Mengunjungi kuburan adalah mengenang luka; segala kenangan akan menumpuk di batok kepala, berbuah menjadi sesal. Begitulah, setiap kali ibu angkat bicara perihal kebiasaannya berziarah kubur, setiap kamis petang. Mengapa ia mengatakan mengenang luka dan sesal?
Tiba tempat itu, angin seperti menghadirkan ketenangan ke dalam tubuh yang kelihatan rapuh itu. Begitu damai dan nyaman. Sejenak matanya terpejam, lalu diikuti ceracau tanpa suara, menyapa nisan-nisan bertuliskan nama-nama orang yang sudah tak bernyawa itu. Sampai di manakah suatu perjalanan akan berakhir?
Aku di belakangnya, tak seperti ia yang begitu tenang. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat, seperti yang digambarkan oleh guru ngajiku. Pada gundukan tanah yang berjejal rapi seperti sebuah tabung yang dipendam, batu nisan yang mirip sepasang alas sandal jepit itu, menjadi pagar, pembatas antara ruang gerak alamiah dengan kenangan. Semilir angin yang membawa aroma bunga pohon cempaka tak bisa menghilangkan anganku dari bayang-bayang itu.
Perempuan di depanku berdiri tenang. Ia nampak sedang berbicara dengan batu-batu nisan itu, membisikkan sesuatu yang dirahasiakan. Entahlah, apakah itu merupakan jalan sunyi sebagai penyebrangan diri untuk menembus sekat kegamangan atau hanyalah ilusi perjalanan hidup yang sempat terhenti karena napas.
“Mengapa mereka harus dikubur,” kataku mengumbar sunyi.
“Manusia diciptakan dari tanah. Sudah seharusnya mereka kembali ke asalnya,” katanya tenang. Sunyi lagi.
Adalah terjadi berulangkali setiap kamis petang ia mengajakku ke tempat ini. Mengapa orang yang sudah mati harus selalu dikunjungi? Bukankah mereka sudah kembali ke asalnya? Hanya menunggu cacing-cacing tanah meleburkan tubuh mereka.
“Mereka masih menunggu peruntungan nasib dan kemurahan Tuhan apakah ditempatkan di surga atau di neraka?” katanya menambahkan.
Aku tak menemukan jawaban mengapa ia selalu mengunjungi tempat itu setiap kamis petang. Padahal, itu adalah waktu yang paling menyeramkan dan paling ditakuti oleh teman-temanku, karena mereka penghuni gundukan-gundukan itu akan bangkit. Jika malam tiba, bayangan kami juga bisa menjelma hantu karena ketakutan kami sendiri.
Aku ingat betul pembicaraan dari kuping ke kuping teman-temanku kalau pada malam Jumat, jika ada orang yang mati dibunuh, mati secara mengenaskan, atau mati dengan hal yang tidak wajar, maka dia akan datang menuntut balas. Jumat kliwon adalah perhitungan yang tepat bagi roh-roh itu. Hi… bulu kudukku merinding.
Di tempat itu, nyaris semua kuburan tanpa rias. Kuburan yang sudah berpuluhan tahun hampir tak kelihatan karena tertutup oleh rumput liar. Rata dengan tanah. Ada pula yang sampai ambruk. Melihat kuburan yang ambruk itulah yang kemudian aku memegang tangan ibu seerat mungkin.
“Ibu, takut!” Ucapku hampir menangis.
Ibu hanya memelukku erat tanpa berbicara sepatah-dua-tigapatah kata pun. Dia terus menuntunku hingga sampai pada pekuburan yang katanya adalah kuburan-kuburan keluarga kami.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu…”
Lalu.
“Ini buyutmu, dan ini…”
“…adalah kuburan bapak,” kataku memotong bicara ibu.
Setiap kali berziarah, ibu selalu berucap demikian. Setelah itu, ia pasti akan mengurai cerita-cerita haru perihal kebaikan mereka semasa hidupnya, seperti cerita para malaikat yang nyaris tanpa cela. Apalagi ketika sampai pada kuburan yang terakhir, terkadang ibu bercerita sambil berurai air mata.
Aku lahir terlambat ke dunia ini. Tak pernah mengenali rupa orang-orang yang selalu disanjung-sanjung ibu sebagai orang yang baik sejagat raya. Karena itulah aku tak pernah mengerti arti dari airmata yang menetes di pipinya.
***
Tak memiliki bapak adalah kenyataan yang tidak buruk-buruk amat. Buktinya, sampai saat ini ibuku tetap berdiri tanpa otot laki-laki. Di rumahku, hanya ada tiga kisah: aku, nenek, dan ibu. Mereka berdua adalah laki-laki, hanya jenis kelaminnya saja menyerupai kebanyakan perempuan. Aku pernah mengajukan pertanyaan bernada permintaan untuk melepas status jandanya agar aku memiliki bapak yang bisa dibanggakan kepada teman-temanku, seperti Ningsih yang bangga memiliki bapak berotot kekar atau Sumarni yang mengatakan bahwa kumis bapaknya seperti Sakera, kesatria orang Madura.
Karena ibu hanya memiliki dua hati, begitulah alasannya. Singkat!
Kamis petang ini, cerita indah yang dirangkai tanpa cela setiap kali mengunjungi tempat mayat-mayat itu akan bertambah. Sebab, di samping kuburan bapak telah menggembur gundukan tanah yang baru.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu….”
Lalu.
“Ini buyutmu…”
Kemudian.
“…ini adalah kuburan bapakmu.
Pada gundukan tanah yang masih baru, di samping kuburan bapak, ibu menatap panjang. Kali ini air matanya tak bisa dipulangkan. Sama sepertiku. Baru kali ini aku merasakan kesedihan saat-saat mengunjungi tempat ini. Ah, kenapa baru sekarang?
“dan ini….”
“…adalah kuburan nenek,” aku segera memotong.
Ibu memelukku erat. Ada sesuatu yang belum tersampaikan. Ya! Dalam isak, ibu bertutur tentang nenekku. Aneh sekali, untuk kuburan yang terakhir ini aku tidak datang terlambat. Bahkan aku pernah ngompol di pangkuan orang yang selalu mendendangkan dongeng-dongeng indah kerajaan babat Jawa sebelum mimpi memisahkan kami. Tetapi, cerita ibu membuatku seakan baru kemarin sore mengenali nenek. Nenek! Seandainya kau dulu mengisahkan hidupmu saja dalam setiap pengantar tidurku, niscaya air mata ini tak banyak mengeluarkan sesal.
Kami memejamkan mata, menjaga kekhusukan doa agar melesat tanpa penghalang. Kamis petang ini akan menjelma menjadi malam Jumat manis. Kata orang kampung, Jumat manis adalah jumat yang paling bagus dantara Jumat-Jumat yang lain. Entahlah, apa alasan mereka. Bagiku mereka hanya menafsirkan nama manis itu sebagai yang baik-baik.
***
Di tempat ini, Adakalanya akau berpikir bahwa seratus tahun lagi, dunia akan kosong tak berpenghuni, mengingat tempat ini semakin sempit dijejali mayat-mayat yang baru. Kehilangan adalah topik utama dalam kematian.
Tak jauh dari kuburan nenek, sepetak tanah kembali menggembur, membentuk gundukan cerita baru. Nahas. Tragis. Begitulah cerita akhir dari pemilik batu nisan—dari batu granit—bernama Rapiah bin Hasan, istri kepala kampung yang mati di ujung golok perampok, di rumahnya sendiri. Tragedi itu sekaligus menewaskan anak yang masih dikandungnya. Rapiah adalah wanita terkaya di kampung kami dengan gelimangan emas di kedua pergelangan tangan, kaki, dan lehernya.
Kuburannya diistimewakan, dipagari bambu-bambu runcing, didirikan tenda, dan dijaga ketat siang dan malam.
“Kenapa nenek tak dijaga seperti itu,” tanyaku.
“Apanya yang harus dijaga?”
“Tapi kenapa kuburan itu dijaga? Apakah hartanya dibawa?”
“Tidak! Kuburan itu dijaga hanya karena akan memberikan keberuntungan!”
“Keberuntungan?”
“Ya! Bayi itu bisa menghadirkan harta sebanyak yang kita mau,” sorot mata ibu terus menatap kuburan itu. Bulu kudukku bergeming. Membayangkan orang-orang kampung memperebutkan kuburan itu.
Benar! Desas desus perihal bayi itu menggema di seantero kampung kami, mengalahkan kabar perut yang sering kekurangan makanan. Banyak yang menginginkan bayi itu. Apakah dia tetap hidup meski sudah dikubur? Atau hanya ibunya saja yang mati, sedangkan bayi itu tetap hidup dari memakan daging serta meminum darah ibunya. Hi… aku teringat gerandong yang sering dikisahkan oleh nenekku saat aku tak segera tidur bila malam menua.
Ternyata tak memiliki apa-apa lebih nyaman ketimbang bergelimang harta. Kami sering kekurangan, tak setiap hari dapur bisa mengepul, sehingga tak pernah rumahku dirampok atau bahkan disatroni maling. Siapa yang mau mengambil tikus dan coro dari rumahku. Jika ada, silahkan!
Kehilangan nenek tetap kami rasakan. Aku bukan hanya kehilangan cerita-cerita nenek, aku juga kehilangan aura ibu. Ya! kini ibuku sering melamun sendiri, menatap langit-langit rumah ketika pada malam-malam, atau hanya mondar-mandir di ruang depan mendendangkan tembang sunyi.
“Ibu, aku ingin kencing.”
“Ya, nak.”
Kami berdua beriringan melangkah ke luar rumah. Jarak sumur dengan rumahku sedikit jauh, harus menyalakan obor sebagai penerangnya. Tetapi tidak untuk malam ini, bulan dengan cahaya temaramnya serta langit yang bersih membuat malam itu indah sekali. Menatap bulan, aku jadi ingat kisah nenek tentang Nyi Randhe Kasean, orang satu-satunya penghuni bulan. Dia akan turun jika bulan mencapai puncak kesempurnaan.
Suara-suara jangkrik bersahutan. Bunyinya serak. Burung-burung malam juga memeriahkan, tapi aku tak takut sama sekali. Keberadaan ibu dan cahaya bulan sudah cukup menghilangkan rasa takutku. Malam itu, wajah bulan berbeda dengan wajah malam-malam sebelumnya.
Ketika remang cahaya itu jatuh di kelopak mata, aku menemukan kegelisahan di sana. Sepertinya ketika pas nenek pergi, tidak demikian wajah ibu menjadi sayu.
“Ibu,” sapaku.
Kami kembali ke rumah.
“Ibu rindu nenek?”
“Bukan hanya nenek, tapi semuanya. Sejak nenekmu meninggal, keluarga nenekmu sudah jarang datang ke sini.”
“Kenapa ibu tidak main saja ke rumah mereka, ibu tidak tahu rumahnya?”
“Keadaan yang membuat ibu tak bisa berbuat demikian,” aku mengerti apa yang dirasakan ibu. Biarlah, aku tak melanjutkan percakapan ini. Kami kembali ke rumah dengan tenang.
***
Pagi sekali, dapur sudah berisik oleh tingkah ibu. Tak biasanya, padahal pagi belum remang. Ayam juga lelap, belum padu berkokok. Api tungku memantul dari kelopak matanya. Silau. Sementara, keringat mengalir di sela-sela kerut muka dan leher ibu. Beberapa kali ia tersenyum sendiri. Sekali-duakali tertawa. Ops! Ada apa dengan ibu? Ia biasanya polos, tersenyum seadanya.
“Ibu,” kataku pelan.
“Cepat! Ambilkan piring! Sudah hampir matang,” Beberapa kali dia tertawa, menelan liurnya. Aroma masakan ibu memonyongkan hidungku. Menggoda. Segera aku laksanakan apa yang harus aku lakukan.
Mulanya, aku kira makanan yang tersaji setengah gosong di piring itu, yang warnanya bercak kehitaman, adalah beberapa irisan tempe. Ternyata aku salah! Rupanya itu adalah daging! Hmm, liurku berontak, segera kuteguk sedalam mungkin.
“Kau tahu, inilah makanan yang membuat manusia bisa menjadi orang kaya. Jadi, kita sekarang sudah kaya,” tawanya kembali pecah. Aku tak mempedulikannya. Mulutku terlalu sibuk mengunyah daging itu.
***
Seperti biasa, seperti pula kamis petang ini, ibu mengajakku mengunjungi tempat itu, mengisahkan tentang cerita indah tanpa cela yang selalu dirangkainya. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu….”
Lalu.
“Ini buyutmu…”
Kemudian.
“…ini adalah kuburan bapakmu.”
Sementara itu.
“Adalah kuburan nenek,” potongku cepat.
Pada gundukan tanah di samping kuburan nenek, ibu menatap panjang. Kuburan itu telah ambruk. Mengapa kuburan itu bisa ambruk? Dan, dengan tenang ibu mengisahkan hilangnya penghuni kuburan itu serta orang-orang yang bisa kaya karenanya.
Melihat kuburan itu, aku memegang tangan ibu seerat mungkin.
PPA, 3.04 PM
Tiba tempat itu, angin seperti menghadirkan ketenangan ke dalam tubuh yang kelihatan rapuh itu. Begitu damai dan nyaman. Sejenak matanya terpejam, lalu diikuti ceracau tanpa suara, menyapa nisan-nisan bertuliskan nama-nama orang yang sudah tak bernyawa itu. Sampai di manakah suatu perjalanan akan berakhir?
Aku di belakangnya, tak seperti ia yang begitu tenang. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat, seperti yang digambarkan oleh guru ngajiku. Pada gundukan tanah yang berjejal rapi seperti sebuah tabung yang dipendam, batu nisan yang mirip sepasang alas sandal jepit itu, menjadi pagar, pembatas antara ruang gerak alamiah dengan kenangan. Semilir angin yang membawa aroma bunga pohon cempaka tak bisa menghilangkan anganku dari bayang-bayang itu.
Perempuan di depanku berdiri tenang. Ia nampak sedang berbicara dengan batu-batu nisan itu, membisikkan sesuatu yang dirahasiakan. Entahlah, apakah itu merupakan jalan sunyi sebagai penyebrangan diri untuk menembus sekat kegamangan atau hanyalah ilusi perjalanan hidup yang sempat terhenti karena napas.
“Mengapa mereka harus dikubur,” kataku mengumbar sunyi.
“Manusia diciptakan dari tanah. Sudah seharusnya mereka kembali ke asalnya,” katanya tenang. Sunyi lagi.
Adalah terjadi berulangkali setiap kamis petang ia mengajakku ke tempat ini. Mengapa orang yang sudah mati harus selalu dikunjungi? Bukankah mereka sudah kembali ke asalnya? Hanya menunggu cacing-cacing tanah meleburkan tubuh mereka.
“Mereka masih menunggu peruntungan nasib dan kemurahan Tuhan apakah ditempatkan di surga atau di neraka?” katanya menambahkan.
Aku tak menemukan jawaban mengapa ia selalu mengunjungi tempat itu setiap kamis petang. Padahal, itu adalah waktu yang paling menyeramkan dan paling ditakuti oleh teman-temanku, karena mereka penghuni gundukan-gundukan itu akan bangkit. Jika malam tiba, bayangan kami juga bisa menjelma hantu karena ketakutan kami sendiri.
Aku ingat betul pembicaraan dari kuping ke kuping teman-temanku kalau pada malam Jumat, jika ada orang yang mati dibunuh, mati secara mengenaskan, atau mati dengan hal yang tidak wajar, maka dia akan datang menuntut balas. Jumat kliwon adalah perhitungan yang tepat bagi roh-roh itu. Hi… bulu kudukku merinding.
Di tempat itu, nyaris semua kuburan tanpa rias. Kuburan yang sudah berpuluhan tahun hampir tak kelihatan karena tertutup oleh rumput liar. Rata dengan tanah. Ada pula yang sampai ambruk. Melihat kuburan yang ambruk itulah yang kemudian aku memegang tangan ibu seerat mungkin.
“Ibu, takut!” Ucapku hampir menangis.
Ibu hanya memelukku erat tanpa berbicara sepatah-dua-tigapatah kata pun. Dia terus menuntunku hingga sampai pada pekuburan yang katanya adalah kuburan-kuburan keluarga kami.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu…”
Lalu.
“Ini buyutmu, dan ini…”
“…adalah kuburan bapak,” kataku memotong bicara ibu.
Setiap kali berziarah, ibu selalu berucap demikian. Setelah itu, ia pasti akan mengurai cerita-cerita haru perihal kebaikan mereka semasa hidupnya, seperti cerita para malaikat yang nyaris tanpa cela. Apalagi ketika sampai pada kuburan yang terakhir, terkadang ibu bercerita sambil berurai air mata.
Aku lahir terlambat ke dunia ini. Tak pernah mengenali rupa orang-orang yang selalu disanjung-sanjung ibu sebagai orang yang baik sejagat raya. Karena itulah aku tak pernah mengerti arti dari airmata yang menetes di pipinya.
***
Tak memiliki bapak adalah kenyataan yang tidak buruk-buruk amat. Buktinya, sampai saat ini ibuku tetap berdiri tanpa otot laki-laki. Di rumahku, hanya ada tiga kisah: aku, nenek, dan ibu. Mereka berdua adalah laki-laki, hanya jenis kelaminnya saja menyerupai kebanyakan perempuan. Aku pernah mengajukan pertanyaan bernada permintaan untuk melepas status jandanya agar aku memiliki bapak yang bisa dibanggakan kepada teman-temanku, seperti Ningsih yang bangga memiliki bapak berotot kekar atau Sumarni yang mengatakan bahwa kumis bapaknya seperti Sakera, kesatria orang Madura.
Karena ibu hanya memiliki dua hati, begitulah alasannya. Singkat!
Kamis petang ini, cerita indah yang dirangkai tanpa cela setiap kali mengunjungi tempat mayat-mayat itu akan bertambah. Sebab, di samping kuburan bapak telah menggembur gundukan tanah yang baru.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu….”
Lalu.
“Ini buyutmu…”
Kemudian.
“…ini adalah kuburan bapakmu.
Pada gundukan tanah yang masih baru, di samping kuburan bapak, ibu menatap panjang. Kali ini air matanya tak bisa dipulangkan. Sama sepertiku. Baru kali ini aku merasakan kesedihan saat-saat mengunjungi tempat ini. Ah, kenapa baru sekarang?
“dan ini….”
“…adalah kuburan nenek,” aku segera memotong.
Ibu memelukku erat. Ada sesuatu yang belum tersampaikan. Ya! Dalam isak, ibu bertutur tentang nenekku. Aneh sekali, untuk kuburan yang terakhir ini aku tidak datang terlambat. Bahkan aku pernah ngompol di pangkuan orang yang selalu mendendangkan dongeng-dongeng indah kerajaan babat Jawa sebelum mimpi memisahkan kami. Tetapi, cerita ibu membuatku seakan baru kemarin sore mengenali nenek. Nenek! Seandainya kau dulu mengisahkan hidupmu saja dalam setiap pengantar tidurku, niscaya air mata ini tak banyak mengeluarkan sesal.
Kami memejamkan mata, menjaga kekhusukan doa agar melesat tanpa penghalang. Kamis petang ini akan menjelma menjadi malam Jumat manis. Kata orang kampung, Jumat manis adalah jumat yang paling bagus dantara Jumat-Jumat yang lain. Entahlah, apa alasan mereka. Bagiku mereka hanya menafsirkan nama manis itu sebagai yang baik-baik.
***
Di tempat ini, Adakalanya akau berpikir bahwa seratus tahun lagi, dunia akan kosong tak berpenghuni, mengingat tempat ini semakin sempit dijejali mayat-mayat yang baru. Kehilangan adalah topik utama dalam kematian.
Tak jauh dari kuburan nenek, sepetak tanah kembali menggembur, membentuk gundukan cerita baru. Nahas. Tragis. Begitulah cerita akhir dari pemilik batu nisan—dari batu granit—bernama Rapiah bin Hasan, istri kepala kampung yang mati di ujung golok perampok, di rumahnya sendiri. Tragedi itu sekaligus menewaskan anak yang masih dikandungnya. Rapiah adalah wanita terkaya di kampung kami dengan gelimangan emas di kedua pergelangan tangan, kaki, dan lehernya.
Kuburannya diistimewakan, dipagari bambu-bambu runcing, didirikan tenda, dan dijaga ketat siang dan malam.
“Kenapa nenek tak dijaga seperti itu,” tanyaku.
“Apanya yang harus dijaga?”
“Tapi kenapa kuburan itu dijaga? Apakah hartanya dibawa?”
“Tidak! Kuburan itu dijaga hanya karena akan memberikan keberuntungan!”
“Keberuntungan?”
“Ya! Bayi itu bisa menghadirkan harta sebanyak yang kita mau,” sorot mata ibu terus menatap kuburan itu. Bulu kudukku bergeming. Membayangkan orang-orang kampung memperebutkan kuburan itu.
Benar! Desas desus perihal bayi itu menggema di seantero kampung kami, mengalahkan kabar perut yang sering kekurangan makanan. Banyak yang menginginkan bayi itu. Apakah dia tetap hidup meski sudah dikubur? Atau hanya ibunya saja yang mati, sedangkan bayi itu tetap hidup dari memakan daging serta meminum darah ibunya. Hi… aku teringat gerandong yang sering dikisahkan oleh nenekku saat aku tak segera tidur bila malam menua.
Ternyata tak memiliki apa-apa lebih nyaman ketimbang bergelimang harta. Kami sering kekurangan, tak setiap hari dapur bisa mengepul, sehingga tak pernah rumahku dirampok atau bahkan disatroni maling. Siapa yang mau mengambil tikus dan coro dari rumahku. Jika ada, silahkan!
Kehilangan nenek tetap kami rasakan. Aku bukan hanya kehilangan cerita-cerita nenek, aku juga kehilangan aura ibu. Ya! kini ibuku sering melamun sendiri, menatap langit-langit rumah ketika pada malam-malam, atau hanya mondar-mandir di ruang depan mendendangkan tembang sunyi.
“Ibu, aku ingin kencing.”
“Ya, nak.”
Kami berdua beriringan melangkah ke luar rumah. Jarak sumur dengan rumahku sedikit jauh, harus menyalakan obor sebagai penerangnya. Tetapi tidak untuk malam ini, bulan dengan cahaya temaramnya serta langit yang bersih membuat malam itu indah sekali. Menatap bulan, aku jadi ingat kisah nenek tentang Nyi Randhe Kasean, orang satu-satunya penghuni bulan. Dia akan turun jika bulan mencapai puncak kesempurnaan.
Suara-suara jangkrik bersahutan. Bunyinya serak. Burung-burung malam juga memeriahkan, tapi aku tak takut sama sekali. Keberadaan ibu dan cahaya bulan sudah cukup menghilangkan rasa takutku. Malam itu, wajah bulan berbeda dengan wajah malam-malam sebelumnya.
Ketika remang cahaya itu jatuh di kelopak mata, aku menemukan kegelisahan di sana. Sepertinya ketika pas nenek pergi, tidak demikian wajah ibu menjadi sayu.
“Ibu,” sapaku.
Kami kembali ke rumah.
“Ibu rindu nenek?”
“Bukan hanya nenek, tapi semuanya. Sejak nenekmu meninggal, keluarga nenekmu sudah jarang datang ke sini.”
“Kenapa ibu tidak main saja ke rumah mereka, ibu tidak tahu rumahnya?”
“Keadaan yang membuat ibu tak bisa berbuat demikian,” aku mengerti apa yang dirasakan ibu. Biarlah, aku tak melanjutkan percakapan ini. Kami kembali ke rumah dengan tenang.
***
Pagi sekali, dapur sudah berisik oleh tingkah ibu. Tak biasanya, padahal pagi belum remang. Ayam juga lelap, belum padu berkokok. Api tungku memantul dari kelopak matanya. Silau. Sementara, keringat mengalir di sela-sela kerut muka dan leher ibu. Beberapa kali ia tersenyum sendiri. Sekali-duakali tertawa. Ops! Ada apa dengan ibu? Ia biasanya polos, tersenyum seadanya.
“Ibu,” kataku pelan.
“Cepat! Ambilkan piring! Sudah hampir matang,” Beberapa kali dia tertawa, menelan liurnya. Aroma masakan ibu memonyongkan hidungku. Menggoda. Segera aku laksanakan apa yang harus aku lakukan.
Mulanya, aku kira makanan yang tersaji setengah gosong di piring itu, yang warnanya bercak kehitaman, adalah beberapa irisan tempe. Ternyata aku salah! Rupanya itu adalah daging! Hmm, liurku berontak, segera kuteguk sedalam mungkin.
“Kau tahu, inilah makanan yang membuat manusia bisa menjadi orang kaya. Jadi, kita sekarang sudah kaya,” tawanya kembali pecah. Aku tak mempedulikannya. Mulutku terlalu sibuk mengunyah daging itu.
***
Seperti biasa, seperti pula kamis petang ini, ibu mengajakku mengunjungi tempat itu, mengisahkan tentang cerita indah tanpa cela yang selalu dirangkainya. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat.
“Ini kuburan kakekmu…”
Dan.
“Ini kuburan paman kakekmu….”
Lalu.
“Ini buyutmu…”
Kemudian.
“…ini adalah kuburan bapakmu.”
Sementara itu.
“Adalah kuburan nenek,” potongku cepat.
Pada gundukan tanah di samping kuburan nenek, ibu menatap panjang. Kuburan itu telah ambruk. Mengapa kuburan itu bisa ambruk? Dan, dengan tenang ibu mengisahkan hilangnya penghuni kuburan itu serta orang-orang yang bisa kaya karenanya.
Melihat kuburan itu, aku memegang tangan ibu seerat mungkin.
PPA, 3.04 PM