Tuesday, February 4, 2014

Segara



Cerpen: Fandrik Ahmad

(Tabloid Nova, 27 Januari - 02 Pebruari 2014)


Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Lemparkan kemampuan sejauh pandanganmu. Kau akan merasakan seberapa dalam perasaan mereka menggantungkan asa pada segara. Kata Epak menjelang keberangkatanya, suatu ketika.

Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Tataplah hamparan kerikil batu karang sepanjang pesisir pantai yang ditinggalkan surutnya sagara. Maka kerikil-kerikil itu akan tampak seperti kilauan mutiara oleh bias basah matahari. Kata Epak sebelum memulai mengajariku cara menebar jala, suatu ketika.

Cobalah kau berdiri di bibir pantai ketika muka langit merona jingga. Maknailah mengapa perahu-perahu tertambat rapi membujur seurut segara. Renungi mengapa rumah-rumah berjejel rapi sehadapan dengan segara. Perahu dan rumah itu seperti tangan-tangan pemiliknya ketika berharap dan bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan. Kata Epak pada sebuah perjalanan pulang usai memanen rumput laut, suatu ketika.

Setiap sore, Epak mengajakku menikmati pemandangan segara. Tepatnya karena aku selalu mengantarnya bersama Emak, melepas jangkar menuju pemberangkatan. Setiap kali matahari separuh terbenam, selalu ada rasa takut menyambangi. Namun, Epak selalu menenangkan dengan pelukan hangatnya.

“Biasakan dirimu mengakrabi ombak. Kau harus menaklukkannya saat akan menafkahi anak istrimu nanti,” tukasnya. Sejauh itu, aku harus belajar melepas rasa takut itu. Akan ada sesuatu yang indah setelah matahari terbenam, kata Epak.

Tetua kami, Pakde Zawawi kerap bertembang di gubuk beratap daun lontar yang menyorong ke arah laut, di bawah Cemara Udang, tempat nelayan berbagi cerita sebuah petualangan. Petikan tetembangnya yang sangat kusuka: asapok angin, abental ombek.[1]

Epak tersenyum ketika aku mengatakan nelayan itu pemburu matahari. Apa yang kuucap diakarkan pada mereka yang berangkat pada senjahari dan kembali pada dinihari. Mereka mengejar matahari yang terbenam ke tengah segara. Buktinya, mereka akan kembali setelah matahari kembali ke permukaan. Saat kembali itulah aku seperti melihat mereka menenteng matahari untuk dipersembahkan pada anak istrinya.

“Matahari itu besar. Mana mungkin perahu kecil Epak bisa menampungnya,” senyum lebar sebangganya. “Kalau kau sudah besar, buatkan Epak perahu yang sangat besar.”

“Sebesar perahu Nabi Nuh?” tanyaku.

“Lebih Besar lagi,” tukasnya bergegas.

Akupun melambaikan tangan. Melepas perahu yang tampak semakin mengecil dalam pelayaran.

***
Aku tinggal di sebuah pulau kecil di kabupaten kepulauan yang tidak mungkin ditemukan di peta, meski hanya berupa titik. Pulau Apung. Di sini, tak ada pekerjaan lain selain melaut. Nyenyar ikan sudah tak bisa dibedakan dengan amis keringat. Sebagai anak yang terlahir di pulau ini, aku sudah tahu masa depanku seperti apa.
Pada sebuah malam, suara emak dan Epak terdengar mengeras. Tak biasa. Ada sesuatu yang tak sepaham. Aku tak tahu pasti soal apa yang dibahas. Cuma namaku kerap disebut-sebut.

“Ia harus maju,” kata Epak.

“Alaah, maju apanya. Kalau keluar dari sini, baru bisa maju. Toh, kalau keluar hanya untuk kembali, apanya yang mau maju,” bantah emak.

“Biarkan saja sekalian Dulla tak kembali.”

“Dulla yang maju, aku yang sengsara!” Suara emak serak namun keras. Aku menutup bantal sekuatnya pada kedua kupingku. Namun, suara keras itu dapat menembusnya.

“Dulla akan kembali. Bukan selamanya meninggalkan kita.”

Aku keluar dari pintu belakang. Berlari sekencang anak rusa melewati satu persatu Cemara Udang. Sampai di mana kakiku harus berhenti? Masih belum menemukan satu titik cahaya di mana seharusnya aku berhenti. Sayup-sayup suara saronen[2] menuntun langkahku pada sebuah cahaya teplok di gubuk daun lontar tepi pantai. Pakde Zawawi tengah lebur bersama tetembangnya.

Aku langsung naik. Cemas terus membayangi. Tembang itu berhenti.

“Ada apa kau, Dul?”

“Emak dan Epak bertengkar,” aduku. Pakde menegadahkan mukanya pada langit. Bulan terlihat sempurna.

“Lihat, Dul. Kalau bulan bundar seperti itu, pertengkaran keluarga memang sering terjadi. Apalagi kalau bukan soal uang. Kalau bulan bundar seperti itu, ikan-ikan pada melihat jatuhnya jala di atas mereka sehingga memudahkan untuk kabur,” jelasnya. Tembang itu kembali berbunyi.

Angin terasa keras menampar kulit.

***
Aku kembali. Kembali pada segara. Di dalam kepala, baju putih dan celana pendek berwarna merah yang tak lain adalah seragam sekolah SD, merupakan baju yang kukenakan ketika meninggalkan Epak dan Emak. Bukan tak ada yang lain. Hanya saja, seragam sekolah itu menjadi standrart kepantasan ketimbang baju yang lain: mentereng.

Ternyata sudah berkisar sepuluh tahun pertengkaran itu terjadi. Pertengkaran yang kemudian membuatku harus angkat kaki seperti perahu yang tampak kecil dalam pelayaran. Pertengkaran itu sudah kubayar tuntas. Tinggal membuktikan kalau aku sekarang dapat membuat perahu yang lebih besar dari Pinisi, Dewa Ruci, sampai perahu Nabi Nuh sekalipun.

Inilah kedatangan pertamaku setelah menyelesaikan S1 di bidang kelautan. Tak ada yang berubah. Pohon Cemara Udang, gubuk daun lontar dan ngengat ikan tetap menjadi ciri khasnya. Beberapa nelayan yang masih kukenali seperti sudah menghapusku dari daftar ingatan mereka. Kang Paimin yang anti-sekolah tak mengenaliku kalau bukan aku yang memulai.

Beh, sudah jadi insinyur kamu, Cong?”

“Apa itu insiyur, Kang? Aku tak ngerti.” Candaku.

Lha, itu. Yang pakai dasi dan helm kuning. Yang kerjanya nyuruh-nyuruh orang kerja.” Tuturnya polos. Tawaku lepas. Teringat saat Kang Paimin menggerutu sendiri ketika melihat pembangunan dermaga di pulau seberang.

“Aku tetap anak segara, Kang. Ndak berubah.”

Oalah. Sudah ketemu Emakmu?”

“Belum. Baru tiba.”

“Ya, sudah. Sana. Samperin Emakmu. Kasihan.” Pundakku ditepuknya.

Aku bersigegas. Ransel di pundak terasa ringan saat angin melabrak. Amplop cokelat setebal setengah senti kupegang erat. “Nitip ini. Sampaikan salam saya,” kata pak Prayogi, orang yang pernah ditolong Epak saat insiden jatuhnya pesawat terbang di daerah perairan yang aku tinggali. Butuh waktu tiga hari untuknya bangkit dari ketidaksadaran. Sebagai bentuk balas jasa, Pak Prayogi yang tak punya anak sampai menginjak usia tiga puluh delapan tahun, meminta restu barang sejenak mengambilku sebagai anak asuh. Setidaknya, menyekolahkanku sampai lulus sarjana. Emak tak merestui. Namun, Epak tak sependapat. Bila Emak melihat untuk hari ini, Epak melihat untuk hari esok.

Oh, punggung itu sudah tak tegap lagi. Senja terlalu merah di mata Emak. Ia hampir tak mengenaliku. Tangannya menggerayangi permukaan mukaku. Memastikan kebenaran atas pandangan yang menumpul. Ada bintik rindu di pelupuk matanya. Sementara rinduku sudah berubah menjadi titik-titik air melumasi permukaan tangannya.

“Kang! Dulla datang. Dulla kembali, Kang,” teriaknya. Sembab di matanya mengukir langit. Kuat emak memelukku. Pandangan kupasang ke segala arah. Menanti di mana orang yang dipanggil emak akan muncul. “Masuklah. Kau pasti lelah.” Emak mengikat tanganku kuat-kuat. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut sekedar menyegerakan langkahnya menuju lincak.

“Epak di mana?” tanyaku merebahkan tubuh di atas lincak.

“Kau mirip Epakmu.” Emak terus menatapku.

“Epak di mana, Mak?”

“Belum kembali dari pelayarannya. Kalau saja Epakmu menuruti ibu, tentu sekarang masih di sini,” desisnya. Kupikir, air mata yang bertambah deras itu ejawantah rindunya kepadaku. Namun, tafsirku salah.

Bibir emak gemetar mengulang kisah yang sejatinya tak ingin diulangnya sekedar untuk memberi pemahaman betapa sekarang aku sudah tak akan bertemu Epak. Epak menghilang dalam pelayaran. Diterjang ombak besar. Nasib yang paling nahas dibanding empat rekannya. Kang Parjo selamat setelah ditemukan warga esok harinya. Tiga hari kemudian, ombak mengembalikan Kang Sanima dan Kang Malap yang sudah tak bernyawa.

Hari terkumpul menjadi minggu. Beralih pada bulan. Emak dan para nelayan sudah mencari kabar Epak ke mana-mana. Sepanjang bibir pantai sudah dikelilingi. Menitip kabar kepada tetangga di pulau sebelah sudah dilakukan. Sampai mereka menyimpulkan kalau segara belum bersedia mengembalikannya.

Nyengat aroma rumput laut setengah kering, menghadirkan aromah tubuh Epak. Ingatan tentangnya samar, namun sakit di palung hati tak tersamarkan.

***
Aku berdiri di bibir pantai, membawa setungkus kenangan dan sekeranjang kemboja. Angin berdesir. Ombak berpintalan. Para nelayan menenteng jaring dengan segepok harap tanpa tanya. Anak dan istri mengantar mereka menemui segara. Sejatinya, bukan kehendakku menaburkan kemboja ke segara.

“Kenapa harus di laut?”

“Biar segara bersedia mengembalikannya,” Hanya itu jawabannya. Sumbang. Tak memuaskan. Aku bukan tak mau menghormati Epak. Mendoakannya dalam simpul tawassul. Hanya saja, cara semacam ini membuatku terasa aneh melihat yang lain berziarah ke kuburan.

Matahari separuh ditelan laut, saat-saat di mana Epak mengajakku bernyanyi, nenek moyangku seorang pelaut. Buih terus menjilati telapak kaki. Aroma asin dan amis, ah, terlalu menyiksa.  Aku tak bisa melakukannya. Muka langit yang merona jingga menjadi alasan. Terlalu banyak cerita-cerita yang masih belum tersampaikan. Aku beringsut pergi.

“Dulla…” Suara itu terdengar pelan. Barangkali keras, namun kalah keras dengan suara ombak. Aku mencari sumber suara. Tak ada sesiapa.

“Dulla…” Suara itu semakin mengeras. Aku berusaha mencarinya. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Samar-samar seseorang berjalan ke arahku. Paras teduh. Senyum mengembang. Langkahnya ringan terpercik air. Perlahan, senyum itu menampar ingatan. Senyum yang selalu terkembang di bawah gubuk daun lontar.

“Epakmu menitipkan ini?” ia menjulurkan tangannya.

“Saronen?”

“Coba tiup.”

“Aku tak bisa memainkannya,” kilahku.

Pakde Zawawi mengambil alih saronen dan memainkannya. Tembang meliuk-liuk di segara. Betapa asapok angin, abental ombek menyiratkan makna yang sangat dalam. Menyumbulkan senyum yang hilang.[]

Jember, 24 September 2013

Fandrik Ahmad, cerpenis sekaligus jurnalis yang banyak menulis cerita di sejumlah media. Kini bermukim di Jember, Jawa Timur. Telp: 082 331 021 747.


[1] Asapok angin abental ombek (berselimut angin, berbantal ombak), filosofi hidup masyarakat pesisir Madura.

[2] Saronen: alat musik tiup khas Madura.

0 comments: