(Dimuat di Suara Pembaruan, 27 Mei 2012)
Dua jarum jam dinding tak bergerak. Yang satu berhenti di angka sembilan sedangkan satunya lagi, sedikit lebih panjang berhenti di angka sebelas. Detiknya berdetak tapi tak beranjak. Sesosok tubuh senja meringkih di atas lincak, tepat di bawah detak jam itu. Desir angin melengkungkan tubuhnya. Nyamuk-nyamuk menjadi galak di musim hujan. Menusuk-sunuk bak jarum suntik. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Segerombolan nyamuk meraung-raung serupa omelan istrinya yang terus berdenyut di kepala.
Jatah kasur empuk dan pelukan sang istri dipastikan raib sebelum maaf terucapkan. Maaf? Ah, ia menggelengkan kepala. Lebih baik tidur di atas lincak ketimbang minta maaf, pikirnya. Beberapa bulan terakhir, istrinya kerap naik pitam bila sedikit saja ada kesalahan sebagai kepala rumah tangga. Aku manusia biasa, bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, umpat hatinya.
Angin berdesir. Sebuah krocok jatuh. Keras membentur genting dapur. Dengan sigap ia bangun. Menuruni tiga buah anak tangga di depan rumah seraya bergegas menuju kandang sapi. Keamanan Kampung Pangsenok tak terjamin. Kalau tidak mawas diri, manusia-manusia belang akan leluasa menyatroni rumah mereka.
Dipastikan sepasang sapinya tak beranjak, lelaki tua berperawakan kurus itu bergegas ke beranda. Sesekali bias cahaya dari dalam rumah jatuh di kakinya. Sudah larut benar, pikirnya. Langkahnya sejenak terhenti di depan jendela kamar. Lampu sudah padam. Kisi-kisi jendela kayu berundak ditatapnya lekat. Ia menguatkan napas, tak habis pikir. Setiap kali ada persoalan keluarga, entah urusan dapur, pertanian, perniagaan, keuangan, ujung-ujungnya pasti lari pada satu persoalan: Sekolah. Mengapa harus sekolah? Ini yang membuatnya tak terima.
Keras suara kakinya menaiki anak tangga.
***
Bersama Toni, Agung, dan Bunro, aku memilih MTs Darut Tauhid dijadikan tempat PPL. Sebagai calon guru agama, tentu banyak ragam mata pelajaran yang bisa kami pilih: Bahasa Arab, SKI, Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Alquran Hadits. Di sekolah itulah aku, Toni, Agung, dan Bunro mengenali Guru Budiman. Sosok kepala sekolah yang selalu tampil rapi, murah senyum, dan agamis. Guru Budiman yang budiman, begitulah kira-kira.
Kain batik—satu-satunya—selalu dikenakan setiapkali mengajar pada hari senin dan kamis. Guru Budiman meminta—tepatnya memohon—kami untuk selamanya mengajar di situ. Madrasahnya kekurangan tenaga pengajar. Sebagian guru menyatakan berhenti, sebagian yang lain menyatakan ingin pindah mengajar. Tinggallah tersisa hanya empat orang guru dengannya. Ia sendiri merangkap dua jabatan: kepala sekolah dan tata usaha.
Aku mengiyakan. Sedangkan Toni, Agung, dan Bunro tidak bersedia dengan lantaran sibuk kuliah. Aku tahu mereka gengsi mengajar siswa yang hanya segelintir jagung, bangunan berdinding serap dan panuan, serta pertimbangan beberapa guru yang banyak mengundurkan diri.
“Pasti karena gajinya sedikit,” kata Burno ketika tengah pulang dari mengajar.
“Atau paling karena gajinya sering ditunggak,” cetus Agung. Ibaku malah meruap.
***
Sumpah serapah istinya kerap terdengar dari dalam rumah, menghujam Guru Budiman yang tengah duduk lesu. Tatapannya yang teduh mengurungkan niatku membalikkan badan dan bergegas pergi dari rumah itu. Sepertinya kedatanganku kurang tepat.
“Maaf, mengganggu,” selorohku.
“Ndak apa-apa. Apa yang kau dengar tadi adalah kembang keluarga. Kurang sedap bila ndak ada seperti itunya,” senyumnya mengambang jadi tawa. Aku turut mengamini.
“Ini hasil nilai rekap ulangan semester kelas dua untuk pelajaran Aqidah Ahlak. Untuk Alquran Hadits, Insya Allah besok sudah selesai,” kataku menyerahkan berkas hasil ulangan.
Malam itu kami ngobrol banyak hal. Barulah aku benar-benar mengetahui perjuangan Guru Budiman mempertahankan satu-satunya sekolah Islam di Kampung Pangsenok itu. Tiga tahun lalu, ketika ia masih menjadi guru, siswanya mencapai ratusan lebih. Dana yang dikelola yayasan terbilang cukup berkat donatur masyarakat. Jumlah itu kemudian turun drastis ketika pemerintah membuka SMPN Pangsenok. Anak-anak kampung tersedot ke sana. MTs Darut Tauhid kalah pamor.
“Kalau belajar di sini, cuma akan jadi takmir masjid,” serak suaranya meniru sindiran beberapa warga.
Keberadaan SMPN Pangsenok membuat MTs Darut Tauhid terkesan dianaktirikan. Donatur dari masyarakat turut menipis. BOS ala kadarnya bak sunatan dari SMPN itu. Karenanya, keuangan yayasan labil dan honor guru tak lebih dari cukup. Parahnya, gaji bulanan mereka kerapkali ditunggak.
“Istriku sering marah-marah karena persoalan ini. Gaji sebagai kepala sekolah ndak cukup membiaya anakku yang masih SD. Biaya kuliah kakaknya sudah dua tahun aku lepas. Alhamdulillah, meski begitu ia baru saja menyelesaikan kuliahnya,” katanya. Sempat ada segaris senyum di bibirnya.
“Kenapa bapak tetap bertahan?” Senyumnya semakin melebar.
“Harapan para tokoh masyarakat sangat tinggi. Mereka rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk mempertahankan madrasah ini agar tetap ada; satu-satunya pelajaran agama yang bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum.” Aku diam. Sungging senyum Guru Budiman semakin mengembang. Tak ada setitik kesedihan di wajahnya.
“Anak bapak tidak ditarik mengajar di sini?”
“Sudah kubujuk. Katanya masih betah tinggal di Jakarta,” kulihat sorot mata Guru Budiman nampak memerah.
Larut bergelayut. Kami begadang hingga tengah malam. Meneruput segelas kopi sampai tandas tinggal ampas. Jika tak ada suara burung hantu atau kelepak kelelawar yang melintas di halaman, memakan buah jambu biji, sampai subuh aku akan terus tertipu oleh jarum jam dinding yang tak beranjak dari angka sembilan dan sepuluh itu. Tak akan habis cerita ini kalau tidak segera diakhiri.
“Menginap saja,” tawar Guru Budiman.
“Tidak. Terima kasih.” Andai saja keluarganya akur malam itu, baiknya aku memilih tawarannya.
Bulan sabit menggantung di pelepah nyiur. Biasnya tak cukup menerangi jalan setapak. Hujan kemarin sore menyisakan basah. Tak mau ambil resiko, aku meminjam senter sebagai penerang jalan. Terlalu nyeri bila disengat kalajengking, terlalu sakit bila digigit ular.
Ops, aku lupa belum memberikan sesuatu kepadanya. Mumpung masih belum jauh, segera kubalikkan badan. Oh, Alangkah nian ia sudah tidur meringkuk di atas lincak. Hanya berselimut sarung tipis dan berbantal kopyah putih yang tak pernah ia tanggalkan dari kepalanya.
Ada sesak di dadaku.
***
Memasuki awal tahun pelajaran baru, MTs Darut Tauhid mendapat tujuh siswa. Dua orang lebih banyak dari tahun lalu. Kuliahku sudah selesai. Sayang, aku harus meninggalkan mereka sejenak untuk melanjutkan S2 di bidang administrasi pendidikan. Melalui Pak Parno, tetangganya, Guru Budiman menitip pesan kalau mata pelajaran yang kupegang sudah ada yang menggantikan. Alhamdulillah, luar biasa aku ucapkan. Masih ada orang yang benar-benar ingin mengabdi di tengah himpitan ekonomi. Pak Parno tidak tahu siapa penggantiku. Hanya, nanti malam aku disuruh datang ke rumah Guru Budiman.
Triplek yang dibuat menjadi dinding rumahnya sebagian telah mengelupas. Hanya di bagian depan saja berdinding susunan batu bata. Setiap waktu, ada saja yang datang bertamu, membawa bingkisan segala macam. Mungkin itu buah dari sikap seorang budiman. Wajahnya semringah. Ia tengah asyik berbicara dengan seorang pemuda sebayaku. Setelah saling panggil-jawab salam di beranda depan, aku lantas diajak masuk. Diperkenalkan orang itu sebagai penggantiku. Oh, aku lupa kalau Guru Budiman pernah mengatakan telah berhasil membujuk anaknya pulang kampung.
“Rohis, anakku. Ia yang akan menggantikanmu dan meneruskanku sebagai kepala sekolah,” kami berjabat tangan. “Rematik ini telah memperingatiku untuk segera banyak istirahat,” Guru Budiman menepuk-nepuk pinggangnya sendiri.
Aku, Rohis, dan Guru Budiman saling bertukar pikiran sampai larut malam. Kami berbicara banyak hal tentang wacana keislaman. Jiwa akademisku menggeliat. Gagasan dan argumentasi Rohis cerdas, terstruktur, kuat, dan rasional. Namun, sedikit-sedikit aku cukup terganggu dengan buah gagasannya.
“Ini ada sedikit bekal untukmu,” selembar amplop cukup tebal disodorkan ke mukaku.
“Apa ini?”
“Gajimu.”
“Kan masih belum genap sebulan.”
“Ya, itu ada tambahan dari saya. Ambillah!” Aku sungkan menerima sodoran amplopnya. Tapi ia memaksa dan memasukkan sendiri ke dalam sakuku.
“Terima kasih,” aku langsung undur diri.
“Ingat janjimu!” Guru Budiman berteriak ketika gelap telah menyembunyikan pandangannya dariku.
Betapa kepergianku tak terasa terbebani. Aku yakin Rohis bisa menggantikanku dan meneruskan kepemimpinan bapaknya. Berbekal pengalamannya di Jakarta, pasti madrasah reyot itu akan disulap menjadi madrasah yang bermutu dan berkualitas. Dan aku, nanti, hanya tinggal memberikan kontribusi ala kadarnya.
***
Mega sepenuhnya belum hilang saat tukang ojek menumpahkanku di simpang tiga Pancasila. Jarak tempuh setengah jam ke madrasah terasa panjang. Sepanjang rentang dua tahun lebih tak pernah bersua Guru Budiman. Kabar terakhir yang kudapat, kepemimpinannya sudah diserahkan kepada Rohis. Beliau pasti semakin budiman, pikirku. Lamat-lamat suara adzan Maghrib menggema dari seberang jembatan. Seorang lelaki tua berselempang sarung tengah mengantarkan anaknya mengaji.
Oh, tidak! Seharusnya madrasah itu berdiri tegak di situ. Kenapa sekarang…?
“Maaf, pak. Bukankah di sana adalah bagungan itu Madrasah Darut Tauhid?” tanyaku memburu, menunjukkan sisa arang kehitaman.
“Sekolah itu cuma membuat warga kampung resah! Terpaksa kami membakarnya?” Bapak tua itu menjawab sinis.
“Dibakar? Kenapa harus dibakar?”
“Masak solat katanya ndak wajib,” jawabnya ketus. Terang di mataku hampir menghilang. Inginku, segera menemui Guru Budiman.
“Mereka sudah diusir dari kampung ini!” Teriak lelaki itu.
Annuqayah, 14 Januari 2012
Dua jarum jam dinding tak bergerak. Yang satu berhenti di angka sembilan sedangkan satunya lagi, sedikit lebih panjang berhenti di angka sebelas. Detiknya berdetak tapi tak beranjak. Sesosok tubuh senja meringkih di atas lincak, tepat di bawah detak jam itu. Desir angin melengkungkan tubuhnya. Nyamuk-nyamuk menjadi galak di musim hujan. Menusuk-sunuk bak jarum suntik. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Segerombolan nyamuk meraung-raung serupa omelan istrinya yang terus berdenyut di kepala.
Jatah kasur empuk dan pelukan sang istri dipastikan raib sebelum maaf terucapkan. Maaf? Ah, ia menggelengkan kepala. Lebih baik tidur di atas lincak ketimbang minta maaf, pikirnya. Beberapa bulan terakhir, istrinya kerap naik pitam bila sedikit saja ada kesalahan sebagai kepala rumah tangga. Aku manusia biasa, bukan malaikat yang tak pernah berbuat salah, umpat hatinya.
Angin berdesir. Sebuah krocok jatuh. Keras membentur genting dapur. Dengan sigap ia bangun. Menuruni tiga buah anak tangga di depan rumah seraya bergegas menuju kandang sapi. Keamanan Kampung Pangsenok tak terjamin. Kalau tidak mawas diri, manusia-manusia belang akan leluasa menyatroni rumah mereka.
Dipastikan sepasang sapinya tak beranjak, lelaki tua berperawakan kurus itu bergegas ke beranda. Sesekali bias cahaya dari dalam rumah jatuh di kakinya. Sudah larut benar, pikirnya. Langkahnya sejenak terhenti di depan jendela kamar. Lampu sudah padam. Kisi-kisi jendela kayu berundak ditatapnya lekat. Ia menguatkan napas, tak habis pikir. Setiap kali ada persoalan keluarga, entah urusan dapur, pertanian, perniagaan, keuangan, ujung-ujungnya pasti lari pada satu persoalan: Sekolah. Mengapa harus sekolah? Ini yang membuatnya tak terima.
Keras suara kakinya menaiki anak tangga.
***
Bersama Toni, Agung, dan Bunro, aku memilih MTs Darut Tauhid dijadikan tempat PPL. Sebagai calon guru agama, tentu banyak ragam mata pelajaran yang bisa kami pilih: Bahasa Arab, SKI, Aqidah Ahlak, Fiqih, dan Alquran Hadits. Di sekolah itulah aku, Toni, Agung, dan Bunro mengenali Guru Budiman. Sosok kepala sekolah yang selalu tampil rapi, murah senyum, dan agamis. Guru Budiman yang budiman, begitulah kira-kira.
Kain batik—satu-satunya—selalu dikenakan setiapkali mengajar pada hari senin dan kamis. Guru Budiman meminta—tepatnya memohon—kami untuk selamanya mengajar di situ. Madrasahnya kekurangan tenaga pengajar. Sebagian guru menyatakan berhenti, sebagian yang lain menyatakan ingin pindah mengajar. Tinggallah tersisa hanya empat orang guru dengannya. Ia sendiri merangkap dua jabatan: kepala sekolah dan tata usaha.
Aku mengiyakan. Sedangkan Toni, Agung, dan Bunro tidak bersedia dengan lantaran sibuk kuliah. Aku tahu mereka gengsi mengajar siswa yang hanya segelintir jagung, bangunan berdinding serap dan panuan, serta pertimbangan beberapa guru yang banyak mengundurkan diri.
“Pasti karena gajinya sedikit,” kata Burno ketika tengah pulang dari mengajar.
“Atau paling karena gajinya sering ditunggak,” cetus Agung. Ibaku malah meruap.
***
Sumpah serapah istinya kerap terdengar dari dalam rumah, menghujam Guru Budiman yang tengah duduk lesu. Tatapannya yang teduh mengurungkan niatku membalikkan badan dan bergegas pergi dari rumah itu. Sepertinya kedatanganku kurang tepat.
“Maaf, mengganggu,” selorohku.
“Ndak apa-apa. Apa yang kau dengar tadi adalah kembang keluarga. Kurang sedap bila ndak ada seperti itunya,” senyumnya mengambang jadi tawa. Aku turut mengamini.
“Ini hasil nilai rekap ulangan semester kelas dua untuk pelajaran Aqidah Ahlak. Untuk Alquran Hadits, Insya Allah besok sudah selesai,” kataku menyerahkan berkas hasil ulangan.
Malam itu kami ngobrol banyak hal. Barulah aku benar-benar mengetahui perjuangan Guru Budiman mempertahankan satu-satunya sekolah Islam di Kampung Pangsenok itu. Tiga tahun lalu, ketika ia masih menjadi guru, siswanya mencapai ratusan lebih. Dana yang dikelola yayasan terbilang cukup berkat donatur masyarakat. Jumlah itu kemudian turun drastis ketika pemerintah membuka SMPN Pangsenok. Anak-anak kampung tersedot ke sana. MTs Darut Tauhid kalah pamor.
“Kalau belajar di sini, cuma akan jadi takmir masjid,” serak suaranya meniru sindiran beberapa warga.
Keberadaan SMPN Pangsenok membuat MTs Darut Tauhid terkesan dianaktirikan. Donatur dari masyarakat turut menipis. BOS ala kadarnya bak sunatan dari SMPN itu. Karenanya, keuangan yayasan labil dan honor guru tak lebih dari cukup. Parahnya, gaji bulanan mereka kerapkali ditunggak.
“Istriku sering marah-marah karena persoalan ini. Gaji sebagai kepala sekolah ndak cukup membiaya anakku yang masih SD. Biaya kuliah kakaknya sudah dua tahun aku lepas. Alhamdulillah, meski begitu ia baru saja menyelesaikan kuliahnya,” katanya. Sempat ada segaris senyum di bibirnya.
“Kenapa bapak tetap bertahan?” Senyumnya semakin melebar.
“Harapan para tokoh masyarakat sangat tinggi. Mereka rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk mempertahankan madrasah ini agar tetap ada; satu-satunya pelajaran agama yang bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum.” Aku diam. Sungging senyum Guru Budiman semakin mengembang. Tak ada setitik kesedihan di wajahnya.
“Anak bapak tidak ditarik mengajar di sini?”
“Sudah kubujuk. Katanya masih betah tinggal di Jakarta,” kulihat sorot mata Guru Budiman nampak memerah.
Larut bergelayut. Kami begadang hingga tengah malam. Meneruput segelas kopi sampai tandas tinggal ampas. Jika tak ada suara burung hantu atau kelepak kelelawar yang melintas di halaman, memakan buah jambu biji, sampai subuh aku akan terus tertipu oleh jarum jam dinding yang tak beranjak dari angka sembilan dan sepuluh itu. Tak akan habis cerita ini kalau tidak segera diakhiri.
“Menginap saja,” tawar Guru Budiman.
“Tidak. Terima kasih.” Andai saja keluarganya akur malam itu, baiknya aku memilih tawarannya.
Bulan sabit menggantung di pelepah nyiur. Biasnya tak cukup menerangi jalan setapak. Hujan kemarin sore menyisakan basah. Tak mau ambil resiko, aku meminjam senter sebagai penerang jalan. Terlalu nyeri bila disengat kalajengking, terlalu sakit bila digigit ular.
Ops, aku lupa belum memberikan sesuatu kepadanya. Mumpung masih belum jauh, segera kubalikkan badan. Oh, Alangkah nian ia sudah tidur meringkuk di atas lincak. Hanya berselimut sarung tipis dan berbantal kopyah putih yang tak pernah ia tanggalkan dari kepalanya.
Ada sesak di dadaku.
***
Memasuki awal tahun pelajaran baru, MTs Darut Tauhid mendapat tujuh siswa. Dua orang lebih banyak dari tahun lalu. Kuliahku sudah selesai. Sayang, aku harus meninggalkan mereka sejenak untuk melanjutkan S2 di bidang administrasi pendidikan. Melalui Pak Parno, tetangganya, Guru Budiman menitip pesan kalau mata pelajaran yang kupegang sudah ada yang menggantikan. Alhamdulillah, luar biasa aku ucapkan. Masih ada orang yang benar-benar ingin mengabdi di tengah himpitan ekonomi. Pak Parno tidak tahu siapa penggantiku. Hanya, nanti malam aku disuruh datang ke rumah Guru Budiman.
Triplek yang dibuat menjadi dinding rumahnya sebagian telah mengelupas. Hanya di bagian depan saja berdinding susunan batu bata. Setiap waktu, ada saja yang datang bertamu, membawa bingkisan segala macam. Mungkin itu buah dari sikap seorang budiman. Wajahnya semringah. Ia tengah asyik berbicara dengan seorang pemuda sebayaku. Setelah saling panggil-jawab salam di beranda depan, aku lantas diajak masuk. Diperkenalkan orang itu sebagai penggantiku. Oh, aku lupa kalau Guru Budiman pernah mengatakan telah berhasil membujuk anaknya pulang kampung.
“Rohis, anakku. Ia yang akan menggantikanmu dan meneruskanku sebagai kepala sekolah,” kami berjabat tangan. “Rematik ini telah memperingatiku untuk segera banyak istirahat,” Guru Budiman menepuk-nepuk pinggangnya sendiri.
Aku, Rohis, dan Guru Budiman saling bertukar pikiran sampai larut malam. Kami berbicara banyak hal tentang wacana keislaman. Jiwa akademisku menggeliat. Gagasan dan argumentasi Rohis cerdas, terstruktur, kuat, dan rasional. Namun, sedikit-sedikit aku cukup terganggu dengan buah gagasannya.
“Ini ada sedikit bekal untukmu,” selembar amplop cukup tebal disodorkan ke mukaku.
“Apa ini?”
“Gajimu.”
“Kan masih belum genap sebulan.”
“Ya, itu ada tambahan dari saya. Ambillah!” Aku sungkan menerima sodoran amplopnya. Tapi ia memaksa dan memasukkan sendiri ke dalam sakuku.
“Terima kasih,” aku langsung undur diri.
“Ingat janjimu!” Guru Budiman berteriak ketika gelap telah menyembunyikan pandangannya dariku.
Betapa kepergianku tak terasa terbebani. Aku yakin Rohis bisa menggantikanku dan meneruskan kepemimpinan bapaknya. Berbekal pengalamannya di Jakarta, pasti madrasah reyot itu akan disulap menjadi madrasah yang bermutu dan berkualitas. Dan aku, nanti, hanya tinggal memberikan kontribusi ala kadarnya.
***
Mega sepenuhnya belum hilang saat tukang ojek menumpahkanku di simpang tiga Pancasila. Jarak tempuh setengah jam ke madrasah terasa panjang. Sepanjang rentang dua tahun lebih tak pernah bersua Guru Budiman. Kabar terakhir yang kudapat, kepemimpinannya sudah diserahkan kepada Rohis. Beliau pasti semakin budiman, pikirku. Lamat-lamat suara adzan Maghrib menggema dari seberang jembatan. Seorang lelaki tua berselempang sarung tengah mengantarkan anaknya mengaji.
Oh, tidak! Seharusnya madrasah itu berdiri tegak di situ. Kenapa sekarang…?
“Maaf, pak. Bukankah di sana adalah bagungan itu Madrasah Darut Tauhid?” tanyaku memburu, menunjukkan sisa arang kehitaman.
“Sekolah itu cuma membuat warga kampung resah! Terpaksa kami membakarnya?” Bapak tua itu menjawab sinis.
“Dibakar? Kenapa harus dibakar?”
“Masak solat katanya ndak wajib,” jawabnya ketus. Terang di mataku hampir menghilang. Inginku, segera menemui Guru Budiman.
“Mereka sudah diusir dari kampung ini!” Teriak lelaki itu.
Annuqayah, 14 Januari 2012