Friday, May 20, 2011

Vini, Vidi, Vici

(Epilog Kumcer Kembala Air Mata, 2011)

Kemarin adalah Sejarah…
Besok adalah Misteri…
Sekarang adalah Hadiah…

Saya sangat suka dengan ungkapan di atas. Tiga rangkaian kalimat yang saya caplok dari tutur Mr. Oogway, dalam film Kungfu Panda itu amat sederhana, unik, menarik, dan memiliki makna filosofis yang amat kuat. Bagi saya, umur manusia hanya bisa diklasifikasikan ke dalam kalimat tersebut; sejarah, misteri, dan hadiah. Tidak kurang dan tidak lebih.

Lalu, apa hubungannya dengan menulis? Baiklah, saya hanya akan memberikan sedikit catatan singkat atas terbitnya antologi ke-2 Puisi dan Cerpen Komunitas Penyisir Sastra (PERSI) IKSABAD dari sudut pandang ketiga rangkaian kalimat di atas. Namun, sebelum saya lanjutkan, terlebih dahulu saya ucapkan selamat mengarungi dunia dengan kata!


Kemarin adalah Sejarah…
Satu detik saja waktu yang telah terlampaui pasti (akan) menjadi sejarah. Manusia tidak bisa memutar kembali sejara itu, atau menghadirkannya ke ruang dan waktu yang sama, atau yang berbeda sekalipun. Tidak! Itulah sebabnya penyesalan datang dikemudian hari. Dalam ungkapan orang Madura “tadhe’ buwenah bettes bede e adek, kabbhi bedhe ebudi”.

Manusia tidak bisa menghukumi sejarah, tapi sejarah bisa menghukum manusia. Ingatlah! Soe Hoek Gie pernah mengatakan “Sejarah dunia adalah sejarah penindasan”. Lho, itu kan “Sejarah Dunia”? Ya, benar. Tetapi manusialah yang mencipta sejarah itu. Lantas, apakah harus berpasrah diri pada sejarah? Ops, tunggu dulu. Sejarah bisa kita jadikan cermin untuk menatap masa depan. Banyak manusia yang mengklaim sejarah, bukan menjadikannya sebagai tauladan. Sehingga, anarkisme, rasisme, intimidasi, menjadi lahan empuk untuk menciptakan tindak kekerasan. Saya tidak akan banyak membicarakan persoalan ini, karena memang bukan “wilayah” saya.

Salah satu cara paling ampuh agar sejarah itu “terulang” kembali adalah mengabadikannya. Besar sekali kemungkinan sejarah itu akan hilang, karena otak—dalam ilmu psikologi—semakin lama menyimpan data sebuah peristiwa, maka semakin sulit untuk mengingat kembali, tentunya mengingat secara utuh.

Besok adalah Misteri…
Apakah anda tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari? Jika anda mengatakan, ya! Maka anda akan dicap musyrik, men-Tuhan-kan diri. Nasib manusia sudah ditentukan, tetapi tidak ada tahu kententuan itu, kecuali Sang Khaliq. Kapan kita akan dilahirkan, mendapat rizki, musibah, menikah, memiliki anak, menikah lagi (he, bila perlu), hingga maut melambaikan tangan.

Akan tetapi, meskipun manusia tak bisa membaca ketentuan itu, Tuhan masih memberikan toleransi untuk mengubahnya. Inna Allaha laa yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiruma bi anfusihim, Disinilah, kesempatan manusia untuk merangkai sejarah itu sebelum berpasrah diri kepada-Nya.

Saya jadi teringat akan sebuah kalimat yang dipopulerkan oleh Thomas Fuller “Kalau bukan karena harapan-harapan, maka hati pun akan mati”. Kata “mati” adalah representasi dari misteri. Manusia tidak tahu kapan ia akan menjadi bangkai dan kembali pada tanah. Tetapi karena ada kata “harapan” mereka tetap mencoba bertahan dalam sebuah misteri itu.

Sekarang adalah Hadiah…

Banyak manusia yang tak bersyukur atas apa yang telah didapatkan hari ini, bahkan seringkali tak pernah berpuas diri. Jika boleh, mereka akan meminta lebih dari itu, sehingga rasa syukur tak pernah bertasbih dalam tutur kata mereka. Salah satu contoh yang seringkali dilupakan adalah kesehatan. Banyak manusia yang tak menyadari bahwa kesehatan merupakan hadiah terbesar dalam sepanjang hidup manusia. Karena tak menyadari, pola tingkahnya menjadi tak beradat dan beradap, dan beretika.

Nah, antologi puisi dan cerpen yang sudah berada di tangan anda ini merupakan representasi dari seragkaian kalimat di atas. Mereka tidak mau digilas oleh sejarah sehingga berani mengabadikan sejarah dengan tulisan. Lahirnya antologi ini juga sebagai bukti bahwa mereka mulai merangkak untuk merangkai masa depan. Tentunya, ini adalah hadiah dari jerih payah mereka mengabadikan diri dan merangkai masa depan.

Cinta menjadi bumbu utama dalam antologi ini. Maklum, karena para penulisnya adalah remaja. Masa remaja adalah masa yang penuh cinta. Di sisi lain, tema cinta mudah dirasa, dipahami, dan diangkat ke permukaan. Karena cinta memang fitrah manusia. Cintalah yang “mencipta” perasaan: sayang, benci, rindu, percaya, kecewa, marah, tangis, sengsara, derita, bahagia, senang, murung, cemberut, sinis, egois, setia dan lain sebagainya.
Namun, tema cinta yang diangkat dari sudut pandang romantika yang berbeda-beda (romantisme, elegi, persahabatan, perpisahan, dan kenangan) itu kurang dikemas secara apik dan semenarik mungkin, yang membuat pembaca bisa mencicipi dan turut serta bernonstalgia dengan cerita itu. Sistematika bahasa bisa dikatakan sudah lumayan bagus, tetapi ekplorasi gaya bahasa, saya belum menemukannya. Mereka terkesan hati-hati agar tidak “murtad” bahasa, padahal bereksperimen untuk meciptakan estetika itu perlu untuk menjauhkan tulisan dari kata “klise”.
Beberapa penulis juga setengah hati dalam menuangkan apa yang dilihat, dirasa, dan diraba oleh cinta yang menjadikan ceritanya seakan terpotong-potong bahkan tidak tuntas. Inilah yang membuat alur dan settingnya tak begitu kuat. Ibarat sebuah makanan, bungkusnya kurang menarik, sehingga harga jualnya menjadi murah, hanya itu-itu saja.

Kendati demikian, terlepas dari itu semua, saya ucapkan SELAMAT! kepada para penulis karena telah berani merangkai kata demi mengukir masa depan. Antologi ini adalah hadiah dari jerih payah kalian saat ini. Dan tentu, suatu saat nanti para penulis dalam antologi ini akan menertawakan sejarah. Tidak percaya? Tunggu satu atau dua tahun lagi, kalian (khususnya para penulis) akan tertawa jika membacanya kembali.

Sebelum saya undur diri, mari kita tutup serangkaian kalimat ini bersama-sama dalam satu do’a: Bismillah, Menulis Sampai Mahok!

0 comments: