Mereka menyebut kami anak
negara. Membanggakan bukan? Kata ibu, ibu dari semua anak-anak ibu, sudah
sepatutnya kami berbangga diri. Jarang ada seorang anak disebut anak negara,
kecuali nasibnya memang segaris dengan kami.
“Pemuda adalah harapan
bangsa. Tetapi banyak pemuda yang tak mengerti pentingnya revolusi. Hidup sekedar
bersenang, meneguk miras dan melakukan seks bebas seperi sekumpuan arisan,”
kata ibu. Ada bara di matanya.
Jumlah kami yang banyak
hanya diasuh oleh seorang perempuan yang kami sebut ibu. Jadilah ia seperti
Dewi Gandari yang memiliki banyak anak. Namun, ibu bukan pendendam sebagaimana
istri Destarastra yang buta itu. Ia tak mengajari haus kekuasaan. Ia mengajari
sikap keteladanan. Mungkin suatu saat dimana perempuan berhenti melahirkan,
anak ibu lebih berkali-kali lipat dari anak Dewi Gandari.
Masalahnya, kapankah
perempuan berhenti melahirkan?
Ibu bukan seorang ibu
negara. Bukan istri presiden atau pejabat. Ia hanya seorang juru masak di sebuah
lembaga perlindungan anak. Setiap hari menyeduh secangkir kopi, menyiapkan
makanan untuk para karyawan, dan menyapu seluruh ruangan sebelum dan sesudah
karyawan pulang. Pekerjaan memang banyak, tapi ibu tak pernah alpa
mendongengkan kami tutur halus untuk menanamkan betapa kita mesti berbangga
diri menjadi anak negara.
Jika Dewi Gandrari
mensugesti anak-anaknya mempertahankan kekuasaan Hastinapura, ibu malah menanamkan
niai-nilai pengabdian. Memberilah sebanyak-banyaknya, bukan menerima
sebanyak-banyaknya.[1]
Kami sadar kendati pura-pura
tak menyadari. Seperti anak Dewi Gandari yang terburai menjadi seonggok daging
sebelum menjadi bayi-bayi kecil nan mungil, seperti itulah pula nasib kami.
Barangkali juga kami pernah ditendang seperti Dewi Gandari menendang segumpal
daging yang keluar dari rahimnya. Lantas kami ditutup oleh selembar daun di
bawah gerimis. Dia, perempuan itu, menunggu kami menangis di bawah daun itu
kemudian lari sekencang-kencangnya. Ya, kami bernasib sama: sama-sama lahir dan
terbuang.[2]
“Waktu ditemukan, kamu
tertutup panci, wuekkk”
“Ketimbang kamu
ditemukan nyangkut di gorong-gorong, hampir disosor bebek.”
“Alaaaah,
tak usah turut campur. Dirimu hampir sudah dimakan anjing.”
“Coba dirimu, tiga hari
disusu kucing. Hahahaha...”
Itu bukan sebuah
olokan, hanya semacam nonstalgia masa lalu. Kami tak pernah marah hanya karena
cacian atau olokan semacam itu, karena kami sadar, betapapun sadar, dan
sesadar-sadarnya.
“Sudah, sudah! Kalian
anak-anak Ibu yang terbaik,” sela ibu. Kami berebut memeluknya.
“Ibu, tuturkan cerita
indah padaku. Suatu saat, semoga aku bisa menulisnya dan menerbitkannya dalam
bentuk novel,” pinta Taris, temanku yang paling cerewet. Ibu tak mau, tapi
Taris tetap merajut.
Ibu bercerita bercerita
tentang masa kecil Taris. Kami tertawa, kecuali Taris. Ketika giliran ceritaku,
mereka tertawa, kecuali aku. Baru ketika ceritanya selesai, kami sama-sama tertawa.
Adakalanya kita harus menertawakan nasib sebelum nasib menertawakan kita.
***
Malam terus merambat. Gerimis
turun tak teratur. Terkadang tampak akan reda, tetapi lantas deras sekali,
seperti nasib yang tidak jelas. Taris mengeluh. Ia memintal perutnya.
“Lapar?”
“Iya.”
“Masak mie instan.”
“Malas.”
“Tunggu di situ. Aku
mau membangunkan ibu.”
“Jangan. Kasihan.”
“Tapi kamu lapar.”
“Sudah. Tak usah.”
“Kenapa?”
Taris mendekatkan
bibirnya. Berbisik jika di luar sana ada sebuah warung yang menjual nasi goreng
super enak. Ia menyebutnya nasi goreng sehabis hujan. Awalnya sepele. Saat
malam hari hujan turun, Taris pertamakali mengenal hidangan ini. Tentu tanpa
sepengetahuan kami, terutama ibu. Nasi goreng yang dimasak dengan minyak kelapa,
dipadu dengan sambal mentah yang juga dibuat agak inovatif: rajangan bawang
merah, cabe rawit, sereh, kecombrang dan tomat, disiram dengan minyak kelapa yg
dipanaskan bersama sedikit terasi, lalu dikucuri jeruk nipis. [3]
“Kamu harus mencoba,”
godanya. Perempuan bermata ilalang itu memang sangat menggandrungi nasi goreng.
Sayang, warung itu hanya buka malam hari. Sementara kami tidak diperbolehkan
keluar malam.
***
Malam benar-benar
menusuk tulang. Taris selalu memilh jalan sepi. Jalanan dengan bias cahaya yang
remang, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam peta kota. Apalagi kalau
bukan karena alasan tak ingin ketahuan karena melanggar aturan. Jalanan becek
dan aroma comberan yang meluap mengaduk-aduk isi perut. Aku tak yakin nanti
bisa makan dengan lahap.
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi.”
Kami menyisir sisi
tembok perumahan agar gerimis tidak menyentuh tubuh kami. Salak anjing serta
suara-suara aneh dari tumpukan sampah menggegaskan langkah. Di tempat yang
remang, di manapun asal remang, sejoli tertangkap basah mengecup bibir
kekasihnya yang lebih basah dari gerimis. Gelandangan mendengkur dengan keras. Menutup
wajahnya dengan koran bekas.
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi.”
Kami tiba di sebuah
gang apartemen yang sama bentuknya. Dua apaertemen itu terkenal dengan sebutan apartemen
kembar. Kendati cukup sempit gang itu, pencahayaannya cukup memadai. Sepanjang
perjalanan, aku melihat sejoli berpeluk mesra melewati “pintu” belakang. Aku
tercenung sementara. Lamat-lamat terdengar sebuah alunan musik yang menghentak.
Inikah wajah kotaku?
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi.”
Di sebuah pintu yang
lain, seorang perempuan tengah merokok. Pakaiannya tak seberapa untuk mengusir
dingin karena memang hanya sebagian tubuh yang tertutupi. Barangkali karena
alasan dingin perempuan itu merokok. Ia menatap sinis. Tatapan tak bahagia. Saat
punggungku cukup jauh meninggalkannya, derak pintu terbuka. Aku menoleh. Seorang
perempuan terjungkal oleh dorongan dua lelaki kekar. Perempuan yang merokok tadi
tak mempedulukan isak tangis perempuan di depannya. Ia mematikan rokoknya dengan
santai dan masuk menyambut dua lelaki bertubuh kekar. Sebentar, ia meludahi
perempuan itu dan membuang puntung rokok ke mukanya!
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi.”
Ada perasaan lega
keluar dari gang itu. Langkah kami menjejaki trotoar. Segerombolan anak muda
berpesta dalam permainan kartu. Kulit kacang bertebaran. Ada yang memetik
gitar. Ada yang berpeluk mesra. Ada yang bersentuhan bibir. Ada yang menenggak
minuman dengan sorot mata merem-melek dan mulut mengecap-cecap. Taris
mempercepat langkah setelah mata mereka menuding kami, lantas terbahak-bahak.
“Masih jauh?”
“Sebentar lagi.”
“Aku mau kembali.”
“Sebentar lagi. Tuh, sudah kelihatan.”
Kelihahatan memang.
Sinarnya seperti kunang-kunang. Semak-semak diantara reruntuhan gedung tua
masih harus kami lewati sebelum sampai pada tujuan. Sepanjang jalan berderet
warung soto, nasi goreng, bakmi, bakmi, dan kopi. Kecuali nasi goreng dan kopi,
semua tutup. Makin ke ujung, deretan itu makin remang-remang, dan yang paling
ujung adalah tempat cinta yang hitam.
Taris memesan dua
bungkus nasi goreng. Ruangan di dalam ternyata cukup lebar untuk ukuran sebuah
warung. Banyak orang di dalamnya dan aku tak bisa menyapu salah satu wajah
mereka karena cahaya dari luar lebih terang sehingga yang tampak hanya bayangan
yang berkelebat.
“Aku sudah sering ke
sini,” tukas Taris.
Kami bersigegas pulang.
Langkah Taris dua kali lebih cepat. Ia ingin segera sampai dan menyantap
sebungkus nasi di dalam kantong plastik. Sebuah mobil Porche parkir di depan
gedung tua. Sekejap lampu sein menyala dan mobil itu hilang di balik gelap.
Deru mobil turun perlahan. Lantas senyap. Tiba-tiba diantara reruntuhan gedung
tua terdengar tangis bayi.
“Kau dengar itu?”
“Disitu memang banyak
dedemit.”
“Tidak. Suara itu
tangisan bayi.”
“Dedemit! Kau mau
membawanya?” Sungguh, bulu kudukku jadi merinding.
Belum sempat aku
mengelak, langkah Taris semakin menjauh, meninggalkanku yang tiba-tiba membatu
oleh tangis itu. Aku yakin itu tangis bayi. Ah,
sudahlah. Bukan urusanku. Tapi bagaimana jika suara itu benar-benar tangis
bayi? Bayi yang baru lahir ibarat kapas putih. Diinginkan atau tidak dinginkan,
dari hubungan sah ataupun hina, bayi itu tetap seperti kapas putih. Bukankah
kau juga ditemukan terlantar dan menangis seperti itu? Ada suara berisik di
kepalaku.
Taris sudah masuk di
gang gelap itu. Aku benar-benar tidak bisa bergerak. Tangis itu seolah-olah
menginginkanku untuk menyambanginya. Kususuri semak-semak reruntuhan gedung tua
itu. Berbekal suara berisik di kepala, bukan berbekal berani. Astaga! Benar!
Suara itu. Bayi!
***
Satu anak menjadi
bagian dari keluarga. Kami bahagia, kecuali Taris. Ia marah telah membawa bayi
itu pada ibu, yang membuat ibu tahu bahwa diantara kami ada yang melanggar
aturan, dan akan membuat ibu bersikap awas. Aku tak mengatakan apa-apa soal
Taris. Tapi gadis yang memiliki tahi lalat di pipi kirinya itu tetap tak bisa
terima.
Taris gadis yang tak
bisa dimengerti. Selera makannya sangat buruk, kecuali pada beberapa menu yang
ia sukai, makannya lahap sekali. Ia kerap keluar malam karena lapar oleh sebab
kebiasaan buruknya itu. Pada suatu malam, ia tak kembali lagi. Ibu panik lapor polisi
dan meminta bantuan pada komisi perlindungan anak. Aku tahu Taris ke mana, tapi
aku tak bisa mengatakan pada ibu, karena sekarang aku juga tak tahu ia dimana.
Ibu jadi pemenung. Mengutuk
diri sendiri. Gadis yang sangat menyukai nasi goreng itu adalah anak negara yang
sangat disayanginya. Ia paling dekat dengan ibu karena kemampuannnya memecahkan
teka-teki silang. Ya, di waktu luang, ibu kerap mengisi teka-teki silang,
sementara Taris selalu membantunya bila mengalami kesulitan.
Bulan membentuk sabit, berbentuk irisan semangka,
membulat kuning telur, lalu hilang diganti serpihan bintang. Beberapa lembar
daun melayang tertiup angin. Membubung tak jelas kapan dan di mana jatuhnya. Ibu
banyak menghabiskan berita di depan layar televisi. Barangkali berharap
tiba-tiba Taris melambaikan tangan. Tanpa Taris, senyum
ibu tak pernah terkembang, kecuali saat menyimak berita eksekusi para gembong narkoba.
Ia senang sekali bandit-bandit akan mati dengan kepala berlubang. Ibu tampak
sangat membencinya.
Pada sebuah purnama yang kesekian, aku melihat
seorang gadis tengah menenteng kantong plastik berisi makanan. Matanya sayu dan
kelabu. Bibirnya bersenyum rindu. Perutnya membuncit seperti purnama di atas
reruntuhan gedung tua yang tampak seperti senja.[]
Jember,
16 Februari 2015
[1] Dikutip
dalam film Laskar Pelangi [37.07]
[2] Selama
2014 terjadi 135 kasus pembuangan bayi secara sengaja [data Komnas PA]
[3] Nama dan
narasi dicomot dari status penulis Puthut Ea [17 Februari 2015]
0 comments:
Post a Comment