Thursday, August 9, 2018

Carok

(Nominator LMC Kab. Sumenep 2017)


Tambak garam membentang di bahu kanan dan kiri jalan. Sedap aroma garam. Kincir yang berputar. Bulir-bulir asin mengkristal. Bentangan tambak itu menandakan laju bus yang kutumpangi segera berhenti di terminal Wiraraja. Arloji di pergelangan kiri menunjukkan pukul tiga dua puluh enam menit.

Rem berdenyit. Ada suara suspensi. Penumpang berdesakan seolah bus tak memiliki banyak waktu ngatem di terminal. Mereka bukan tidak tahu bahwa Wiraraja adalah terminal terakhir di ujung timur Pulau Madura.

Lepas kedua kaki berpijak di tanah aspal, kuhirup pelan desau angin yang terasa asin. Masih belum terkira betapa sore ini aku menghirup aroma tanah kelahiran yang cukup lama kutinggalkan. Segar aroma bunga tembakau. Harumnya tanah yang dibasahi hujan pertama di penghujung kemarau. Dan sedapnya nasi jagung dengan lauk ikan asin yang dimakan dengan ulam daun kelor.

Seorang lelaki mendekat. Langkahnya tergesa-gesa. Tubuhnya dekil dan tambun. Kulitnya mulai mengeriput kendati otot-ototnya masih kekar. Anom[1] Mustapa. Orang yang menghubungiku untuk segera pulang. Jika saja ibu tak menyuruhku segera pulang, tentu punggungku masih memanggul karung di tanah rantau.

“Ibumu sudah menunggu, Cong[2]!”

Tanpa berpikir panjang, aku membonceng di belakangnya. Nom Mustapa memacu motornya membelah kota. Masjid Agung terpancang kokoh di pusat kota. Masjid kebanggaan orang Sumenep yang selesai dibangun tahun 1787 Masehi. Ornamen gerbangnya bergaris-garis kuning berpadu dengan warna putih pada setiap sisinya.

Motornya terus melaju. Aku banyak diam.

Sampai di kampung nelayan, pesisir pantai berpagar cemara udang berjejel menyapu pandangan. Keindahan pantai Lombang memang tiada duanya. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggoda adrenalin untuk berlayar dan bersenandung ole olang.[3] Bocah-bocah pesisir melepas langkah tanpa beban. Berlarian di atas hamparan pasirnya yang putih. Menatap perahu yang tampak kecil dalam pelayaran.

Aku jadi ingat cerita yang selalu menjadi pengantar tidur anak nelayan. Betapa kehidupan kami tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut; terus bersama saling melengkapi dan melindungi. Tak ada yang melaut sendiri. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan dibagi sesuai kesepakatan. Aroma amis campur asin dan gaya teriakan cempreng nan lantang menjadi ciri khas karena ombak telah mengajarkan bagaimana bersikap tegas dan sigap menjadi seorang nelayan.

Melihat bocah-bocah pesisir yang berlarian tanpa sandal, aku juga jadi teringat pada perempuan pesisir yang sering bermain denganku di bibir pantai Lombang. Kami sering bermain nikah-nikahan dengan lokan sebagai maskawinnya. Riak ombak yang tenang membuat kami betah berlama-lama di sana. Maemunah nama perempuan itu. Gadis yang seharusnya sudah kunikahi betul jika saja carok tak terjadi waktu itu. Dua tahun lalu. Peristiwa yang sudah mengasingkanku di tanah rantau. Anom mengirimku pada kerabatnya di Jawa sampai waktunya harus melaksanakan carok balasan.

Derap roda motor nom Mustapa melewati Pasar Jukok, tempat transaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak. Anyir ikan menembus rongga hidung. Pasar itu dikuasai kaum perempuan. Ketika para lelaki melaut, kampung nelayan bak kampung perempuan. Tak ada yang dilakukan kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang jarang terpenuhi, sampai pada sentilan renyah perselingkuhan dengan para tengkulak.

Bapakku seorang nelayan, tetapi rumah kami cukup jauh dari laut. Awalnya kami tinggal di tepi pantai. Sepeninggal nyaeh, mereka pindah ke rumah yang sekarang kami tempati—rumah kaeh-nyaeh[4]—sementara rumah yang lama kami tukar dengan gudang penyimpan ikan.

Roda motor yang kutumpangi kini berderap di atas jembatan yang airnya tenang tak pernah berisik. Aku dan Maemunah kerap bersiraman di situ.  Banyak penduduk mandi dan mencuci, terutama saat kemarau, ketika sumur-sumur menjadi kering. Beberapa sapi seharian ditambat di tepi sungai. Hanya di tempat itu rerumputan tetap hijau. Sementara bila sudah digiring ke kandang, mata sapi itu ditutup plastik hijau agar tertipu melihat rerumputan ranggas menjadi segar.

Di tepi jembatan terdapat sebuah bakap[5], tempat petani menunaikan salat. Bakap memang biasa dibangun di dekat sungai agar bila ada petani yang bekerja hingga sore, mereka tidak perlu pulang untuk menunaikan salat.

Aku sering melihat seorang petani salat di bakap itu. Terkadang hanya mengenakan sarung tanpa baju. Di sampingnya ada cangkul, arit dan celana kolor yang belepotan tanah. Sarungnya digulung agak tinggi hingga menutupi pusar namun juga menutupi lutut, mirip lelaki yang memakai kemben.
Saban pagi, perempuan-perempuan paruh baya biasa melintasi jembatan itu. sebuah bakul berisi tapai atau tangkapan ikan bertengger di kepala mereka. Siap dipasarkan. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Mereka berbaris rapi. Kadang tanpa alas kaki. Berjalan seperti sekawanan semut yang mengangkut remah-remah roti. Saat perempuan-perempuan itu melintas, petani di tegalan bersahut sapa dengan nada menggoda.

Jembatan itu menandakan bahwa sebentar lagi langkahku berpijak di halaman rumah. Senja memerah seperti bara api berkilat-kilat. Pepohonan siwalan berdiri kokoh. Aroma celatong[6] menguak dari kandang sapi. Di bawah pohon siwalan, pada batang cemara udang, dan di antara kandang-kandang itu aku tumbuh menjadi lelaki lepas dan bebas.

Ibu menyambut dengan muka berkaca-kaca. Sampir bermotif cengkeh dijinjing setinggi lutut. Aku 
jatuh dipelukannya seperti anak kucing yang kedinginan. Senja mulai memerah. Semerah mata ibu yang hendak bicara tentang kesedihan.

Pada dinding rumah, ada potret usang kaeh-nyaeh di pigura terpisah. Pada dinding yang lain, terpajang potret kenangan bersama Ke[7] Husen bersama kuda yang kutumpangi saat petamakali khatam Al-Quran.

Ke Husen tidak hanya dikenal sebagai guru ngaji. Lelaki itu kerap kedatangan tamu dengan tujuan yang beragam. Dari yang meminta ilmu kekebalan, meminta pemenangan kerapan sapi sampai meminta pemenangan kontes lotrengan. Ke Husen terkenal dengan dukunnya para blater[8]. Lelaki tua itu memiliki mantra nylateng[9] dan rapal nyeppet[10] yang ampuh.. Bila ada seseorang yang ingin melakukan carok, Ke Husen adalah pilihan tepat meminta keselamatan.

“Kamu disuruh segera menemui Ke Husen,” tukas Ibu.

***
Malam hampir memasuki waktu Isya. Aku dan anom sudah di langgar menunggu Ke Husen. Beralas tikar rajutan daun siwalan. Langgar ini benar-benar sudah tua. Jaring laba-laba bergelantungan di langit-langit. Sebagian kayu plafon tampak lapuk dimakan usia. Gedek bagian bawah sudah mengeropos. Hanya keempat pilarnya yang terlihat masih kokoh.

Di depan pengimaman tumbuh rumpun bambu berduri menudung atap langgar. Konon, rumpun bambu itu sengaja ditanam sebagai pelindung agar langgar dari tak terlihat di kejauhan oleh penjajah. Pada masanya, penjajah kerap membakar masjid atau langgar karena dianggap sebagai sarang pemberontak.

Malam ini aku akan mematangkan carok balasan kepada Talhah, seorang tengkulak yang telah membuat nyawa bapak melayang demi kehormatan keluarga. Ya, Talhah kerap menggoda ibu di bakap itu yang hampir setiap hari mencuci dan bersiraman di sana. Tak terima dengan perlakuan itu, bapak menantang Talhah melakukan carok tanpa perhitungan yang matang hingga kemudian nyawanya melayang.

Seorang perempuan mendekat membawa beberapa gelas kopi. Aku tercekat. Maemunah! Gadis yang sering kunikahi di gundukan pasir itu semakin tumbuh menjadi gadis sintal. Bibirnya terlihat segar. Sepasang matanya teduh namun tajam. Kulitnya kini kuning langsat. Rasanya Potre Koneng terlahir kembali!

Maemunah meletakkan gelas itu satu per satu. Tatapanku tak pernah lepas dari parasnya hingga langkahnya menghilang di balik daun pintu rumah. Angin berdesir pelan. Beberapa daun bambu kering jatuh. Serangga kecil berputar-putar mengelilingi dop 5 watt. Ke Husen baru saja tiba usai mengobati warga yang diduga terkena penyakit kiriman.

“Kapan datang, Cong?”

“Tadi siang, Ke,” tukasku.

“Sudah siap?”

“Siap!” jawabku yakin.

Ke Husen bergegas ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian lelaki itu keluar dengan sebilah celurit jenis takabuan terbungkus kain putih. 

“Ini celurit yang dipakai carok oleh bapakmu. Pakailah. Sudah kuisi beberapa rapal mantra di dalamnya.”

Kubuka kain putih itu. Aroma dupa meruak. Ada beberapa lembar kertas bertulis huruf-huruf hijaiyah berserakan. Kuusap mata celurit itu tanpa takut terluka. Tiba-tiba wajah Talhah tergambar jelas di batok kepala. Akhirnya carok balasan segera kutunaikan.

Katembheng pote mata ango’ pote tolang,[11]” tukasku.

“Betul, Cong. Lokana daghing bisa ejhei, lokana ate tade’ tambhana kajhebe ngero’ dara,[12]” timpal Nom Mustapa meyakinkan.

“Kamu harus bermalam di sini. Aku akan mengalirkan mantra nylateng ke tubuhmu, sekaligus merapalkan mantra nyeppet,” kata Ke Husen.

Malam itu jatuh tanpa sepotong rembulan.

“Setelah semuanya selesai, ijinkan aku menikahi Maemunah, Ke,” tukasku. Entah, keberanian apa yang membuatku berucap demikian.

“Tuntaskan dulu niatmu, Cong. Tebuslah anakku dengan jantung Talhah sebagai mahar. Bukankah dulu pernikanmu juga tertunda gara-gara lelaki itu,” kata Ke Husen sembari melinting rokok dan menyulutnya.  

***
Celurit takabuan sudah siap di genggaman. Sesekali kuayunkan untuk merasakan sensasi tebasan. Tubuhku terasa lebih lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga. Mungkin ini efek mantra Ke Husen. Ah, tak penting. Yang jelas hari ini aku akan ngongghei[13] Tahlah. Dua tahun aku mengasingkan diri diperantauan hanya untuk membalas kesumat yang harus segera dituntaskan. 
Rerimbun pelepah siwalan di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya. Orang yang kutunggu terpatri di depan mata. Talhah sedang memberikan sepuluh telur ayam dan secangkir madu untuk jamu sepasang sapinya. Darahku mulai berdesir. Amarah langsung meledak.
“Talhah! Dua tahun aku menunggu!” teriakku.
Kusabet celurit sekuat mungkin ke arahnya. Talhah menghindar ke tanah lapang. Celurit terus kutebas diantara batang-batang cemara udang dan siwalan. Berkali-kali Talhah menghindar sempoyongan. Tampar sapinya menjadi perisai. Seranganku membabi buta. Satu sabetan begitu cepat dan kuat telak mengenai tangan kirinya. Ada Darah mengucur. Jari manis dan kelingkingnya bergelantungan hampir lepas.
Patek!” umpatnya.
Talhah mengeluarkan sekken[14] dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, lelaki kekar itu juga mulai melakukan serangan. Matanya menatap jalang.
Di udara yang bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit tak tentu arah. Sesekali memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan lantang saling berpaut. Meski ukuran celuritku lebih besar ketimbang celurit Talhah, aku cukup kereporan menandingi kesigapan dan kelenturan tubuhnya. Beberapa kali Talhah sempoyongan menghindar tebasanku sebelum akhirnya satu bacokan berhasil kudaratkan di punggungnya.
“Patek!” Talhah meringis.
Sadar lawan terluka, aku semakin di atas angin. Amarah menjadi beringas. Talhah meringis kesakitan tetapi tubuhnya tetap gesit menghindari seranganku. Tiba-tiba satu tebasan telak tepat mengenai perut sebelah kiri. Mataku berkunang-kunang dan mulai hilang keseimbangan. Kutekan lukaku agar usus tak keluar. Anyir darah tersaup angin. Akupun tumbang. Terkapar.
Talhah menjilat darah[15] yang menempel di ujung celuritnya. Luka sabetannya membuatku sulit bergerak sehingga lelaki bercodet itu leluasa membacok-bacok tubuhku.

Celuritnya dibentangkan di atas dadaku sebagai simbol kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah yang membunuhku. Bilapun harus mati diujung celurit, setidaknya kehormatan keluarga sudah kujunjung tinggi.

Hanya saja yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menitip rindu dan memenuhi janjiku pada Maemunah.[]
Jember, 18 November 2017




[1] Anom: paman
[2] Cong: panggilan singkat dari kata “kacong”  
[3] Salah satu lagu tradisional masyarakat Madura yang menggambarkan kerasnya kehidupan nelayan di tengah laut.
[4] kaeh-nyaeh: kakek-nenek
[5] Kata ‘bakap’ berasal dari ‘wakaf’ dengan maksud bahwa tempat salat itu awalnya dibangun dengan dana pribadi tapi untuk orang umum.
[6] Celatong: kotoran sapi
[7] Ke: singkatan dari kae/kiai, sebutan bagi orang yang sudah tua atau dituakan.
[8] Blater: preman; jagoan
[9] Sejenis mantra yang diyakini membuat orang berani dan siap tempur
[10] Sejenis mantra yang diyakini akan kebal terhadap bacokan senjata tajam
[11] Artinya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Sebuah peribahasa dalam masyarakat Madura yang memiliki makna Lebih baik mati daripada berkalang malu.
[12] Artinya, lukanya daging masih bisa dijahit, tetapi lukanya hati tidak ada obatnya kecuali minum darah. Sebuah peribahasa dalam masyarakat Madura yang memiliki makna bahwa malu adalah aib yang tak ada obatnya kecuali carok.
[13] Ngonggei: mendatangi rumah lawan dan menantang langsung di depan halaman.
[14] Jenis celurit berukuran kecil yang biasa dijadikan sekep, mudah diselipkan di balik baju sehingga tidak mengundang perhatian orang.
[15] Sisa darah di celurit diyakini sebagai penghilang penyakit dhen-keddhenan, yaitu raut muka selalu tampak pucat seperti kekurangan darah.

0 comments: