(Dimuat di Majalah Horison, Agustus 2014)
Aku tak perlu
menunggu mati hanya sekedar merasa mati. Ceramah atau nasehat sebelum mati
sebagai bekal menembus alam lain, yang katanya penuh fantasi, menjadi semacam
angin musiman yang merontokkan dedaunan tua. Cerita panasnya lautan neraka berikut
indahnya taman surga menjadi hal yang sungguh-sungguh aneh—bila tidak ingin
dikatakan lelucon.
Suatu pagi. Di
beranda. Kulitku tersentuh ujung arang cerutu yang dikepit tangan kakek. Kicau
burung kakek yang ditarik ke langit-langit dengan ketinggian derajat tertentu telah
melupakan satu hal dalam pikirannya jika aku tengah di dekatnya, mengajak mendengarkan
kicauan burung yang diberi nama Si Murai Jalul. Kedengarannya cukup aneh,
bukan? Jalul adalah simbol sayang kakek kepada burung jenis murai itu.
Si Murai Jalul
hanya satu dari sekian burung piaraan Kakek. Di belakang rumah, burung Kacer
beradu sahut dengan burung Cucak Jenggot. Jalak Suren juga masih belum
dimandikannya. Ya, kakek pernah mengatakan ingin menghabiskan masa tua dengan pekerjaan
yang amat disenanginya. Aku baru tahu kalau pekerjaan yang amat kakek senangi
adalah memelihara burung setelah kakek mengaku bahwa dirinya sudah tua. Kakek
kerap mengatakan ingin terbang, bebas, tanpa beban, tanpa tujuan.
Kulitku
terkelupas. Merah. Tidak panas. Tidak sakit.
“Aduh, kasihan
cucuku. Maaf, ya,” Air mukanya menggantung sesal. Matanya belingsatan ke segala
sudut rumah. Cerutu itu segera di buang ke seberang pagar. Tangannya segera
mengelus-elus tepian lukaku. Matanya celingakan. Semoga tak ada yang tahu,
tebakku pada mata itu. Ah, kakek.
“Kakek…!” Alang
bukan kepalang, Ibu muncul dari balik tanaman bonsai. Teriakannya seratus
persen akan mengagetkan seisi rumah, seperti gempa baru bertamu. Ayah yang cuek
karena pekerjaannya dan si pembantu yang paling malas mendengarkan ocehan akan menghampiri
teriakan itu.
“Sudah
kukatakan jangan dekat-dekat dengan Ari,” sergahnya. Ari, namaku. “Kakek itu
ceroboh!”
Ayah yang sudah
seperti orang hendak balas dendam juga segera mengumpat. Kepada Ibu, bukan
kakek. “Ada apa ribut-ribut?” atau “Tidak bisakah diam sebentar. Aku
terganggu.” Hem, entah, kendati aku terlahir dari daging kedua orang itu, aku
tak memiliki banyak pembendaharaan kata sebagai tera bagaimana keduanya dapat menjalani
hidup bersama sampai sekarang.
Tak terima
dengan bentakan Ayah, Ibu turut melancarkan serangan. Endingnya mudah ditebak:
Ibu membelaku ketimbang membela Ayah mertuanya, sedangkan Ayah memilih membela
kakek ketimbang membelaku. Memang, aku tak sebegitu berharga. Di mata siapapun
orang hidup lebih berharga ketimbang orang mati.
Air muka kakek
berubah keruh. Bukan tersebab pertengkaran yang biasa terjadi kapan waktu itu.
Di langit-langit, si Murai Jalul berhenti berkicau. Sangat disayangkannya
mengingat hari masih segar, Jauh dari panas dan bising kendaraan.
Dulu, waktu
senggang merupakan waktu yang begitu surgawi, sebelum semuanya berjalan seperti
sepasang rel kereta api, tak ada titik temu. Sebagai wanita karir, Ibu disibukkan
dengan usaha butik. Kelas importir. Ayah juga disibukkan dengan pangkatnya sebagai
manajer perusahaan yang bergerak di bidang multifinancial, selain mengurus
kebun teh milik kakek yang sudah dipasrahkan kepadanya. Sampai sekarang
keduanya tak berubah; terus diburu pekerjaan.
Aku ingin
kembali menjadi anak kecil. Menghabiskan waktu sepenuhnya sekedar bermain. Aku
rindu pada pada sebuah album keluarga yang secara bergantian, Ayah dan Ibu menerakan
sebuah gambar, membuka halaman per halaman untuk menanamkan kesimpulan
dibenakku betapa serasi nan romantis mereka berdua.
“Beruntunglah kamu
terlahir sebagai anaknya,” begitulah gambar-gambar itu berbicara sebelum mimpi
menghampiriku.
Sekarang, keberuntungan
itu sudah purna. Percuma merespon perang mulut itu. Aku juga tidak memiliki
alat untuk mengatakan kepada mereka betapa gambar-gambar itu berhasil membangun
keberuntungan dalam hidupku. Bicara hanya membuang waktu. Aku bahkan tak punya
pemikiran apa pun. Semuanya tak bermakna. Otakku sudah mati. Begitulah
kesimpulan surat dari Jules Cotard.
Aku berusia dua
puluh tiga tahun. Usia yang menurut seorang yang terlahir sebagai lelaki
merupakan usia emas. Usia merdeka. Usia bebas ekpresi. Usia bebas memilih. Usia
bebas memutuskan garis hidup antara remaja dan dewasa. Mohon arti remaja dan
dewasa ini jangan disandarkan pada usia, karena jawabannya hanya ada pada
psikolog. Apabila begitu, kita tidak punya pilihan menentukan sendiri
jawabannya. Intinya, bebas. Ya, bebas.
Aku tak
memiliki makna dari usia dua puluh tiga tahun itu. Jiwaku hanya bisa dipahami
oleh jiwaku sendiri karena orakku tak bisa merespon dan tubuhku tak bisa
mengejewantahkannya. Itu sulitnya. Aku hidup diantara dua dunia. Kehidupan yang
sangat sesak, pedih, dan pahit. Kupikir, hantu-hantu yang berkeliaraan di dunia
ini turut juga merasakan tiga rasa yang ingin ditinggalkanku itu. Hantu-hantu
bukan ingin meneror, melainkan ingin bertanya bagaimana cara keluar dari
kehidupan di dua dunia.
Dan akhirnya,
menghabiskan waktu di pemakaman merupakan tempat yang paling aku senangi. Aku
sepenuhnya percaya bahwa bagian dari tubuhku sudah tak eksis lagi. Seharusnya
di sanalah tempatku. Aku merasa sudah mati dan sudah selayaknya menemani mereka
yang terbaring rapi di bawah tanah sana. Tetapi, keluargaku terus
melarang—bahkan terus mengawasiku—pergi ke pemakaman. Kata mereka, aku masih
hidup.
Peristiwa aneh
ini kualami setelah bangun dari tidur. Benar-benar sulit dijelaskan, apalagi
diterima. Aku merasa otakku hilang! Tak bisa merespon rasa dan tak bisa membedakan
bau. Naluri berkehendak raib. Aku menjadi orang yang hidup tanpa nafsu. Aku tak
butuh makan, tak butuh minum, tak butuh udara, dan semua kebutuhan alamiah
manusia lainnya. Akibat peristiwa aneh ini, aku seperti sebuah bola karet yang
dibandulkan ke sana ke mari. Membawaku dari puskesmas, rumah sakit, dukun,
hingga psikiater.
Kata dokter,
apa yang kuderita adalah kelainan syaraf. Kerusakan pada salah satu respon otak
untuk menangkap sebuah rangsangan. Satu hal yang aku mujurkan, dokter itu tak
tahu kalau aku mengkonsumsi obat anti-depresi yang kuminum tanpa sepengetahuan orangtua.
Hem, dokter spesialis macam apa di depanku ini.
Kata dukun, aku
adalah manusia yang disinggahi makhluk halus kiriman orang. Makhlus halus itu sudah
bersarang lama, beranak pinak, dan sulit dibedakan mana jiwaku dan mana jiwa
makhluk itu. Jiwaku sudah menjadi rumah mereka. Sejatinya, makhlus halus itu
bisa dikeluarkan dari badanku, namun bisa saja jiwa ikut pula pergi. Owh, Ini
bukanlah solusi. Ini pembunuhan terencana!
Kata psikiater,
aku kekurangan perhatian. Hal mendasar yang menyebabkan seperti ini adalah
keterasingan yang berlarut-larut dalam keluarga. Psikiater cantik berwajah
lesung itu (kupikir ia juga memakai parfum bila saja hidungku bisa mengendus
bau) menyuruh orangtuaku menghabiskan waktunya bersamaku, setidaknya weekend.
Menyambungkan perasaan yang ia logikakan dengan kinerja sistem syaraf. Ia juga
menyarankan melakukan liburan keluarga, tidak tanggung-tanggung, ke luar negeri
sambil lalu menemui seorang ahli neurologi bernama Jules Cotard[1].
Perihal
perjalanan ke luar negeri bisa dikatakan hobinya Ayah. Tiga kali ia mencalonkan
diri sebagai anggota legislatif sekedar berkeinginan berpelesiran gratis ke luar
negeri. Tiga kali nyalon, tiga kali gagal. Setiapkali ada kesempatan pasti
mencalonkan diri. Menurut perhitungannya, orang yang nyalon dengan mengeluarkan
uang berapa pun tak ada kata rugi. Urusan modal, belakangan. Sampai aku
menerakan soal ini, hobinya tersebut gagal diwujudkan kecuali dengan uang
sendiri. Pantaslah bila Ayah yang paling ngotot melakukan perjalanan ke luar
negeri. Jules Cotard adalah jalan alasannya kendati kota Paris yang bersarang
di pikirannya.
Dua minggu
kemudian, kami berhasil menemui Cotard. Dua minggu selanjutnya, ia melayangkan
surat. Begini isi suratnya:
Sungguh, dia benar-benar
pasien yang luar biasa. Apa yang dia rasakan tentang dunia yang melahirkan pengalaman
tak lagi menggerakkannya. Ia merasa berada dalam kondisi antara hidup dan mati…
Kedatangan
surat itu seakan menjadi palu hakim, memvonisku sebagai orang yang hidup tetapi
mati. Aku benar-benar tak perlu merasa untuk makan, minum, berbicara, atau apa
pun. Cotard mengatakan bahwa segala kebutuhan alamiahku sebagai orang yang
masih hidup harus dijaga. Jadilah aku seperti tanaman. Harus dipupuk. Harus
disiram. Harus dijaga segala nutrisinya. Apabila terlambat sedikit, akan layu
tanpa mengeluarkan desis keluh.
Orangtuaku sekarang
memiliki hobi lain. Mereka kerap membatu. Agenda kerja harian menjadi kacau.
Nah, jadilah keluarga kami keluarga batu: eksis dengan pikiran masing-masing. Barangkali
mereka ingin memahami sejauh mana rasaku di atas rasa mereka. Barangkali pula
mereka ingin memahami makna surat dari Cotard pada bagian tulisan: ini
penyakit sindrome yang banyak diakibatkan oleh depresi dan efek pil
anti-depresi...
Mujur.
Kedatangan kakek melahirkan kembali kran ‘kemeriahan’ keluarga yang sempat
hilang. Ayah membawa kakek tinggal serumah setelah kedua adiknya sepakat
mengirimkan kakek ke Panti Jompo. Materi sudah mengalahkan cinta. Kesibukan
mengalahkan sayang. Sementara, Ayah masih ingin mengembalikan sesuap nasi yang
pernah disuapkan kepadanya tempo dulu.
Masalahnya, Ibu
kurang senang. Mengurusi seorang anak saja pekerjaan sudah kacau, apalagi
ditambah mengurusi manula. Alasan Ibu kupikir berlebihan. Kata pembantu, karena
kakek bau tanah. Kapan-kapan aku perlu mengajak Ibu mengunjungi tempat yang
sangat nyaman, tempat faforitku. Tempat yang seharusnya aku berada di situ. Ibu
harus sadar betapa manusia diciptakan dari tanah dan sepantasnya kembali ke
tanah. Pemakaman dapat menjawabnya. Semoga.
Engkau mungkin
berpikir, kenapa orang yang merasa otaknya sudah hilang atau orang yang sudah
merasa hidupnya sudah tak eksis lagi bisa menjelaskan apa yang dialami. Otakku
memang tak berfungsi merespon pertengkarang hebat keluargaku yang terjadi
hampir kapan waktu. Otakku juga tak berfungsi menyerap memaknai surat dari Cotard.
Otak hanyalah alat untuk menyampaikan respon perasaan dan rasa itu sendiri
tersimpan pada palung jiwa yang sangat dalam. Jauh melebihi fantasi. Bila otak
tak berfungsi, apakah perasaan tak bisa disampaikan?
Kesimpulannya
hanya ada pada satu titik, betapa jiwaku kini tidak pernah bisa diselami oleh
mereka yang tubuhnya bersarana sempurna, sebagaimana yang ditulis Cotard pada
akhir suratnya. []
Jember, 4 September 2013
[1] Jules
Cotard, dokter pertama yang menemukan dan mendeskripsikan kondisi neurologi
misterius yang diakibatkan oleh pil anti-depresi yang kemudian disebut Sindrome
Cotard, yaitu orang hidup tetapi merasa dirinya sudah mati.