Sunday, May 8, 2011

Minggu


I
Banyak orang yang menyukai hari minggu. Pegawai, karyawan, pelajar, serta buruh, semua menyukainya. Tapi tidak bagiku. Hari minggu adalah hari yang paling menyebalkan. Betapa tidak, hari yang selalu kuharapkan menghadirkan sejuta kebahagiaan selalu memberikan beribu kekecewaan. Sial.

Lagi-lagi tulisan cerpenku gagal menembus media. Honor tulisan yang selalu kuharapkan bisa meringankan beban biaya orangtuaku di pondok hanyalah menjadi bunga tidur di malam minggu. Malam yang menjadi tempatku mengantungkan berjuta harapan.

Ah, pasti teman-teman sekamar akan menertawaiku lagi: menyebutku sebagai penulis gagal, menyuruhku menyudahi perjalanan ini, atau yang membuatku merasa lebih terbakar lagi ketika mereka mengatai tulisanku akan lebih bermanfaat jika digunakan sebagai alas kastol, sobluk, panci, atau wajan. Sungguh menyebalkan!


II
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah-celah tabing bilik membangunkanku. Mataku memicing karena cahaya itu. Ah, aku lupa kalau hari ini adalah hari minggu. Bersegeralah aku berangkat ke perpustakaan tanpa berkaca dulu apakan di mataku ada bile’ atau tidak.

Sampai di perpustakaan, koran itu telah dikerumuni banyak santri. Aku berdiri menunggu giliran, membetulkan sarungku yang hampir merosot, menunggu salah satu santri menyudahi membaca koran harian lokal yang selalu aku tunggu-tunggu.

Lagi, lagi, dan lagi. Cerpenku gagal tembus. Aku mulai putus asa. Menembus sekaliber koran lokal saja sulitnya minta ampun apalagi koran regional atau bahkan kelas nasional.

“Kenapa Gus, gagal lagi?” kata Ustadz Bahri, kepala perpustakaan pesantren.

“Iya, tadz,” ucapku malas.

“Sudah berapa kali kau ngirim?” tanyanya lagi.

“Lima kali, tadz. Semuanya lenyap entah ke mana. Apakah aku tak memiliki potensi ya tadz untuk menjadi penulis?”

“Baru lima kali ngirim saja sudah keok,” Ustadz Bahri tersenyum.

Lantas dia bertutur bahwa presidenku harus menunggu cerpen yang kesekian ratus kalinya dimuat di media massa. Aku kaget. Baru kali ini aku mengetahui kalau Pak SBY ternyata juga suka menulis cerpen.

Lagi-lagi Ustadz Bahri tersenyum. Ternyata presiden yang dimaksud bukanlah Pak SBY, melainkan Joni Ariadinata, Presiden Cerpenis Indonesia. Ah, kebodohanku menertawaiku sendiri.

III
Harapan benar-benar tinggal harapan. Sekali dari sekian kali cerpenku gagal terbit. Aku benar-benar frustasi. Kesabaranku sudah habis. Pagi ini aku putuskan untuk gantung pena selama-lamanya. Tak ingin lagi melihat oretan-oretan usang yang bersarakan di kamar bilikku.

“Tadz, apa sich gunanya menulis?” entah mengapa pertanyaan ini meluncur dengan sendirinya. Emosiku meledak.

“Menulis itu adalah salah satu media untuk berdakwah. Kita bisa menuangkan gagasan kita melalui tulisan sebagai pencerahan kepada pembaca. Berdakwah itu bukan hanya dengan bil lisan, melainkan juga bisa dengan bil qalam,” jawabnya.

“Apakah juga berlaku pada sastra? Misalkan cerpen, kan itu fiktif?”

“Haris, kefiktifan itu terjadi karena kita mendapatkan imajinasi dari sebuah realita. Pernahkah kau berpikir bahwa Al Kindi, Al Farobi, Ibnu Sina, Jalaluddin Rumi, dan Al Ghazali adalah para sastrawan? Tidak, kan! Kita hanya mengenal mereka sebagai tokoh sufi saja. Tak pernah berpikir bahwa kitab-kitab yang ditulis mereka mengandung estetika bahasa yang tinggi, intuitif, dan profetik.”

Aku hanya bisa menunduk. Ucapannya kembali membuatku harus mempertimbangkan untuk meralat keputusanku.

“Yakinlah! Kata itu lebih tajam ketimbang sebilah belati,” katanya menyudahi pembicaraan.

IV
Sore yang indah. Gerimis tak selamanya mengundang resah. Karena pada itu, matahari dan hujan bersekongkol menghadirkan pelangi demi menghapus kesunyain mereka…
Begitulah sepenggal catatan yang sempat kutulis ketika duduk-duduk santai di depan bilik sambil mengintip pelangi yang tersenyum. Indah sekali. Barisan gerimis memberiku banyak imajinasi di sore itu.

Tetapi, konsentrasiku pecah, ngelantur ke mana-mana ketika aku membuka selembar kertas catatan lagi dan mendapatkan sebingkai foto terselip di sana. Ya! Foto Eris, perempuan yang kutahbiskan sebagai cinta pertamaku. Sejak masih duduk di kelas lima SD aku sudah mulai mencintainya. Tetapi, hingga aku terdampar di usia ke-18 ini, tetap tak ada keberanian mengungkapkan perasaanku padanya.

“Lagi nglamunin apa? Apa karena cerpenmu tidak dimuat lagi?” tiba-tiba Ustadz Bahri berdiri di depanku. Aku segera menutup catatanku.

“Tidak tadz, sekedar corat-coret saja,” kataku.

“Tadi itu foto siapa?” Mati aku! Ternyata ustadz mengetahuinya.

Aku tak bisa menyembunyikannya lagi. Kuceritakan semuanya perihal perempuan itu. Aku mempertegas bahwa Eris bukanlah santri putri di sini agar ustadz tidak mengira kalau aku sedang berpacaran di pesantren.

Kukira Ustadz Bahri akan merampas dan merobek foto itu, karena di pesantren dilarang menyimpan foto-foto yang bisa mengundang syahwat. Ternyata tidak! Justru dia menyuruh menulis kisahku dalam bentuk cerpen. Siapa tahu akan tembus di media.

V
Hari ini, aku tak harus mengutuk hari minggu sebagai hari yang menyebalkan. Justru aku harus memberikan tinta merah karena untuk pertama kalinya cerpenku berjudul Pemburu Sunyi terbit di media. Aku bersyukur sekali. Impianku untuk mencari uang sendiri demi meringankan beban orangtuaku terpenuhi. Lumayan kan, satu cerpen dihargai seratus ribu rupiah!

VI
Dari sepupuku, aku mendapatkan sepucuk surat dari Eris. Katanya, dia telah membaca cerpen Lelaki Pencari Sunyi. Eris terharu saat membaca cerpen itu. Ternyata, selama ini dia menanti kata cinta dariku. Sungguh, semua ini di luar dugaanku.

Sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Dia menerima cintaku. Aku benar-benar bahagia. Dan, lagu Marshanda Kisah Sedih di Hari Minggu tak berlaku padaku.
Akhirnya kubulatkan kembali tekadku; Bismillah, menulis sampai mahok!

Gubuk Cerita, 2011

1 comments:

Anonymous said...

Tika… engko' saporanah ka be'en karena tang sala ce' bennya'en ka be'en. karena sengko' aromasa bennyak alakoni dusah ka be'nah. Jujur, engko' sateyah apangrasah de'remmmaaah yeh! Apangrasah ce' dilemanaaaaaah sakeleh. Karena ini memang selaku engko' ngakonin bennya' arassah sala ka be'en. Engko' la membuat be'en setreees. Gara-gara karena tang cerpen e muat e radar madura. Oke… ketika be'en nelpon sengko', saya menanggapinya dengan tertawa dan tertawa, memang dalam prinsippeh sengko' reah lakar masalah kene' masalah rajeh selalu saya hiasi dengan tawa. Tapi sebagaimana manusia yang mempunyai perasaan engko' juga apangrasah dusah keyah. Tape de'remma'ah pole inilah yang namanya hidup. (ila akhirihi…)

enga' reng konah amain kam rekkaman. hek!