Sunday, May 20, 2012

Akulah Guru Terkutuk

(Annida Online, 18 Mei 2012)

Langit pagi mendung. Pekat bergelayut. Pukul enam lewat lima menit waktu di pergelangan tangan. Saya memantapkan diri mengajar, tetapi dilarang istri. Tak akan ada orangtua yang mengizinkan anaknya bersekolah, katanya. Saya pandangi langit, menerjemahkan larangan istri saya. Saya mendekat ke gorden jendela. Saya buka. Angin meruak tajam.

Teh panas yang ia seduhkan utuh di atas meja. Udara yang lembab membuat uap meliuk dengan jelas. Merambat seperti binatang melata. Bintik-bintiknya menghablur sebelum raib menjadi lembab. Terlalu panas teh itu untuk dinikmati.

Angin menggarang, memberi kabar kalau hujan akan segera turun. Lebat. Untung, tak ada suara petir atau geledek sehingga cuaca tak terlalu menyeramkan. Mungkinkah saya bisa pergi mengajar tanpa berbasahan karena hujan? Itu yang saya pikirkan. Ada benarnya istri saya, mana mungkin ada orangtua mengizinkan anaknya bersekolah. Saya saja ragu bisa menembus dengan memakai mantel atau jas hujan bila hujan jadi menyambangi. Terlalu deras, begitulah mungkin.


Istri saya sibuk dengan aktifitas alat-alat masak kotor. Anak saya, sudah dilarangnya bersekolah. Ia duduk manis di layar televisi menyaksikan film kartun.
Saya pandangi langit dari kisi-kisi jendela. Saya mengkalkulasi waktu. Jam enam lewat tujuh menit, berjalan kaki ke sekolah membutuhkan waktu normal sekitar dua puluh menit. Apa mungkin waktu, anggaplah setengah jam dari sekarang, mendung tak akan cair? Ah, saya tidak bisa berspekulasi.

maaf, mngkn hr ni sy tdk msuk lg. Keshatn sy sdkt trg3
send to: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.24.32


Saya menghela nafas berat. Sadar atas ketidaksadaran. Semoga saya tidak menerima hukuman untuk sebuah kesalahan ini. Saya tatap geram layar ponsel. Seminggu lalu, saya sudah absen mengajar. Saya mohon pamit kepada kepala sekolah karena ada urusan Walimatul Ursy adik perempuan saya. Seandainya minggu lalu saya mengajar, mungkin hari ini saya tidak terlalu kepikiran untuk tidak mengajar.

Saya memegang mata pelajaran Alquran Hadits di lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Tujuh belas tahun berjalan saya mengajar di sana. Saya diamanahi menjadi wali murid kelas enam karena ketuaan saya mengajar. Tentu, sebagai palang pintu terakhir, tugas sebagai wali kelas enam lebih berat.

Selain saya, ada tujuh guru lagi. Dan, hanya saya dan kepala sekolah yang berstatus guru PNS. Tentu, bujet yang saya terima lebih dari cukup sekedar menafkahi anak dan istri. Empat tahun lalu saya diangkat jadi PNS setelah melewati masa menyakitkan selama tiga belas tahun: gaji yang hanya bertaraf jam. Hem, kesan yang datang terlambat.

Kegelisahan meraung. Kegalauan berontak. Ada sesuatu yang selalu menuntut saya. Serupa sebuah kutukan. Bagaimana nanti jika ada anak didik saya sudah susah datang jauh-jauh kemudian saya absen?

baik, pk. akn sy smpaikn kpd kpla skolh
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 06.27.32


Garis-garis hujan kelihatan, datang terlalu riang. Kemerisik angin merisaukan daun-daun, mengayunkan bulir air ke kanan dan ke kiri. Meliuk jatuhnya.
Sesal meruak saat membaca sms Pak Burhan, Tata Usaha di tempat di mana saya mengajar. Bukan jawaban itu yang saya sesalkan. Waktu. Ya, waktu yang tertera di bawah jawaban itu. Pukul enam lewat dua puluh tujuh menit tiga puluh dua detik! Sudah dua puluh menit berjalan. Seharusnya jika saya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, niscaya saya sudah sampai di madrasah dan bisa mengajar. Saya beringsut mencari celah untuk menghilangkan hantu di otak saya; pada murid saya, pada Pak Burhan, dan pada guru lain yang akan terkena imbas kebohongan saya.

Saya menjauh dari anak-istri saya. Barangkali akan lebih bermanfaat bila mengurung diri di kamar, duduk di depan meja kerja dan menyalakan komputer. Begitu masuk kamar, saya langsung menyorongkan wajah pada kursi di mana saya biasa melakukan aktifitas. Beberapa buku, bundel catatan, dan berkas-berkas bersarakan di bawah lampu duduk. Di atas CPU butut berpentium tiga, ada segelas kopi yang ampasnya sudah mengarat. Sedangkan bantal dan seprei sudah tertata dengan baik. Istri saya barangkali lupa untuk merapikan tempat kerja saya.

Meja kerja saya diapit dua poster cukup besar. Yang satu mengenakan jas, kopyah nasional, kacamata hitam, serta telunjuk yang sedikit dicondongkan ke atas. Ia begitu wibawa di depan bacground burung rajawali. Sebenarnya saya tidak suka gayanya. Dulu, saya tergugah membeli poster itu hanya sebuah kalimat di bawahnya selalu memotivasi saya. Bunyi kalimat itu, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya aku akan ubah dunia”.

Poster yang satunya benar-benar idola saya. Surban dan gitar merupakan kesatuan jiwanya. Selalu ada titik pencerahan ketika saya mendengar dan ikut mendendangkan syair lagunya. Figur yang selalu menginspirasi jalan hidup saya; sang Raja Dangdut Rhoma Irama!

Karena hujan, kamar kurang pencahayaan. Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan ketika duduk di depan meja kerja. Saya tekan power CPU. Sambil menunggu loading, saya rapikan tempat itu. Pada rak buku paling atas, sebingkai foto meruapkan rindu saya. Kenangan menepi. Bongkahan masa lalu terpatri. Doa-doa melesat tanpa saya sadari; berdoa agar mereka menjadi orang yang berguna. Berguna pada bangsa dan negara? Itu terlalu muluk. Berguna pada diri sendiri, sudah cukup.

Dulu, saya seorang mahasiswa yang sering menyendiri. Mengurung diri dari keramaian. Karena itulah saya dijuluki Si Harry Potter. Namun Harry Potter yang dimaksud adalah si culun yang sering bersemedi memperdalam ilmu spiritual. Atau bila tidak demikian, mereka menjuluki saya dengan si kacamata tebal. Teman saya ketika itu acapkali mengatakan ingin berguna pada bangsa dan negara. Mereka seakan ingin menggegerkan kelas dengan semangat apinya. Padahal di luar itu, kerjanya hanya keluyuran: begadang, menghabiskan waktu di klab, atau bersama doi semalaman. Melihat hal itu, terkadang pertanyaan iseng datang tanpa saya sadari: apakah bisa? Ah, jadi ngelantur ke masa lalu.

Saya mendekat. Memandang lekat wajah-wajah ceria dalam pigura itu. Ayu, gadis yang tingginya kira-kira hanya semeter, terkerdil kedua setelah Mia, katanya ingin menjadi model. Ketika ditanya hobinya, ia mengaku suka jalan-jalan. Sulaiman, bocah dekil berkulit hitam yang ingin jadi pilot. Hobinya makan tempe. Ah, cita-cita dan hobi yang tak nyambung sama sekali! Hem, Andi, bocah tertinggi di antara teman sekelasnya. Ketika saya tanya, katanya ingin menjadi polisi karena hobi menembak. Saya tersenyum atas pernyataannya. Polisi-tembak-menembak. Benarkah Polisi tukang tembak? Ah, tak perlulah terlalu mempermasalahkan yang itu. Saya yakin suatu saat mereka akan bisa memaknai jalan hidup sendiri.

Kemerisik angin menampar-nampar jendela. Percikan hujan saling dorong memaksa masuk. Sesal coba saya sembunyikan pada percikan itu, menutup kebohongan yang baru saja saya lakukan.

Komputer telah menyala. Saya explorer, buka-buka folder, tak tentu apa yang saya cari. Pikiran saya kalut. Dalam telinga, kemerisik terdengar lebih keras membacok-bacok kepala. Pada akhirnya, cursor saya arahkan pada Winamp dan setelah itu tanpa sadar saya membuka microsoft world.

Kertas putih terhampar di depan mata. Mau diapakan, saya juga tidak tahu. Saya coba ketik sembarang kata. Sampai dua kalimat, saya tekan control A dan tulisan itu seketika hilang bersamaan dengan telunjuk saya menekan tombol delete. Saya berpikir untuk menulis. Tapi saya tidak tahu harus menulis apa.

Aha, saya akan menulis sebuah catatan kecil saja. Catatan kecil tentang sebuah hujan.

Duduk saya tegakkan memikirkan kalimat perdana. Saya akan memulai ketika bangun tidur. Ah, rasanya akan terlalu bertele-tele. Tidak ada kesan yang berarti. Bagaimana kalau dimulai dengan perkiraan saya kalau pagi ini akan ada hujan lebat. Hem, sepertinya kurang selaras dengan apa yang ingin saya tuangkan.

Aha, saya telah menemukannya! Menemukan sesuatu yang patut saya tulis. Bahwa saya telah melakukan kebohongan! Ya, kebohongan! Kebohongan! Mengapa saya berbohong? Mengapa saya tidak jujur? Mengapa saya harus melakukannya? Sip, mungkin dengan ini bisa menebus dosa sekaligus menghilangkan beban psikis saya.

Hujan berikut angin menerjang jendela. Daun-daun mengerang kesakitan tidak kuat bergelantungan. Gugur di luar rencana. Bulir hujan kecil melesat bak anak panah. Untung! Untung tak ada petir atau geledek. Pikiran saya tumpahkan pada selembar kertas putih di layar monitor. Segala yang saya rasakan akan saya tulis! Nampaklah kata-kata membludak. Bergerak cepat ditekan emosi. Dalam sekejap saya telah menyelesaikan satu paragraf yang terdiri dari sebelas baris.

Tiba-tiba listrik padam ketika mulai melanjutkan pengaduan kesalahan pada paragraf selanjutnya. Saya marah. Saya kecewa. Lunglai. Sial! Rasanya, saya ingin tiduran saja. Saya rebahkan tubuh di atas kasur. Di sana, di atas langit-langit saya pandang; sesal, kecewa, dan frustasi. Saya tidak tahu di mana akal sehat saya waktu itu.

Dari ponsel, terdengar isyarat pesan masuk.

pk skrng sy brsma susi dlm kls.
ia nangis sndrian. bjux bsh berlmur lmpur.
lututx luka,ktx ia trjtuh. disni tk ad org
sender: pak burhan
+628735818xxx
time: 01-Des-2011, 07.12.20


Nyaris saya tak percaya. Bukan pada informasinya, juga bukan tak percaya kalau Susi kecelakaan. Saya tak menyangka ada murid saya yang masuk hari itu.

Hujan lebat yang ditengarai angin hebat saya tembus. Anak dan istri saya berteriak. Entah, apakah sedang mengomeli saya atau ingin membekali sebuah payung.***

As-Syarqawi; 05.12.11; 08.30 PM.

0 comments: