Tuesday, November 11, 2014

Karapan Sapi: Ritual Menjauhkan Diri dari Musibah

Pada mulanya saya tak menyangka di Kabupaten Jember juga ada pertunjukan Karapan Sapi. Saya baru tahu ketika seorang teman mengajak saya menyaksikan pertunjukan tersebut. maka, tanpa berpikir dua kali, saya pun langsung meng-iya-kan.

Soal karapan sapi sendiri, bagi saya, sungguh tidak asing. Tujuh tahun tinggal dan menimba ilmu di Madura, yang kerap disebut Pulau Garam, membuat saya sudah familiar dengan karapan sapi, disamping kebudayaan lainnya.

Saya penasaran seperti apa pertunjukan karapan sapi versi masyarakat Jember. Apakah sama dengan pertunjukan karapan sapi di Madura yang menjadi cikal-bakal lahirnya kebudayaan tersebut? Bagaimana penampilan sang gaco: baju loreng putih-merah berkombinasi paras kumis tebal? Seperti apa rupa dandanan sapi karapannya? Seluruh pertanyaan tersebut menggantung di sepanjang perjalanan menuju lokasi.

Dusun Ajung Babi, Desa Gunung Malang adalah lokasi dimana dilaksanakan pertunjukan itu. Sebuah dusun atau desa yang bisa dikatakan sebagai salah satu wilayah paling timur Kabupaten Jember. Dari lokasi tersebut eksotisme Gunung Raung, salah satu bagian dari pegunungan Ijen, bagian dari perbatasan Kabupaten Jember dengan Kabupaten Banyuwangi, sangat kental di pelupuk mata. Warna hijau pegunungan serta birunya angkasa membanggakan diri saya betapa tempat tinggal saya sungguh indah.

Rabu (29/10/2014), Pukul 12.30 WIB, sebuah motor Supra X 125 melintas di jalan beraspal. Memasuki Desa Gunung Malang, saya dan teman mulai merasakan adanya tantangan dalam perjalanan ini: aspal berlubang, kerikil lepas, bebatuan, hingga tanjakan yang cukup memacu adrenalin. Sepanjang perjalanan, hidung saya disuguhi kepul debu hiasan kemarau.

Saat hampir sampai di lokasi, iring-iringan motor dari arah berlawanan membuat perjalan menjadi resah. Betapa tidak, bayang-bayang pertunjukan sudah selesai menghantui pikiran. Namun, kami terus tancap gas, tak mempedulikan motor berlawanan arah yang menimbulkan kabut debu semakin menebal.

Benar! Sampai di lokasi, acara baru usai. Perjalanan ini rasanya sia-sia. Teman saya mengumpat temannya yang memberikan informasi yang tidak akurat. Ya, kami berkiblat pada informasi seorang teman yang mengatakan bahwa pertunjukan tersebut akan dimulai pada pukul 13.00 WIB. Ternyata, acara sudah disambut pukul 11.30 WIB. Terpaksa kami hanya singgah sebentar di rumah teman di sana. Warist namanya.

Menurutnya, pertunjukan karapan sapi dimulai bakda Duhur, sekitar pukul 12.00 WIB. Namun, karena ada beberapa kesalahan teknis dari panitia, terpaksa pertunjukan tersebut diusaikan lebih cepat. Saya tak bisa menjabarkan kesalahan teknis itu. Bagi saya pribadi, terlalu rumit untuk dibahasakan dalam tulisan ini, disamping pengetahuan saya yang dangkal tentang istilah-istilah dalam karapan sapi versi masyarakat Jember.

“Seandainya tak ada kendala, pertunjukan biasanya baru berakhir bakda Asyar,” tukas Warits. Mendengar penjelasannya, emosi teman saya cukup mereda.

Saya mencoba mengeruk informasi tentang karapan sapi versi masyarakat Ajung Babi. Dan saya juga bertanya soal banyaknya hidangan yang mereka sajikan kepada kami. Sambil menikmati hidangan tapai-etem, goreng pisang, dan molen, Warist berbagi kisah kepada kami soal tradisi karapan sapi.

Perayaan Karapan Sapi dusun Ajung Babi hanya terjadi setahun sekali, yakni setiap bulan Syuro. Pertunjulan Karapan Sapi tersebut tidak untuk dilombakan atau dikompetisikan, melainkan hanya sebuah ritual semacam rokat desa yang harus ada setiap tahunnya.

Masyarakat Gunung Malang, Khususnya Ajung Babi, meyakini bahwa ritual tersebut dapat menyelamatkan masyarakat dari bala’  atau musibah yang dapat ditimbulkan oleh alam, khususnya gagal panen.

Soal hidangan yang bertumpuk di meja tamu, merupakan cara mereka untuk memberikan jamuan kepada para tamu yang hadir di tempat acara. Ketika acara usai beberapa kepala keluarga langsung mengajak penonton untuk menikmati hidangan tersebut. Bisa dikatakan tuan rumah sampai setengah memaksa mempersilakan penonton duduk sejenak.

Tidak hanya itu, kehadiran kerabat jauh juga semakin mengukuhkan betapa tradisi tersebut sangat istimewa bagi masyarakat di sana. Warits sampai mengatakan bahwa rokat desa tersebut lebih meriah daripada perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.

Selepas menikmati hidangan dan bertukar banyak hal, saya pulang dengan wajah penuh sesal. Betapa tidak, saya harus menunggu setahun lagi menyaksikan pertunjukan itu.

30 Oktober 2014

0 comments: