Friday, May 25, 2012

Aku, Dia, dan Nya

(Ulasan Cerpen "Mimpi Raja Hujan" di Majalah Muara edisi Mei 2012)
Oleh Fandrik Ahmad

Dalam sebuah lakon cerita pendek, banyak ragam pilihan bagi pengarang memilih menjadi tokoh dalam cerita yang digarapnya. Apakah pengarang ingin memposisikan diri melakoni tokoh utama pelaku utama, atau tokoh sampingan yang hanya terlibat sekilas atau menjadi pelengkap—entah si penulis berposisi sebagai teman, orang tua, saudara, orang jauh, dlsb—tokoh utama. Atau barangkali, penulis lebih memilih “duduk santai” melakonkan para tokoh dari balik layar.

Pelakon pengarang dalam cerpen dikenal dengan istilah point of view (sudut pandang). Cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita merupakan salah satu bagian dari unsur intrinsik cerpen. Melalui point of view ini, pengarang berposisi menjadi yang tunggal, yang satu, yang esa, dan menjadi “tuhan” (huruf t sengaja dikecilkan), mempermainkan emosional pembaca untuk turut serta lebur bersama kisah yang dikarangnya.

Guna mentahbiskan diri sebagai yang tunggal, pengarang mengambil satu peran tokoh, yakni memilih satu dari tiga point of view: Aku, Dia, atau Nya. Hal ini dimaksudkan untuk “menjelaskan” posisi pengarang sebagai pemegang otoritas dalam sebuah karangannya. Akan tetapi, tak sedikit pula belakangan beberapa pengarang membuat dua pelakon tokoh utama, tepatnya pengarang berperan ganda; menempatkan dua tokoh “Aku” dengan gaya tulisan yang mudah dipahami, yakni dengan menggunakan “subbagian” guna memudahkan pembaca memahami pada bagian cerita mana pengarang berganti peran, pada posisi yang mana pengarang menjadi pelakon utama dalam dua tokoh yang diangkat.


Zelfeni Wimra, misalkan, dalam salah satu karyanya, Dua Keping Kisah Pikun (Jawa Pos, 11/11/2007), pernah berperan ganda, yakni menempatkan dua tokoh utama. Guna mencari “aman” atas dua perannya, ia menggunakan “subbagian” yakni Kepingan Mahmud dan Kepingan Zahara. Lan Fang juga sering melakukan hal itu. Gaya penceritaan yang demikian bisa dilihat pada karya Dua Perempuan, (Suara Merdeka, 11/12/2006) yang menggunakan “subbagian” Kamar A5 dan Kamar A6, atau Hujan di Atas Ciuman (Jawa Pos, 12/20/2009) antara Tato dan Lin. Dan yang paling anyar, bisa disimak pada cerpen ketua FLP Lubuklinggau, Benny Arnas, Pelajaran Bercinta (Suara Merdeka, 15 April 2012).

Mendalami tentang point of view, mari kita simak sebuah cerpen Mimpi Raja Hujan buah karya Istianaturrahamah, yang mengangkat tema tentang cinta dan persahabatan. Temanya memang sangat klise dan—biasanya tema seperti itu—sangat mudah untuk diangkat oleh pengarang pemula—maaf, di bagian ini saya lepas tangan untuk menyatakan pengarang cerpen ini pemula atau bukan. Tetapi, gaya tutur komunikatif, renyah, metafor sederhana, serta gaya penceritaan yang tak lazim dipakai membuat karya ini berbeda dari cerita-cerita yang diangkat oleh kebanyakan santri sepantarannya.

Tidak tanggung-tanggung! Pengarang sangat “berani” menggunakan ketiga point of view sekaligus dalam satu cerita. Dengan menggunakan bantuan “subbagian”, ia bertindak sebagai tokoh Aku, Dia, dan Nya. Mari kita simak bersama…

Pada paragraf pembuka sampai paragraf ke empat, anak asuh FLP Latee II ini berperan sebagi narrator, tak terlibat langsung dalam cerita. Di luar “panggung” ia menceritakan karakter kedua tokoh: tetang Ogin yang tak tahu mengaji dan keras kepala, tentang Kez yang tampan serta aktivis organisasi kampus dan guru ngajinya Ogin, sampai pada keterlibatan persahabatan mereka yang sama-sama menyukai hujan.
Pada dua paragraf selanjutnya, lima dan enam, secara bergantian Istianaturrahamah memerankan diri sebagai Ogin dan Kez. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan pendekatan hubungan timbal balik perasaan (konflik batin) kedua sahabat itu: Ogin kepada Kez dan Kez kepada Ogin.

Paragraf berikutnya, Istianaturrahamah kembali berperan sebagai narator. Bagaimana ia membangun celah untuk melukiskan perasaan Ogin yang lambat laun jatuh cinta kepada Kez. Penulis cukup apik membuat dialog antara keduanya, yang pada titik pangkal menunjukkan bahwa Ogin takut kehilangan Kez, tanpa harus membuat cerita menjadi dramatis seperti meletakkan kalimat, “seperti kesambar kilat”, “hati Ogin runtuh mendengar penuturannya”, “ada sakit di hati Ogin”, dlsb, yang akan membuat cerita, di samping dramatis, juga menjadi hiperbolis.

Ia memang cukup berhasil menggunakan ketiga point of view itu. Tetapi, alur cerita yang dibangun tak seberhasil point of view-nya. Simaklah pada paragraf pembuka penulis—narator—mengisahkan persahabatan antara Ogin dan Kez: …kecuali saat ia baru kenal dengan Kez, si Wiro Sableng kampus. Kez bukan hanya memiliki tampang yang menarik, namun tingkahnya yang ramah dan selalu aktif di organisasi kampus membuatnya diburu banyak perempuan… Ogin tiba-tiba terkenal menjadi saingan untuk memperebutkan Kez, sahabatnya.

Lalu bandingkan dengan kalimat di paragraf ke dua: Kedua bocah itu tumbuh di sebuah kompleks kecil pinggiran kota Surabaya, dengan jarak rumah hanya tiga meter…ketika gadis kecil itu sering memperhatikan tetangganya bermain-main…ada rasa yang kuat untuk terjun bebas di bawah hujan bersamanya….

Penulis gagal meyakinkan pembaca, awal mula ikatan persahabatan mereka. Kalimat…saat baru kenal dengan Kez, (persahabatan Ogin dimulai saat masuk kampus). Kalimat berikutnya ...kedua bocah itu tumbuh…dengan jarak rumah hanya tiga meter, (sejak kecil, bukan dari kampus) membuat jalinan persahabatan yang dibangun menjadi kabur. Belum lagi dikuatkan dengan paragraf ke tiga yang kemudian menuturkan mereka sama-sama menyukai hujan. Kekaburan lain adalah sejak kapan Ogin belajar mengaji pada Kez. Apa sejak kecil ketika sama-sama menyukai hujan (paragraf ketiga)? Atau sejak kelas dua SMA sebagaimana diungkapkan langsung oleh pengarang.

Kegagagan mendasar lainnya adalah pembangunan karakter tokoh. Benarkah Wiro Sableng itu tampan dan ramah? Mengapa penulis menganalogikan Kez si Wiro Sableng kampus? Apakah Kez juga Sableng? Ingat, nama aslinya Wiro Sasono, bukan Wiro Sableng. Sableng itu julukan untuk menunjukkan karakter si tokoh. Tahu Sableng? Cek di kamus..! Begitu pula dengan Ogin. Tak ada petunjuk yang mengarahkan pembaca mengapa Ogin begitu sulit untuk tahu (diajarkan) mengaji. Pengarang hanya menjelaskan bahwa Ogin hanya seorang gamer dan keras kepala. Apakah otak Ogin “berpentium 2” atau pemalas, atau apalah sehingga begitu lama belajar mengaji, tak ada penjelasan tentang ini.

Demikian beberapa catatan kecil dari saya. Sebagai sebuah karya, saya mengacungkan jempol dan mengucapkan selamat atas terpilihnya cerpen Istianaturrahamah sebagai cerpen pilihan majalah Muara tahun ini.[]

* Cerpenis, asal Lodokombo Jember

0 comments: