninggalan orangtuanya yang sudah meninggal.
Jika saja yang bertutur demikian bukanlah bini sendiri, mungkin celurit yang menggantung di pilar sudah diambil untuk dikalungkan pada orang itu. Seperti yang pernah akan dilakukannya kepada Jusup, paman dari keluarga Misnatun, yang lantaran jelas-jelas membela kepergian bininya.
***
Perbukitan di sebelah barat membuat matahari redup sebelum waktunya. Bayangan pohon siwalan memanjang dua kali lipat dari bentuk asal sebelum benar-benar lenyap. Sarip membuat api unggun agar sepasang sapinya tak dikerumuni Nyamuk. Aroma celatong merebak saat angin memaksa masuk dari celah selatan.
Di atas lincak, Munarti sedang tepekur. Sedang merapalkan sesuatu. Ragu-ragu. Sarip menghampirinya.
“Kang, bagaimana kalau kita ikut Nyae Rajak? Pekerjaan banyak sekali di sana katanya,” tawar Munarti polos.
“Pekerjaan? Apa kurang di sini?”
“Di sana cari uang mudah, katanya. Lakinya Cuma ngangkut barang. Kalau perempuan cuma masak dan nyuci. Kita juga bisa makan yang enak-enak. Ketimbang kerja di sini, cuma itu-itu. Kasihan, Dulla sudah hampir besar.”
Sarip pucat, duduk bertekuk lutut berselempang sarung di atas lincak. Bukan tidak mau ia menerima ajakan bininya, tetapi goresan luka yang ditinggalkan bini pertama jelas belum purna.
“Syukuri adanya. Apa beda kerja di sini dengan kerja ke luar negeri? Sama-sama kerja miliknya orang.”
“Kang, aku kehilangan Kang Sunar karena terjatuh saat memanjat siwalan. Aku tak mau kejadian itu terulang pada Kakang.” Sarip mengerti apa yang dirasakan Munarti. Namun, perempuan itu tak mengerti apa yang dirasakannya. Tak ada titik temu yang menyatukan perasaan laki-bini itu. Sementara, petang terus datang, merambat seperti ular.
“Kalau Kakang tak mau, bagaimana kalau aku saja yang ikut?”
“Apa? Mau dikemanakan aku dan Dulla. Siapa yang menanak? Siapa yang nyuci?” Sarip berdiri. Tak kuat.
“Kakang bisa pindah dan tinggal bersama emak.”
“Tompes! Kamu sudah gila, ya?”
“Kang…”
“Aku tak mau. Sana, ambilkan aku air minum. Sekalian juga buatin kopi,” perintahnya. Raut kecewa membungkus wajah Munarti. Apa jadinya jika Munarti benar-benar pergi? Tidak. Sarip tak akan kuat menahan gunjingan orang-orang. Tatapannya kosong pada selembar kertas, kalender yang kusam. Di depan kalender itu menggantung sebuah celurit. Angin berdesir menerpa dirinya.
***
Senja menepi menabur cahaya kekuningan. Seekor tupai melintas di atas pelepah siwalan. Bertelanjang dada dengan dua ember air la’ang yang dipikulnya, Sarip menyusuri jalan sempit dan berkelok. Kulitnya yang hitam legam berlulur peluh.
Sejenak, ia berhenti mengamati rumahnya sendiri yang tampak condong ke utara. Tampak di balik kerre, dua orang sedang bertamu. Sarip mengeryitkan dahi. Kedua alisnya menyatu. Kedua ember itu diletakkan di beranda rumahnya.
“Kang! Cepat kemari,” kata Munarti.
“Oh, ya. Sebentar, aku ke kandang,” katanya sembari melempar senyum pada kedua tamunya. Senyum yang dipaksakan.
Remeh-temeh pembicaraan terdengar mengasyikan. Sesekali tawa menggema. Adzan Maghrib berkumandang tepat saat Sarip keluar dari kamar dan menemui dua tamu itu.
“Kang, sini,” perintah Munarti sambil menggeser duduknya.
“Sudah lama, Ke?” kata Sarip.
“Tidak.”
“Kang, Nyae Rajak mau menawari kita pekerjaan. Kalau mau kita bisa langsung ikut mereka nanti. Benar kan, Nyae?”
Ucapan Munarti seperti sebilah belati mencabik-cabik ulu hati. Sarip tidak bisa lagi menahan ketidaksukaannya. Matanya jalang menatap kedua tamu itu. Bagaimana mungkin ia mau menerima dan mengulangi peristiwa yang bertahun silam telah ingin dikubur habis. Tidak. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada menerima hinaan orang.
“Tidak! Aku tak setuju!” tukas Sarip. Berdiri. Berang.
“Kenapa, Kang?”
“Kalau tidak, ya, tidak!” Sarip membentak. Ke Rajak dan Nyae Rajak pucat.
“Kakang tak boleh begitu. Pertimbangkan dulu. Daripada pagi-sore melulu manjat-manjat. Apa dengan begitu sudah cukup keseharian kita?” Munarti ikut meninggi.
“Pergi! Jangan pernah kembali ke rumahku dan membujuk biniku!” Sarip menuding kedua tamunya tak berperasaan. Napasnya menderu dan tersengal-sengal serupa orang yang kesurupan.
“Baik. Baik. Kami akan pergi,” kata Ke Rajak ketakutan menggenggam erat tangan Nyae Rajak. Kedua tamu itu pun segera pergi.
Munarti berteriak memaksa kehendak ikut Nyae Rajak. Sumpah serapah bercecer. Sarip melayangkan tangan kekarnya pada wajah Munarti. Seketika perempuan itu terpelanting ke tanah. Pipinya memerah ditambah amarah. Munarti menangis sesenggukan. Pintu kamar dibanting dengan sangat kasar. Sarip lesu di atas lincak. Dadanya kembang-kempis menahan emosi. Dengan apa ia harus mengatakah bahwa sebenarnya bini pertamanya bukan mati karena melahirkan, melainkan pergi ke luar negeri.
“Besok aku akan tetap ikut!” teriaknya dari dalam kamar. Lantang sekali.
Kalau saja Dulla tidak segera kembali dari mengaji, pasti Sarip akan berlanjut mengajarkan tatakrama. Tapi, ia tak tega melihat Dulla yang turut menangis melihat Munarti menangis.
Malam itu, Sarip pisah ranjang. Ia tiduran di luar, di atas lincak. Pandangannya menebas kerre untuk menembus sesuatu di baliknya. Kebohongan merongrong penyesalan. Apa daya nasi telah berubah bubur. Pilihannya cuma satu, tetap mempertahankan Munarti untuk tidak pergi atau menanggung malu untuk yang kedua kalinya.
Sarip memintal kulit Jagung yang di dalamnya sudah berisikan tembakau. Disulut ujung pintalan itu, asap membubung tinggi. Pandangannya kembali lekat pada celurit yang menggantung di depan kalender.
“Apa aku harus melakukannya? Demi harga diri.” Sarip mendesis seraya menatap potret dirinya di ketajaman celurit itu.***
Annuqayah, 3:46 PM
Keterangan:
Kerre : tirai yang terbuat dari anyaman bambu
La’ang : saripati bahan dasar gula merah
Sakalangkong : terima kasih
Bhuta celleng : raksasa hitam
Celatong : kotoran sapi
Kalebun : kepala desa
Ke dan Nyae : kakek dan nenek, sebutan orang Madura bagi yang sudah tua
0 comments:
Post a Comment