Tuesday, May 8, 2012

Catatan dari Anak yang Terbuang

Sengaja saya menulis catatan ini, karena memang saya rasa sudah sepantasnya menulis catatan tentang kebersamaan saya dengan Komunitas Cinta Nulis (KCN). Catatan ini saya buat dalam rangka memberikan klarifikasi, bukan sebagai pemicu keharmonisan diantara kita.

Kenapa saya terdorong menulis catatan ini? Karena (maaf) sudah ada sentimen tentang saya yang tidak mengenakkan, bahwa saya sudah dirasa (maaf, bukan saya yang merasa) HEBAT karena—mungin—tulisan saya sering menembus media baik lokal maupun nasional sehingga saya dirasa egois dan melupakan KCN—hanya karena tidak memposting tulisan di group fb—sebagai awal berproses saya di dunia fiksi (cerpen).

Kepada cak Zaiturrrahiem RB, selaku founding father KCN, mohon simaklah catatan kecil dari saya agar cak Zaitur dan semua anggota KCN mengerti terhadap apa yang saya rasakan kepada KCN saat ini, bahwa saya pernah (dan sampai saat ini) merasa TERBUANG dari KCN.


Masih cukup lekat tentang perjalanan saya dengan KCN. Saya masuk di KCN pada akhir Tahun 2007. Saat itu, timbul kesadaran bahwa (saat itu) saya sudah menginjak kelas tiga Madrasah Aliyah dan setelah itu akan kuliah. Bagaimana nanti bila saya tidak tahu menulis? Bagaimana nanti bila ada tugas makalah dari dosen? Apakah saya harus menyuruh atau menyewa orang untuk membuatnya karena saya tidak bisa menulis? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mendorong saya untuk belajar menulis. Lalu, siapakah yang akan mengajarkan saya menulis? Itu yang saya pikirkan kemudian.

Saya berusaha mencari tutor atau komunitas yang bisa menampung dan mengajari saya merangkai kata. Sampai akhirnya, saya membaca sebuah pamflet yang tak lain adalah pamflet KCN yang ingin merekrut anggota baru.

Kesempatan itu tak saya lewatkan. Meskipun tempat KCN di Lubangsa Selatan, berbekal tekad dan niat yang bulat untuk tahu menulis, tak apalah meski cukup jauh, yang penting saya memiliki komunitas dulu untuk menjaga niat saya agar tidak luntur.

Singkat cerita, saya mendaftarkan diri. Awalnya, saya tidak tahu bahwa KCN concern-nya adalah dunia fiksi (cerpen). Dugaan saya, karena namanya KOMUNITAS CINTA NULIS, jadi akan diajari nulis apa saja sehingga bisa membuat cinta menulis. Realitanya, hanya diajari cerpen. Saya agak kecewa karena yang saya inginkan bukan ingin tahu membuat cerpen, tapi ingin tahu membuat makalah, itu saja. Tetapi, saya tidak lantas berhenti atau keluar dari KCN karena “salah tujuan”. Saya tetap bertahan. Paling tidak, sudah ada komunitas yang menampung saya untuk menjaga kesinambungan saya belajar menulis. Saya sadar, kalau belajar secara otodidak prosesnya akan sangat lambat, tidak seperti berorganisasi. Jika berorganisasi, paling tidak ada sebuah tuntutan—organisasi—untuk selalu menulis. Disamping itu, siapa yang akan menilai tulisan saya bila saya tak memiliki organisasi? Itu yang saya pikirkan juga.

Waktu itu, saya masih sangat ingat kalau saya hanya sebentar (kacapok sakejjhe’) dibimbing cak Zaitur sebelum beliau berhenti mondok. Setelah cak Zaitur berhenti, cocoklah pribahasa “bagai anak ayam yang kehilangan induknya” disematkan pada kami. Kami merasa kelimpungan dan hampir putus asa. Suasana yang saya rasakan sudah tak seseru ketika ada cak Zaitur. Lambat laun, setelah Muktir Rahman Syaf dan Fahrurrazi tidak aktif lagi, Badrus sebagai ketua KCN terus memompa semangat kami untuk tetap terus berproses. Tapi, setelah dia berhenti, ceritanya sudah lain: anggota KCN kocar-kacir. Dan, kebersamaan saya dengan KCN diakhiri dengan penerbitan antologi buku cerpen ke dua “Lembaran yang Hilang”. Antologi itu, sampai saat ini tetap saya museumkan sebagai kenang-kenangan saya dengan KCN. Terhitung, kalau tidak salah, hanya setahun dua bulan kebersamaan saya dengan KCN.

Lalu, karena KCN masih terlelap sambil menunggu kapan bangunnya, saya berusaha mencari komunitas lain untuk membantu saya agar tetap terus menulis.

Sampai, akhir 2008, saya mengikuti karantina menulis yang diadakan oleh Ahmad khotib selama setengah bulan di aula As-Syarqaqi. Dialah yang menggembleng saya serta memeras otak saya mengeluarkan ide sebanyak banyaknya untuk ditulis. Waktu itu, saya mengumpat bahwa apa yang telah beliau lakukan pada saya—juga pada teman-teman saya—sangat otoriter. Tetapi, saya cukup tahu diri, semangat, baik otak maupun otot yang ia berikan masih tak sebanding dengan kesusahan saya sebagai “pekerjanya”.

Usai karantina, tak lama setelah itu, saya menjadi kru majalah Muara dan bergabung dengan Pusat Data (Pusdat) PP Annuqayah, yang dibimbing oleh K.M Mushthafa. Di Muara saya belajar menjadi penggiat pers. Di Pusdat, saya dibimbing untuk menulis tulisan yang benar dan efektif—meski waktu itu yang ditulis hanyalah berita, tetapi bimbingannya sangat ampuh membuat tulisan saya berkembang pesat. Ditambah dengan dibuatnya Milis Annuqayah, yang di dalamnya ada K.M Naqib Hasan, K.M Zammiel El-Muttaqien, K. Mushthafa, K.M Faizi, dan K.M Salahuddin Wahid yang siap dan akan memberikan masukan atau perbaikan terhadap tulisan teman-teman Pusdat, saya merasakan, kreatifitas menulis saya berkembang sangat cepat, yang kemudian setahun setelah itu saya diangkat menjadi Pengurus LPM.

Sampai saat ini, saya aktif di keduanya (Pusdat dan LPM). Dan, meski saya banyak belajar karya ilmiah dan jurnalistik, saya tetap menulis cerpen. Bahkan, produktifitas saya menulis cerpen lebih banyak ketimbang karya ilmiah. Yah, mungkin karena KCN telah terlebih dahulu menempa saya untuk melajar menulis cerpen sehingga kreatifitas menulis cerpen terus mengalir dalam diri saya. Sampai saat ini.

Tahun 2010, setelah lebih dari setahun vakum, saya mendengar KCN sudah hidup lagi, merekrut anggota baru, dan rutinitasnya sudah berjalan kembali. Dari serangkaian itu, saya tak pernah dilibatkan atau setidaknya ada pemberitahuan—dari orang yang menghidupkan lagi—bahwa KCN telah aktif. Saya tak dilibatkan lagi! Padahal, sama sekali saya tak pernah menyatakan berhenti atau keluar dari KCN. Nah, sampai disini saya merasa kecewa. Saya merasa menjadi anak yang TERBUANG. Tetapi, saya cukup tahu diri; saya hanya orang luar (non-Lubsel) yang hanya berpartisipasi atau hanya dianggap sebagai pelengkap KCN, bukan merupakan bagian di dalamnya. Wajarlah bila saya tak diajak lagi.

Oleh karena itu, tahun itu pula, saya dan Faruqi Munif merintis sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Sastra Serambi (Kosambhi) yang orientasinya tidak hanya kepada cerpen, tetapi juga puisi. Rasa kecewa saya tuangkan dalam komunitas itu, menempa mereka—berbekal di KCN, Karantina, dan Pusdat—menjadi penulis handal. Saya akan membuktikan bahwa saya tetap ada dan berkarya tanpa KCN. Maaf, lahirnya komunitas ini bukan dalam rangka sebagai tandingan, melaihkan hanya sebagai pelepas rindu saya akan suasana sebuah komunitas sastra.

Dan, Alhamdulillah, meski hanya 3 dari 8 orang hasil didikan saya yang sukses, saya patut merasa bangga. Bahkan salah satu diantara ketiga itu mengaku Kosambhi telah mengantarkannya meraih beasiswa kuliah di jurusan sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sampai saat ini ketiga orang tersebut tetap produktif menulis dari koran lokal hingga tembus koran nasional.

Sejak awal tahun 2010 tersebut, saya tak lagi berurusan dengan KCN dalam hal apa pun. Apalah yang dibutuhkan dari seorang yang merasa terbuang. Tetapi, kecewa itu cukup melejitkan semangat saya untuk terus berkarya sampai saat ini.

Sampai awal 2012, saya diminta oleh cak Zaiturrahiem RB selaku founding father KCN untuk turut bergabung dalam group KCN di fb, dan meminta karya-karya saya, baik yang dimuat atau yang tidak dimuat, untuk diposting di group itu. Berat awalnya bagi saya untuk tidak bergabung dengan group ini. Tetapi, demi menyembunyikan rasa kecewa saya pada Cak Zaitur dan demi menjaga “keharmonisan” antara saya dan KCN di mata cak Zaitur, saya berani menyembunyian rasa kecewa saya dan bergabung di goup ini.

Bulan Maret 2012, kebetulan saya bersua kembali dengan beliau ketika beliau hendak menjadi juri di MA 1 Putri. Pertemuan itu, meski sangat singkat, terjadi tepat di depan pintu gerbang SMA 3 Annuqayah sebelah timur. Beliau bertanya, “bagaimana KCN, drik?”. Saya menjawab seadanya, meski saya sudah tak aktif lagi di sana, “KCN masih berjalan aktif. Baik-baik saja”. Lalu beliau berpesan, “senga’ ya, saya matoro’ah KCN ke kamu”.

Saat beliau berpesan demikian, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, bahwa saya terlah tidak aktif lagi di sana. Tetapi, demi menjaga perasaan beliau agar tidak kecewa, saya mengatakan kalau saya masih aktif di sana. Sungguh, saya telah munafik. Bahkan, agar terkesan baik-baik saja dalam diri saya, saya sempat memposting satu tulisan saya di group ini.

Demikian pengakuan dari saya. Silakan kalian semua yang tergabung di group ini menganggap saya sebagai apa, terserah. Yang penting, saat ini saya telah melakukan sebuah kejujuran. Dan, saya sangat bersyukur karena tulisan ini telah menyelamatkan saya dari kemunafikan.

Kepada cak Zaitur: terima kasih telah membukakan pintu bagi saya untuk mengatakan yang sebenarnya apa yang saya rasakan. Maafkan saya bila saya terlanjur blak-blakan. Sungguh, saya tak bermaksud untuk menyakiti hati cacak. Sekian. Terima kasih.





0 comments: