Pada mulanya saya tak menyangka di Kabupaten Jember juga ada
pertunjukan Karapan Sapi. Saya baru tahu ketika seorang teman mengajak saya
menyaksikan pertunjukan tersebut. maka, tanpa berpikir dua kali, saya pun
langsung meng-iya-kan.
Soal karapan sapi sendiri, bagi saya, sungguh tidak asing.
Tujuh tahun tinggal dan menimba ilmu di Madura, yang kerap disebut Pulau Garam,
membuat saya sudah familiar dengan karapan sapi, disamping kebudayaan lainnya.
Saya penasaran seperti apa pertunjukan karapan sapi versi
masyarakat Jember. Apakah sama dengan pertunjukan karapan sapi di Madura yang
menjadi cikal-bakal lahirnya kebudayaan tersebut? Bagaimana penampilan sang
gaco: baju loreng putih-merah berkombinasi paras kumis tebal? Seperti apa rupa
dandanan sapi karapannya? Seluruh pertanyaan tersebut menggantung di sepanjang
perjalanan menuju lokasi.
Dusun Ajung Babi, Desa Gunung Malang adalah lokasi dimana
dilaksanakan pertunjukan itu. Sebuah dusun atau desa yang bisa dikatakan
sebagai salah satu wilayah paling timur Kabupaten Jember. Dari lokasi tersebut
eksotisme Gunung Raung, salah satu bagian dari pegunungan Ijen, bagian dari
perbatasan Kabupaten Jember dengan Kabupaten Banyuwangi, sangat kental di
pelupuk mata. Warna hijau pegunungan serta birunya angkasa membanggakan diri
saya betapa tempat tinggal saya sungguh indah.
Rabu (29/10/2014), Pukul 12.30 WIB, sebuah motor Supra X 125
melintas di jalan beraspal. Memasuki Desa Gunung Malang, saya dan teman mulai
merasakan adanya tantangan dalam perjalanan ini: aspal berlubang, kerikil
lepas, bebatuan, hingga tanjakan yang cukup memacu adrenalin. Sepanjang
perjalanan, hidung saya disuguhi kepul debu hiasan kemarau.
Saat hampir sampai di lokasi, iring-iringan motor dari arah
berlawanan membuat perjalan menjadi resah. Betapa tidak, bayang-bayang
pertunjukan sudah selesai menghantui pikiran. Namun, kami terus tancap gas, tak
mempedulikan motor berlawanan arah yang menimbulkan kabut debu semakin menebal.
Benar! Sampai di lokasi, acara baru usai. Perjalanan ini
rasanya sia-sia. Teman saya mengumpat temannya yang memberikan informasi yang
tidak akurat. Ya, kami berkiblat pada informasi seorang teman yang mengatakan
bahwa pertunjukan tersebut akan dimulai pada pukul 13.00 WIB. Ternyata, acara
sudah disambut pukul 11.30 WIB. Terpaksa kami hanya singgah sebentar di rumah
teman di sana. Warist namanya.
Menurutnya, pertunjukan karapan sapi dimulai bakda Duhur,
sekitar pukul 12.00 WIB. Namun, karena ada beberapa kesalahan teknis dari
panitia, terpaksa pertunjukan tersebut diusaikan lebih cepat. Saya tak bisa
menjabarkan kesalahan teknis itu. Bagi saya pribadi, terlalu rumit untuk
dibahasakan dalam tulisan ini, disamping pengetahuan saya yang dangkal tentang
istilah-istilah dalam karapan sapi versi masyarakat Jember.
“Seandainya tak ada kendala, pertunjukan biasanya baru
berakhir bakda Asyar,” tukas Warits. Mendengar penjelasannya, emosi teman saya
cukup mereda.
Saya mencoba mengeruk informasi tentang karapan sapi versi
masyarakat Ajung Babi. Dan saya juga bertanya soal banyaknya hidangan yang
mereka sajikan kepada kami. Sambil menikmati hidangan tapai-etem, goreng
pisang, dan molen, Warist berbagi kisah kepada kami soal tradisi karapan sapi.
Perayaan Karapan Sapi dusun Ajung Babi hanya terjadi setahun
sekali, yakni setiap bulan Syuro. Pertunjulan Karapan Sapi tersebut tidak untuk
dilombakan atau dikompetisikan, melainkan hanya sebuah ritual semacam rokat
desa yang harus ada setiap tahunnya.
Masyarakat Gunung Malang, Khususnya Ajung Babi, meyakini
bahwa ritual tersebut dapat menyelamatkan masyarakat dari bala’ atau musibah yang dapat
ditimbulkan oleh alam, khususnya gagal panen.
Soal hidangan yang bertumpuk di meja tamu, merupakan cara
mereka untuk memberikan jamuan kepada para tamu yang hadir di tempat acara.
Ketika acara usai beberapa kepala keluarga langsung mengajak penonton untuk
menikmati hidangan tersebut. Bisa dikatakan tuan rumah sampai setengah memaksa
mempersilakan penonton duduk sejenak.
Tidak hanya itu, kehadiran kerabat jauh juga semakin
mengukuhkan betapa tradisi tersebut sangat istimewa bagi masyarakat di sana.
Warits sampai mengatakan bahwa rokat desa tersebut lebih meriah daripada
perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Selepas menikmati hidangan dan bertukar banyak hal, saya
pulang dengan wajah penuh sesal. Betapa tidak, saya harus menunggu setahun lagi
menyaksikan pertunjukan itu.
30 Oktober 2014
0 comments:
Post a Comment