(dimuat di Kompas,
15 Juli 2018)
Ia berpesan, jangan dikubur di
tanah wakaf.
Sebagaimana kata wakaf, siapa pun
boleh dikubur di
sana. Tak perlu merogoh kocek sekedar penebus sekotak lubang kematian. Tidak. Ia
ingin berbaring di tanah sendiri.
“Tak ada yang lebih merdeka
selain mati di atas tanah sendiri,” tukasnya.
Namanya Pak Mat. Tinggal di Slerok1. Sebuah perkampungan di
kaki Gunung Raung. Bagian dari Pegunungan
Ijen. Pemisah dua kabupaten
di ujung timur tanah Jawa: Jember dan Banyuwangi.
Lelaki berkulit besi tua
itu seorang petani rajin dan ulet.
Mengembala ternak menjadi
selingan pekerjaan. Saya sering mengambil bagian dari pekerjaan ini. Hampir pasti semua petani memiliki ternak. Terutama
sapi.
“Aku selalu
berdoa semoga anak cucuku dapat menggarap ladang dengan
baik. Tetapi takdir berkehendak lain. Harapanku
hanya ada pada Wulan. Dan Tuhan
sudah mengambilnya,” tukasnya mengenang kepergian anak semata wayang.
Penyuka semur keong besusul dan oseng
pakis itu harus mengakhiri hayat di
ujung jarum infus. Keranjingan semur keong besusul membuat
tubuhnya digerogot kolesterol. Menjelang sekarat, yang bercokol di
batok kepala kami hanya
sekotak ladang untuk dijual.
Biaya pengobatan sangat tinggi untuk ukuran kelas teri.
Sekotak ladang paling masuk akal sebagai penebus kesehatan.
“Pantang petani menjual tanah. Tanah adalah warisan. Menjual
berarti menghianati leluhur. Tanah
adalah titipan. Karena tanah ini banyak darah bercipratan. Mati di ujung laras,“
tukasnya berkaca masa lalu.
Kami pun tak punya nyali menjual tanah. Ia sudah membuat
pilihan sekarat di ujung ajal. Ada
kebanggaan bersinar di kelopak matanya. Seolah ia melakukan mati dengan cara
yang sangat mulia.
Sejatinya saya hanya
pendatang. Seorang relawan. Pak Mat
menyilakan saya tinggal
bersama keluarganya. Saya berbagi
kamar dengan Wulan, salah
satu murid saya. Sayang, detak nadinya berhenti di tahun kesembilan dari
hitungan napas pertama. Wulan menyerah di ujung penyakit lupus. Seorang murid cerdas dan periang. Pembara semangat luar-dalam.
Saya hampir jatuh. Pertahanan
terbang. Harapan menjadi abu. Sampai terbesit di pikiran untuk
jauh meninggalkan Slerok. Apa yang perlu dipertahankan bila mimpi-mimpi sudah lari?
Namun senyum cerlang Wulan dengan segala keterbatasannya, membuat
perasaan meningalkan anak-anak Slerok seperti
tamparan keras. Sakit sampai ke palung paling hitam.
Bayangan Wulan
kerap bercokol di pucuk Raung.
Melambai-lambai. Sebentuk sapaan saat
mentari sorong mengecup kening bumi atau saat senja menutup hari.
Jika saya tak empati
pada sekolah dasar, tempat Wulan dan anak kampung Slerok merajut asa, barangkali
kaki ini sudah jauh
berpijak. Meninggalkan kesiur angin beraroma
dingin. Meninggalkan kemilau embun di ujung ilalang. Meninggalkan malam yang
selalu basah.
Sekolah itu saya
temukan mati suri. Dua tahun lamanya. Sekolah yang diabaikan pemerintah. Bangunannya serba sirap. Hanya ada dua ruang. Satu ruang
diisi tiga rombel:
kelas satu, dua, dan tiga. Satu ruang lagi untuk kelas empat, lima, dan
enam.
Tak ada yang mau mengajar di
sana. Jalan terjal, akses yang sulit. Hanya petugas perhutani yang kerap
terdengar di ruang kelas yang sering kosong itu. Itupun seminggu sekali.
Seorang teman, salah satu anak petugas perhutani, meminta saya bersamanya mengajar di sana. Menghidupkan kembali sekolah itu.
Namun suatu hari, yang
sejatinya tak sanggup dan tak ingin saya ingat, ia menghilang dan tiba-tiba
muncul dengan seorang lelaki
yang sudah enam tahun mengikat janji
dengan saya.
Ia datang hanya berpamitan. Selebihnya saya anggap hanya penghianatan.
Saya mesti
banyak belajar cara berdamai dengan masa lalu. Toh,
masa
lalu bukan untuk dihukumi, melainkan sebagai
cermin
langkah selanjutnya. Saya memilih tetap
bertahan. Melupakan segala hal yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga.
Ada dua hal yang tak ingin saya lewati, yaitu ketika mentari mengintip dari balik gunung dan ketika perlahan
merangkak menjauhi kampung. Gunung Raung, dengan segala misteri yang tersimpan,
tampak menjadi permata berkilau.
Air jernih mengalir menggoda mata. Ikan-ikan berkecipuk manja. Pepohonan pinus
berjejal rapi. Gugusan awan menari di atas
kaldera.
Saban
pagi
sepasang kerbau harus saya tambat
di pematang sebelum mengajar.
Menyaksikan hingar-bingar kampung Slerok.
“Perempuan kok mengembala
kerbau. Harusnya
memasak di dapur. Daya tarikmu akan berkurang, Duk,” tukas Pak Mat, suatu ketika.
“Apakah ada larangan dalam
adat perempuan mengembala kerbau?”
“Pantasnya perempuan itu di
dapur. Istri yang jago masak adalah dambaan suami.”
“Ibu jago masak, ya, Pak?”
“Ibumu cantik karena jago
masak,” kami berdua
tertawa.
“Jadi, kalau tidak
jago masak, ibu jelek, begitu?”
Tiba-tiba tawa
kembali lepas sendirinya. Memberi isyarat tak perlu jawaban.
Pak Mat dan
istrinya menganggap saya sebagai
anak sendiri. Begitu sebaliknya. Di
sini, di keluarga ini, banyak kenyamanan yang lebih saya dapatkan daripada
keluarga sendiri. Tak ada pertengkaran, kebohongan, kesibukan, dan rasa egois yang kerap saya temukan di meja keluarga di kota. Tak ada kamuflase. Tak
ada.
Saya sering
membantu mereka berladang.
Kontur tanah yang subur membuat kampung Slerok cocok ditanami aneka jenis tanaman. Penduduk kampung suka
menanam padi, tembakau, dan cabai. Saat letih menghampiri, kami istirahat di
pondok bambu, menikmati secangkir kopi
dan rebusan singkong yang digali dari kebun sendiri.
Pada mulanya saya tak
sepaham dengan jalan
pikirannya. Sempat berpikir bahwa lelaki cungkring ini tipikal petani yang tak
mengerti perubahan. Ketika sebagian petani
beralih pada pupuk olahan dan traktor
sebagai alat membajak, pupuk kandang dan sepasang kerbau tetap menjadi andalan.
“Seandainya tanah layaknya manusia,
pasti merasa kesakitan oleh pupuk berbahan kimia. Seandainya tanah layaknya manusia, pasti merasa
kesakitan dibajak kasar dengan baja,”
tukasnya.
“Bukankah teknologi mempermudah
segalanya? Tanah yang seharusnya dibajak tiga hari menjadi hanya sehari.
Sungguh, saya sama
sekali tak tertarik dengan cara bertani seperti itu. Sekarang ini kita hidup di
dunia yang serba instan.”
“Bertani itu tak jauh berbeda dengan bercinta.”
“Maksudnya?”
“Tidakkah berpikir betapa mesin itu telah
merampas pekerjaan petani? Lihatlah! Pak Murtaep sering menganggur karena tak
ada yang mau menggunakan
jasa sepasang kerbaunya.”
Sepertinya ada ilmu baru
yang saya dapatkan. Sebuah filosofi bertani yang tak
pernah diajarkan di sekolah maupun di perguruan
tinggi. Rasanya belajar bertani kepadanya juga belajar bagaimana mencintai
tanah air.
“Setiap keringat yang jatuh
saat bekerja adalah kenikmatan. Sesuatu yang istimewa itu tidak lahir secara
instan,” tukasnya.
***
Benih-benih tembakau menghijau sambut kemarau. Nicotiana tabacum itu dikenal sebagai komuditas utama sektor pertanian. Ikon kualitas
tembakau daerah Jember.
Daunnya bercorak macan tutul bila sudah
kering. Aromanya khas.
Tak sulit membedakan dengan tembakau lain.
Sesuai permintaan, Pak Mat dikubur di sudut bagian barat ladang miliknya. Saya dan ibu selalu menyempatkan diri mengirim
simpul-simpul tawasul untuknya sebelum menggarap sebidang tanah
peninggalan.
Perempuan uzur itu bercerita.
Betapa suaminya sama sekali tak pernah menanam tembakau.
Saya terhenyak. Heran.
“Hasil
panen seharusnya dinikmati sendiri, bukan dijual kepada orang luar,” tukas ibu menyadurkan cerita pada riwayat bapak.
“Bukankah bertani
merupakan ladang penghasilan utama, sebagaimana pedagang
dengan ladang usahanya?”
“Tembakau bukan makanan. Tentu semuanya langsung dijual. Tak
mungkin menyisakan sebagian untuk dimakan sendiri atau dan berbagi dengan tetangga.”
“Menjual
untuk membeli. Rasanya sah-sah saja. Sekarang harga
sayuran murah. Modal pasti sulit kembali. Bagaimana mungkin bertani dengan cara
yang sudah bisa dipastikan merugi?”
Mukanya yang keriput menarik
senyum yang masih tersisa. Matanya yang hampir mengabur berkaca-kaca pada
sebuah gundukan tanah di mana suaminya disemayamkan.
“Siapa
yang bilang merugi? Hal paling membahagiakan bagi kami ketika bisa berbagi hasil
panen dengan petani lain. Lumbung tak
pernah kering. Tak punya uang, kita masih bisa makan. Hampir
semua yang tumbuh bisa kita makan. Tuhan sudah terlalu murah untuk kita.”
Seperti inikah bentuk patriotisme petani?
“Duk,
ini wasiat Bapakmu. Dengarkan! Jika kau sudah menemukan
jodohmu dan tak pernah memiliki niat meninggalkan kampung ini, maka semua tanah
ini kami serahkan kepadamu.”
Mata itu tampak memberi keyakinan.
Sorong penuh
harap. Lalu ibu
menatap
lekat pada nisan. Pada gundukan
tanah yang mulai ditumbuhi rumput kecil. Mata itu sudah
tak sejernih asalnya, tetapi masih seperti gravitasi yang dapat menyerap segala keraguan.
“Saya belum siap.”
“Alam
senantiasa
setia mengajari
kita.”
Sekawanan burung bangau terbang ke
peraduan. Angin berdesir pelan.
Senja
merangkak semakin jauh. Matahari
membulat serupa kuning telur gosong.
Kami menuruni jalan setapak. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanaman
pakis di sepanjang tebing menguning oleh sapuan senja. Setenteng singkong dalam
genggaman. Lepas pandangan ke arah Timur,
pohon pinus berderet kokoh seurut bidang tanah yang memiring.
Semua berjalan alami tanpa polesan. Hijau daun, tanah subur, air
jernih, udara sejuk dan kicau merdu. Pandangan
itu mengingatkan saya pada sebuah bait puisi. Inikah cipratan surga
yang bocor itu?2
Ah, saya jatuh
cinta dengan kampung ini. Tak ingin
pulang ke masa lalu. Apa pun itu.
“Saya
ingin
jago masak agar tampil
cantik seperti Ibu. Maukah Ibu mengajari saya cara memasak yang baik dan benar?”
“Siapa yang bilang ibu
cantik?”
Ada simpul senyum
terkembang. Saya yakin senyum itu bukan karena pujian. Senyum itu ingin menebak
kebenaran dari sebuah jawaban. Ia sudah tahu jawabannya. Sementara saya tetap
menjawab sekedar untuk menggodanya.
“Bapak.”
“Hem,
tumben. Kau tidak sedang jatuh
cinta, bukan?”
Saya tersipu.
Semoga ia tidak menangkap rona merah muda, karena membayangkan
seorang
lelaki muncul dari balik senja, suatu ketika,
yang entah kapan lelaki itu benar-benar
datang menemui saya.[]
Jember,
Januari
2018
(Dedikasi
untuk keluarga alm. Ribut Sri Wulandari)
Catatan:
1.
Potongan kisah lain tentang Slerok sudah dipublikasikan di Republika, 6 Juli 2014.
2. Emha Ainun Najib dalam syair Ilir-Ilir.