(Dimuat di Tribun Jabar, 16 Maret 2014)
K.
17
Tatapan
perempuan itu beku seperti es. Perempuan bermata ilalang, teduh tapi sunyi. Aku
tak menemukan bias cahaya di seraut wajahnya yang oval. Ia tengah menyorongkan
wajahnya dengan bibir bergerak samar. Merapal sesuatu pada bunga-bunga yang
berjejer di beranda rumahnya.
Sedang
bernyayikah dia untuk bunga-bunga itu? Ah, barangkali ia hanya mencari
perhatian. Hem, perempuan memang selalu ingin mencari simpati.
L.
16
Apakah
ia orang baru? Sejak kapan berada di sini? Hem, Sepagi ini ia sudah rapi
benar. Sepertinya ia tipikal pekerja
keras. Tidak. Tidak. Ia hanya seorang pegawai negeri yang dituntut waktu untuk melayani
abdinya. Harus kuakui, ia memang mandiri. Di usia yang demikian muda sudah
mengenakan baju safari. Mengagumkan!
Berani-beraninya
ia melempar senyum. Huh, pasti hanya sekedar basa-basi. Masa bodoh. Apa
peduliku. Lelaki di mana pun selalu sama; para bedebah yang lalu lalang
sejenak hanya sekadar menarik simpati perempuan.
K.
17
Perilakunya
malah tambah aneh. Pertama kali kulihat ia bernyanyi, kemarin marah-marah, mengumpat
segala yang ada di depannya. Sekarang terdengar lentingan kaca pecah dan
teriakan memilukan. Semuanya dilakukan sendirian. Dua vas bunga di depan
pintunya pun dibanting. Bukankah setiap pagi dia selalu bernyanyi untuk
bunga-bunga itu? Perempuan gila?
Tidurku
benar-bebar terganggu. Suara tangisnya melengking di langit-langir kamar. Memilukan.
Aku paling tidak tega mendengar tangis perempuan. Lemahku ada pada air matanya.
Aku
beranjak ke beranda. Perempuan itu tengah duduk mendekap. Di beranda. Wajahnya seperti
kabut; kelam, suram dan pucat. Rambut acak-acakan karena dijambak sendiri.
L.
16
Ada
yang mengetuk pintu? Jam lima pagi. Siapa? Remang di luar jendela membuatku
malas. Ah, jangan-jangan itu Mas Fajri. Aku akan menuntut segala
janji-janjinya!
Ternyata,
lelaki itu. Kecewa, jelas.
“Maaf,
apakah anda memiliki nomor telepon tukang servis WC? Sepertinya WC di rumahku mampet.”
“Anda
siapa? Maaf tak sempat ganti baju,” selorohku. Matanya menelanjangi tubuhku
yang terbalut lingerie. Semoga tak menyangkaku yang bukan-bukan.
“Saya
Fandi, tetangga sebelah. Baru seminggu saya tinggal di kompleks ini. Rumah kita
sehadapan.” Tanpa disebut, aku sudah tahu kalau rumahnya sehadapan.
“Tunggu
sebentar.” Kutinggalkan sejenak lelaki itu. Ia memerhatikan segala macam benda di
rumahku. Halaman pun tak luput dari sorot matanya. “Ini nomor teleponnya. Kalau
tidak bisa, cobalah nomor yang satunya,” beriku.
“Terima
kasih.” Ia pergi mengibas-ngibaskan nomor telepon yang telah kuberikan.
K.
17
Perempuan
itu sungguh misterius. Cuma di bagian luar rumahnya saja yang menunjukkan
keindahan. Tata ruangnya tak ada kesan rapi. Lantai kotor berserakan. Asbak di
meja penuh dengan puntung rokok, terbalik menumpahkan isinya.
L.
16
Semakin
hari, Fandi terus memerhatikanku. Apakah ia menemukan sesuatu yang istimewa? Ah,
sudahlah. Tak berpikir macam-macam, batinku.
K.
17
Perempuan
itu ternyata tinggal sendirian. Benar, dia perokok. Kerapkali aku menemukannya
nge-fly, menikmati hisapan demi hisapan sebelum diempaskan ke udara.
Lalu, ia memandang lekat asap membubung yang baru lepas dari mulutnya. Aku
tidak suka perempuan perokok.
L.
16
Jangan
harap kau bisa melarikan diri dariku. Aku akan membuatmu bertekuk lutut di kaki
dan mengakui bahwa yang ada di rahimku adalah darahmu. Tak akan semudah itu kau
melupakan Risa, perempuan yang kini tak pernah kau beri kesempatan untuk
bermimpi pelangi. Kau harus memenuhi segala janjimu. Termasuk singgasana yang
kau janjikan. Apa kau bahagia dengan kekasihmu yang baru itu? Jangan harap.
K.
17
Aku
terkejut. Perempuan itu menungguku, duduk di depan pintu.
“Maaf,
boleh aku masuk?”
“Ya,
silahkan.”
Kejutku
jadi gugup. Seksi nian dia dengan balutan kaos u can see
dan celana
Jeans. Senyum mengembang manja. Lekuk tubuhnya memompa jantung
berdenyut lebih cepat. Namun sayang, pakaian mini itu hanya membuat lekuk
perutnya yang jelek kelihatan. Gilakah? Ah…
“Arsitektur
yang bagus,” gumamnya.
“Tidak
juga. Ruangan ini sama saja dengan ruang di rumahmu. Hanya penataannya saja
yang berbeda,” jelasku.
“Ya,
ya! Maksudku tata ruangnya. Tidak seperti rumahku. Kacau. Kapan-kapan maukah
kau memperbagus tata ruang rumahku?”
“Dengan
senang hati.”
Perempuan
itu mondar-mandir. Sorot matanya menggeledah seluruh isi ruangan yang hanya berukuran kurang
lebih enam kali lima meter itu. Sofa kecil, meja oval, televisi dua puluh
sembilan inci lengkap dengan sound system dan DVD tak lepas dari padangannya.
“Oh,
ya. Silahkan duduk. Mau munum apa?”
“Tidak
terima kasih. Namaku Marisa. Panggil saja aku Risa. Itu foto siapa?”
“Oh,
tunanganku. Sebentar lagi dia
akan menjadi istriku,” ungkapku bangga.
“O…Selamat!
Semoga menjadi pasangan yang serasi. Maaf, aku harus pulang.” Perempuan itu
berlalu sebelum aku mengucapkan terima kasih atas pujiannya.
Kesimpulan
untuknya hampir mencapai taraf kegilaan.
L.
16
Tidak!
Tidak! Seharusnya bukan Fandi. Tetapi kau. Ya, kau! Kau yang harus
bertanggungjawab.
K.
17
Perempuan
itu, maksudku Risa, datang lagi dengan seonggok wajah seperti mayat. Tak ada
cahaya sama sekali di parasnya. Teh yang kusodorkan langsung tandas diseruput tuntas
tak berbekas.
Senandung
elegi mengalun dari bibirnya yang kering dan pecah: hidup Risa terperosok oleh
lelaki hidung belang yang mengatakan telah berjanji akan menikahinya. Hampir empat
bulan ia menunggu lelaki bernama Fajri. Bukan ia yang memerlukan lelaki itu,
tetapi segumpal darah di perutnya yang memerlukannya.
“Kau
sudah menghubunginya?”
“Fajri
selalu berjanji. Aku muak.” Jelasnya.
Kesimpulanku
seketika beruba: Risa tidak gila.
L.
16
Tak
apalah cerita ini tumpah kepada Fandi. Ia bisa dipercaya. Aku sedikit tenang. Tetapi,
belum benar-benar tenang sebelum kau kuterlantarkan. Sepintar apa kau
sembunyikan simpananmu? Aku pasti akan memburunya. Kau hanya anak tupai yang belajar
melompat. Linda. Hem, nama simpananmu bagus juga. Entahlah, apa dia
sebagus namanya.
Aku
akan menusuk jantung Linda agar dadamu berdarah. Oh, tidak. Tak akan ada darah
yang muncrat dari dadamu hanya karena kehilangan Linda, bukan? Kau pasti akan berpaling
ke perempuan lain. Baiklah, kalau begitu aku akan menjadi pemburu setia para perempuanmu.
Aku akan selalu mengunjungi rumah mereka dan mengalungkan melati ke lehernya.
Bagaimana? Setuju? Pasti engkau mengatakan tidak. Ha..ha..ha..ha…
K.
17
Hampir
setiap sore Risa bertamu. Ya, cuma sekedar bertutur remeh-temeh tentang lika liku
kehidupannya. Di balik wajah yang terus berkabut, aku masih menemukan secercah cahaya
di sana. Di pendar matanya.
“Kau
tahu, pada proses penciptaan perempuan, malaikat sempat protes kapada Tuhan
karena menciptakannya dengan begitu lembut,” ujarku mencoba menyulut kembali cahaya
yang hampir redup itu.
“Lalu?”
“Ternyata
malaikat tidak mengetahui betapa di balik kelembutan itu Tuhan memberikan
kekuatan yang luar biasa.”
“Luar
biasa!?”
“Ketika
malaikat menyentuh dagunya, dia bertanya lagi, ‘Tuhan! makhluk ciptaan ini amat
lelah dan rapuh, seolah terlalu banyak beban baginya,’ katanya. Padahal itu
adalah air mata.”
“Untuk
apa?”
“Pertanyaanmu
persis seperti yang ditanyakan malaikat. Air mata adalah salah satu caranya
mengekspresikan segala ekpresi hati: cinta, cemburu, sepi, derita, haru, bahkan
benci.”
“Hebat!”
“Ya,
Tuhan memang hebat dalam menciptakan perempuan,” kataku.
“Bukan
Tuhan.”
“Siapa?”
“Raja
Dongeng, kau. Maukah di lain waktu kau menceritakan yang lainnya,” senyumnya
mengembang. Aku bahagia.
L.
16
Perempuan
mempunyai kekuatan mempesonakan laki-laki. Ia bisa mengatasi beban bahkan
melebihi laki-laki. Ia mampu tersenyum walau hatinya menjerit. Ia bisa menyanyi
ketika menangis. Ia dapat menangis saat terharu. Bahkan ia bisa tertawa tatkala
ketakutan. Perempuan mampu berdiri melawan ketidakadilan…
Terima
kasih, Fandi. Aku makin yakin jalanku benar. Aku harus mampu melawan ketidakadilan
ini!
K.
17
Wah,
besok malam tunanganku akan datang. Aku harus meminta bantuan Risa untuk
memasak makanan khas padang. Tetapi apakah dia mau membantuku? Ah, masa
bodoh. Tak ada salahnya aku meminta bantuan. Yakin Risa membantuku. Lagi pula
tak ada yang sulit baginya. Dia sangat jago dalam urusan ini.
L.
16
Fandi
memintaku memasak masakan padang? Tak ada alasan bagiku menolaknya. Sebuah
kesempatan membalas kebaikannya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Sayang, ia sudah
memiliki calon istri. Tak mungkin aku merebut Fandi dari calon istrinya, karena
akan menjadikan perempuan itu hidup seperti Zombie, sepertiku.
Beruntung
sekali perempuan itu. Fandi pemuda baik dan mandiri. Tak sepertimu yang cuma
obral janji. Seandainya sejak dulu aku mengenalnya, pasti akan lain cerita. Ah,
seandainya bukan seandainya.
K.
17
Aku
tak sabar menunggu kedatangan tunanganku.
Hidupku serasa setengah mati dalam setengah tahun. Apa rambutmu masih tergerai sebahu,
dokter? Dokter? Ya! Aku akan menyebutmu Dokter Linda sebagai apresiasi atas
selesainya studimu. Jika sudah menikah, aku pasti akan mengubah panggilan itu: memanggil
dengan sebutan Sayang.
Sementara orang-orang harus memanggilmu dengan sebutan dokter atau nyonya. Ah,
sebutan nyonya terlalu meninggikan derajat. Biarlah mereka menyebutmu ibu
dokter saja.
L.
16
Malam
ini, aku akan membawakanmu segelas anggur bercampur darah pacarmu. Bila perlu,
air matamu juga turut kuperas dan kucampurkan
agar rasanya nikmat seperti anggur tahun 90-an. Oh, betapa romantisnya. Kita
mendentingkan gelas dan bersulam.
Anakku,
malam ini aku akan menemui perempuan simpanan ayahmu. Kau harus tahu betapa
buruk kelakuannya. Ia tidak hanya menduakan, tetapi menomersekiankan ibumu.
Kuharap kau tidak bersedih hati. Kau harus bangga memiliki ibu setegar karang.
Masih
ingatkah kau pada ceritanya Om Fandi? Perempuan mampu berdiri melawan
ketidakadilan!
Perutku
serasa bergerak, kendati kutahu, ini hanya perasaanku saja.
K.
17
Sudah
setengah satu. Lampunya masih nyala. Apakah Risa belum tidur?
L.
16
Seumur
hidup baru pagi ini aku menikmati udara segar. Otot-ototku serasa meregang
setelah semalam menegang. Anggur yang kujanjikan sudah siap. Besok, aku akan
mengajakmu bersulam. Tetapi, izinkan dulu aku memeras air matamu. Dan, maukah
kau setia beberapa menit untuk menunggu anggur itu menjadi dingin di dalam kulkas?
Aku berjanji akan melayalanimu tanpa menunggu pintamu, seperti dulu. Akan
kubaringkan kau. Setelah itu, hanya kita yang tahu…
Lihatlah
anakku, Fandi sedang duduk manis di beranda. Oh. Tidak. Fandi menagis. Apa yang
terjadi padanya? Seharusnya ia berbahagia nanti malam akan menyambut calon
istrinya. Jangan-jangan pertunangannya gagal.
K.
17
Lindaaaaaa…..!!!
L.
16
Linda?
Siapa Linda?
Jember,12 Desember 2013