Friday, July 10, 2015

Lelaki Ketujuh

Percayakah kawan, setiap malam setelah menikah, dengan siapa pun, suami saya berubah binatang. Kadang serigala, harimau, singa, kadang pula anjing, babi, atau bermacam rupa binatang lainnya. Perupaan itu tak pernah berakhir kecuali saya resmi bercerai dengannya.
Engkau tak harus percaya pada cerita ini. Pada usia yang baru menginjak dua puluh lima tahun, saya sudah menikah enam kali, dengan laki-laki berbeda. Seperti pernikahan sebelumnya, tak pernah berumur lebih dari sebulan. Pernikahan saya yang keenam hanya sepuluh hari. Umpatan betapa saya perempuan yang gemar gonta-ganti suami menjadi buah bibir siap petik kapan saja.
Air mata tentu menitik. Saya tersiksa—namun di suatu sudut lain saya memang merasa pantas menerima—dengan pernikahan yang tak pernah berujung sakinah-mawadah-rahmah. Siapa yang ingin seperti ini? Bermimpipun tidak.
Saya pasrah pada takdir. Saya bukan tipikal orang yang suka memandang dunia dengan segala kerumitan-kerumitan. Sejatinya hidup ini tidak ada kata sakit apalagi tersakiti. Yah, persoalannya sederhana; perasaaan kita sendirilah yang kerap menyiksa sendiri. Hanya saja persoalan sederhana kadang tidak bisa dipikirkan secara sederhana pula.
Saya memang sudah menikah enam kali dengan lelaki berbeda. Namun bunga kesuburan saya tetap ranum, mekar tak tersentuh. Tak ada satu pun diantara keenam kelaki itu yang berhasil memetiknya. Ketika matahari sempurna merebahkan diri di pangkuan cakrawala, suami saya mengajak tidur, sesosok binatang menggeliat penuh berahi. Perempuan mana yang tak ketakutan bila tiba-tiba suaminya berubah demikian. Semua kembali normal ketika cahaya fajar berpintal dan memanjang di ufuk timur.
Kerap secara tiba-tiba kekasih pertama yang saya tinggalkan—sebelum pernikahan pertama—bertandang di pikiran. Banyak alasan yang membuat saya memilih lelaki lain daripada menikah dengannya—namun rasanya kurang bijak bila saya harus memaparkan alasan itu. “Kau tak akan pernah bahagia kecuali menikah denganku,” tukasnya sebelum pergi dengan luka yang menganga dan sorot mata serupa duri siwalan. Seperti ditarik, perasaan selalu menarik saya ke sana. Bertekuk lutut tak apa asal dapat menemukan kebahagiaan, meski sekarang saya tidak tahu dimana keberadaannya.
Entah dengan pernikahan yang ke tujuh ini. Lelaki yang menjadi pilihan ibu. Kata ibu, ia sempurna. Wajahnya teduh dengan mata yang serupa pendar langit. Tunggu. Bukankah keenam lelaki sebelumnya juga berwajah sama; teduh dengan mata serupa tatapan malaikat? Perempuan mana yang tak tergoda dengan tatapan seperti itu. Dan, semua berubah menakutkan.
Ah, sudahlah. Apapun yang terjadi, saya yakin pilihan ibu sebaik-baik pilihan. Sudah seharusnya saya memberikan kesempatan kepada perempuan bermata ilalang itu setelah berkali-kali saya tolak pilihannya.
Dik, mari salat. Sebentar lagi Ashar,tukas lelaki ketujuh itu. Aku beranjak mengikuti langkahnya ke perigi. Ia berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahan saya dengan lelaki pertama, baru lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya sebagai manusia beragama.
Selesai salat, selayak seorang istri, saya mencium tangannya.
“Berdoalah. Pinta apa yang Dik Taris inginkan.
Kata-katanya bagai aliran telaga yang sangat menyejukkan. Saya mengangguk. Ia menengadahkan tangan dengan khusyik. Saya mengikuti. Lamat-lamat, terlantun doa dari bibirnya yang lembut.
Amin.
***
Dik, bangun. Waktunya salat tahajjud,ia mengguncang-guncang pundak saya. Saya menggeliat pelan.
Dik, sudah waktunya Salat Tahajjud,” Ujarnya lagi. Saya membuka mata. Pelan. Ya, Tuhan! Seekor serigala dengan seringai menyeramkan siap menerkam. Saya memejamkan mata. Menutup diri dengan selimut.
“Pergi! Jangan mendekat…” Saya menggerang di pojok kamar. Wajahnya menjelma bunglon. Bersisik tajam dengan kelopak mata semerah saga.
Dik, apa yang terjadi? Ada apa denganmu?” Suara itu lembut namun tampak ditekan.
“Pergi!!!”
Ini hanya halusinasi. Saya harus melawannya.
“Salatlah duluan. Taris menyusul,” akhirnya.
Terdengar langkah menjauhi kamar. Lalu bunyi pintu. Derek engsel. Hening. Saya membuka mata. Menatap langit-langit kamar. Lagi dan kesekian kali, saya mengusir suami yang seharusnya saya manja dengap pelukan. Bagaimana saya bisa merebahkan kepala di dadanya agar saya menemukan ketenangan? Sementara acapkali matahari terbenam perupaan binatang tak ada hentinya.
Pagi masih belum sempurna ketika ia menggenggam tangan saya dan mengajak jalan-jalan mengitari perkampungan. Menikmati denyar pagi dan melihat lambaian daun siwalan yang menghijau.Satu hal yang sangat indah di pagi itu adalah wajahnya tak berubah keruh setelah semalam saya usir dengan sadis.
“Apa yang terjadi semalam?”
Saya duduk di pondok bambu di sebuah pematang sawah menghadap matahari yang perlahan terbit. Saya menghela napas dan menghembuskan pelan. Semoga semua bisa terjawab pagi ini.
Setiap malam halusinasi itu pasti datang. Perubahan wajah pada semua orang yang menjadi suami Taris. Taris tidak tahu apa penyebabnya. Semuanya kembali normal ketika adzan Subuh berkumandang. Saya melihatmu menjadi seekor bunglon dan serigala. Kejadian seperti ini sudah berlangsung lama, sejak pernikahan pertama. Rasanya Taris lelah sekali.”
Saya bisa mengerti. Mari bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit itu. Dik Taris tidak keberatan kan jika saya sebut penyakit?”
“Tidak. Taris memang selalu menganggap ketidakwajaran adalah penyakit. Ibu juga selalu bilang bahwa apa yang Taris rasakan adalah penyakit.”
“Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan berdoa. Matahari sudah tinggi, kita pulang sekarang,” katanya seraya membantuku berdiri.
Sudah dua bulan lima hari kami menikah. Selama itu saya tidak pernah tidur dengan suami saya. Setiap matahari kembali ke peraduan, ia selalu menjauh. Saya sampai bertanya, tidakkan bosan dengan keadaan seperti ini? Bukankah pernikahan itu hanya sebagai alat pemuas nafsu?
“Itu anggapan yang salah. Keinginan biologis tentu pasti ada. Tetapi tujuan menikah semata karena untuk menyempurnakan agama. Tahukah Dik Taris bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu berbeda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan datang dari hati. Kesenanganlah yang membua kita tidak pernah puas,” tukasnya.
“Lau apa gunanya jika seorang istri tidak bisa memanjakan suami?”
“Soal Dik Taris tidak bisa melaksanakan kewajiban layaknya seorang istri, saya ikhlas. Barangkali ini adalah cobaan bagi saya, bagi keluarga kita.
Saya tatap-lekat wajahnya yang bening. Mata yang tak jauh berbeda dengan pendar langit pagi. Mata itu seolah memberi energi kesabaran.
Air mata tak bisa saya sembunyikan.
***
Ia berdiri di ambang pintu. Krek. Krek. Tangannya membandul daun pintu berulang ke depan-belakang. Sesekali memainkan gerendel. Tampaknya ada sesuatu yang dicari. Entah apa. Bubungan tak lepas dari perhatiannya.
Ia mundur dua langkah. Pandangannya ke depan tak terbatas. Diam cukup lama, lalu kembali lagi posisi semula, dan maju dua langkah hingga kedua kakinya menyentuh tanah. Ia menatap langit.
“Aneh,” desisnya setelah melintasi pintu berulang kali.
“Ada apa?” saya coba memberanikan diri.
“Tidak apa-apa. Sudah salat?”
“Ya.”
Air mukanya tampak keruh. Saya diam tidak tahu harus berkata apa. Tanpa memberitahu, saya yakin ada sesuatu yang disembunyikan dalam pikirannya.
“Coba ke sini.”
Saya mendekat.
“Pandangilah langit itu.”
Saya manut.
“Sekarang lewati pintu itu dan pandangi lagi langit yang tadi pandang.”
Saya melewati daun pintu dan memandang langit pada titik yang sama.
“Apa Dik Taris merasakan sesuatu yang janggal?”
Saya terhenyak. Benar. Langit tampak berbeda. Lebih hitam dan gelap. Saya mendekat ke sisinya dan kembali memandang langit pada titik yang sama. Langit tampak lebih cerah. Lebih berenergi.
“Kenapa bisa berbeda?”
“Entahlah. Saya juga tidak tahu. Nanti saya coba tanyakan pada Kiai Zainur,” tukasnya. Kiai Zainur adalah pengasuh pesantren di mana di mana suami saya menimba ilmu agama.
***
Mega belum sepenuhnya hilang saat Kiai Zainur mengetuk daun pintu. Saya sudah mengunci pintu kamar sebelum gelap menancapkan cakarnya. Saya mencuri pandang dari celah-celah pintu. Keduanya, guru dan murid itu, terlibat sebuah percakapan serius.
Adzan Maghrib berkumandang. Suami saya mengetuk pintu kamar, mengajak salat berjamaah. Saya jadi cemas. Membayangkan rupa bagaimanakah yang akan saya temui. Pelan daun pintu saya buka dan saya menutup mata serapat-rapatnya.
“Buang rasa takut itu. Dia suamimu,” tukas Kiai Zainur.
Saya masih belum berani menyingkirkan kedua telapak tangan dari muka saya, hingga sepasang telapak tangan memberikan kekuatan keyakinan dan keberanian betapa yang hadir di hadapan saya adalah sebenarnya suami. Senyum dan pandangannya adalah sebenarnya imam dalam hidup.  Perlahan sepasang tangan itu menyibak tangan saya. ketakutan seketika menghilang oleh senyum yang mengembang dari sudut bibirnya.
Kiai Zainur duduk khidmat di atas hamparan sajadah. Ia minta segelas ait putih. Tasbihnya berputar-putar. Dengan sebuah isyarat ia meminta kami mengikuti apa yang diucapkannya. Selesai berdoa dan meniup air putih, Kiai Zainur melangkah ke beranda. Langkahnya pelan, tegak, dan berwibawa. Pintu terbuka. Segelas air putih itu disiramkan pada undakan tanah di depan pintu. Pada tanah basah itu, ia menyuruh suami saya menggalinya dengan tangan. Selang beberapa menit, ada yang tampak di permukaan. Sehelai kain usang. Panjangnya kira-kira dua jengkal. Suami saya segera menyerahkannya.
“Sehelai kain kafan,” tukas Kiai Zainur.
Kami bersipaku. Diam dalam bahasa masing-masing, mempertanyakan kain itu mengapa bisa terpendam di depan pintu rumah. Sesungging senyum dari masa lalu tiba-tiba hadir dalam pikiran. Tetapi saya tak berniat untuk menceritakannya.
“Ada orang yang menginginkanmu,” tukas Kiai Zainur.
Mimpi saya seakan terjawab sudah.
***
Bulan menggantung di pelepah siwalan. Dua buah bohlam dikerubung serangga-serangga malam. Gigil, tentu saja. Paras bulan sempurna rebah di wajahnya yang teduh. Matanya serupa langit berbintang. Parasnya tak lagi buas dan menyeramkan. Kami menghabiskan separuh malam dengan dzikir. Tentu, setelah kami tunaikan ‘kebahagiaan’ yang sempurna.[]
Jember, 5 April 2015

0 comments: