(Minggu Pagi, 23 November 2012)
“Kau siap?”
Aku tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Betapa berat meninggalkan rumah ini. Ya, di sinilah aku dilahirkan, memulai tawa dan tangis. Namun, satu hal yang menguatkanku tetap bertahan pada satu keputusan pergi, keyakinan bahwa akan banyak hal baru di tempat yang baru.
“Kami tidak memaksamu ikut, tapi ibu pastikan kau akan betah. Kau bisa lebih leluasa menghirup udara. Ibu yakin tak akan ada sesal,” ujarnya seraya memasukkan boneka dolphinku ke dalam tas.
“Azura tidak akan pernah menyesali keputusan Azura,” Jawabku. Ibu mengulum senyum dan memelukku. Tampaknya ibu dapat membaca kunang-kunang di mataku.
Ayah mematung di ambang pintu menyimak dan menunggu kami selesai bercakap-cakap.
“Sudah siap?” aku dan ibu membalas dengan stu senyuman.
Kami meluncur menuju sebuah tempat—yang katanya indah—yang kata ayah aku akan melihat panorama asli Indonesia sesungguhnya. Terlalu deras angin menjamah rambutku, terlalu terik matahari menyentuh kulitku, tetapi sangat disayangkan bila aku melewatkan keindahan di samping kiriku.
Tak ada alasan yang jelas kenapa aku bisa memilih ikut serta pindah dan menetap di sini, menemani nenek. Hanya saja, cerita-cerita ayah tentang nelayan, tentang ikan, tentang senja, tentang angin, tentang ombak, dan tentang perahu-perahu yang tertambat rapi di tepian pantai membuatku berani mengambil keputusan. Di sini, aku bisa mendengar suara-suara saronen dari gubuk menjelang peristirahatan para nelayan sepulang melaut.
Ayah dan ibu tengah asyik mansyuk melepas kangen dengan nenek. Sementara diriku keluar ke beranda hendak menikmati cahaya kekuningan di pantai laut utara. Seminggu selepas kakek meninggal, keluargaku memutuskan pindah barang sejenak karena nenek sangat keberatan untuk untuk kami bawa; tinggal bersama kami. Entah kapan takaran barang sejenak itu, apakah sehari? Seminggu? Sebulan? Setahun? atau bahkan lebih, aku tak tahu.
Benar! Garis-garis siluet senja menyita waktuku berlama-lama duduk di serambi. Sore yang sempurna. Aku melihat seorang perempuan yang mungkin usianya sepantaran denganku tengah duduk pada sebuah gubuk tanpa sekat menghadap ke laut, beralas pasir putih, beratap anyaman daun lontar. Kedua kakinya diselonjorkan, diayunkan. Sepertinya ia sedang menikmati desau angin yang memanjakan bulu matanya.
“Siapa yang kau perhatikan?” Suara ibu sedikit mengagetkanku. “Hem, rupanya kau sudah menemukan teman baru, ya?!” Pertanyaan ibu bak pernyataan, tak bisa kubedakan. “Kalau mau, samperlah! Jadikan ia teman barumu,” pungkasnya. Aku menggeleng. Lekas aku masuk ruangan.
“Lho?”
***
Selain siluet senja, tak dapat dinyana sikapnya memang sedikit mencuri perhatianku. Berdaster putih dengan warna cukup suram serta rambut sebahu yang selalu diikat ke belakang. Kususun kemantapan hati sekedar menyapa sekedar berbasa-basi. Dan, pada suatu kesempatan, aku menyuruhnya untuk meniup saronen milikku.
“Maukah kau mengajariku?” tanpa menunggu persetujuannya, mau atau tidak, aku menyodorkan saronen itu ke wajahnya. Tanpa kuduga, ia langsung mengambil lantas memainkannya. Sendu. Syahdu. Indah.
“Kamu suka laut?” Tanyaku.
Sementara, pada perahu-perahu yang tertambat kaku, para nelayan bertelanjang dada sibuk mempersiapkan pembekalannya menuju pelayaran malam nanti. Otot-otot mereka menyumbul saat bersama-sama menarik jala dan kotak-kotak kayu ke atas perahu.
“Kau siapa?” Akhirnya aku mendengar suaranya. Meski pertanyaan yang dia lontarkan sepertinya kurang bersahabat.
“Azura. Apa kau menyukai senja?”
“Bapak bilang, senja adalah wujud keindahan.” Jawaban yang aneh. Aku menanyakan dirinya, kenapa jawabannya tentang bapaknya. Dagunya diangkat cukup tinggi. Jatuhlah langit di kelopak matanya.
“Jadi kita sama. Sama-sama menyukai senja. Yah, aku hanya merasa damai setiap kali melihat bias itu,” kataku. Aku menunggu beberapa detik, berharap menanggapi kesamaan akan sebuah simpulan.
“Aku suka kunang-kunang.” Ah, pernyataan macam apalagi yang dilontarkan perempuan ini. Padahal disekitarku dengannya tak sekelippun terpandang pijar kunang-kunang. Ah, mana mungkin kunang-kunang sudah muncul pada sore hari. Bodoh. Diriku terjebak dalam pertanyaanku sendiri, benarkah di tepi laut juga ada kunang-kunang? Entahlah. Hem, perempuan yang aneh.
“Oh, ya?”
“Meskipun banyak orang bilang kunang-kunang adalah kuku orang yang sudah mati, aku tetap suka. Bapak selalu menangkapkannya untukku. Setiap malam. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laut.
“Kenapa bapakmu tidak lagi menangkapkan kunang-kunang untukmu?” Aku mengikuti alurnya. Berharap ia mau berbagi cerita.
“Bapakku sudah tak ada.”
“Meninggal, maksudmu?” potongku.
“Empat tahun lalu ia meninggalkanku dan ibuku, sampai sekarang.” Lalu dia beranjak. Senja semakin memerah. Gadis itu terus melangkah pergi. Mungkin ia tak suka dengan topik tentang bapaknya. Ah, aku lupa menanyakan namanya. Awal persahabatan yang aneh. Semoga ini bukan awal keanehan selanjutnya.
***
Seperti sore kemarin, aku sengaja menunggunya di gubuk itu. Terlalu banyak keanehan yang harus kutanyakan padanya. Jujur, menurutku, ia bukan tipikal perempuan yang tertutup. Hanya saja, mungkin, selama ini tak ada yang peduli pada hidupnya. Siapa yang tidak iba melihat wajah mendung di bawah senja?
Perempuan itu datang.
“Hei…Aku menunggumu sejak tadi,” sapaku saat perempuan itu tengah di depanku. Ia duduk di sampingku.
“Aku merasa kita adalah sahabat. Tapi kamu belum memberitahukan siapa namamu. Boleh aku tahu?” Kuamati wajahnya lekat: hidung mancung, mata teduh, alis lebat, serta warna kulitnya lebih putih ketimbang perempuan pesisir seusianya.
“Aku Hanna.”
“Hanna…nama yang cantik. Seperti orangnya,” pujiku tulus.
“Bapak juga sering bilang begitu. Aku jadi sangat merindukannya,” wajah sayunya melabrak wajahku. Aku gelagapan dan berusaha menarik semnyum agar tak ketahuan.
“Azura, sebenarnya aku merasa kita sudah dipertemukan sejak zaman azali. Aku mengenalimu. Kamu adalah perempuan penyuka ornamen langit, kan? Dan aku yakin keputusanmu turut pindah ke sini karena langit di depanmu itu. Di sini kau bebas melihat, menikmati, bahkan melukis langit sesukamu.” Aku terkejut. Kukira selama ini Hanna tidak pernah mempedulikanku.
“Kau tak perlu kaget karena aku sedikit banyak tahu tentangmu dari ibuku. Kau jadi pembicaraan orang sekampung. Katanya kamu adalah anak pejabat teras yang sudah pensiun. Benar, bukan?”
“Ah, itu hanya kata mereka. Aku merasa sama denganmu, penyuka langit, benar bukan?” Pelan kekakuan yang biasanya menemani percakapan kami mulai mencair.
“Tidak Azura. Hidup yang kau jalani tidak separah diriku. Hidupku selalu penuh dengan tantangan seperti mereka.” Hanna menunjukkan sekumpulan nelayan. “Dan biasanya, bila masih ada bapak, ia selalu menguatkanku dengan nasihat-nasihatnya. Sampai saat ini bapak belum pulang. Dulu, bapak memintaku menunggunya di laut. Wajarlah, kemanapun orang-orang kampung pesisisr pergi pasti mereka akan datang dari laut, termasuk bapak. Empat tahun sudah bapak belum juga datang. Sebagaimana pesannya, aku selalu menunggu kepulangannya.” Hanna menghirup napas panjang. Serasa melepaskan sebuah beban.
“Bapakmu seorang pelaut?”
“Tidak. Bapak Cuma pekerja kasar pembuat perahu.”
“Kalau boleh aku tahu, terakhir bapakmu pergi ke mana?”
“Tak ada yang tahu ke mana bapak. Tidak juga dengan lurah yang mendampinginya waktu itu,” dagunya terangkat. Tatapannya kosong pada sebundar kuning telur yang hampir terbenam.
“Hanna, kau hanya menceritakan penggalan hidupmu saja. Ayolah, ceritakan seluruhnya. Jika ceritamu adalah rahasia yang harus disimpan, aku janji akan merahasiakannya. Kita kan sudah menjadi sahabat,” bujukku.
“Tak ada yang perlu dirahasiakan. Semua orang tahu runtutan cerita bapak,” Hanna kembali menghirup napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
“Empat tahun lalu bapak dijemput oleh lurah kampung. Aku tidak tahu ada acara apa. Tapi sebelum pergi bapak mencium pipiku sambil berpesan aku tidak boleh menjadi gadis cengeng. Aku harus kuat, begitulah pesan bapak setiapkali akan pergi. Pergi jauh. Ketika aku ke warung, orang-orang ramai membicarakan pemilihan calon bupati, juga tentang beberapa orang yang dicurigai punya kharisma untuk mempengaruhi orang-orang kampung kami yang diajak pergi oleh orang-orang berpakaian necis. Waktu itu aku sangat tidak paham apa itu urusan politik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kata orang-orang di warung itu, bapak telah menjadi korban kampanye gelap. Aku tidak menyangka akan seperti ini.”
“Apa kamu tidak mencari bapakmu?” kejarku.
“Sejak bapak menghilang aku selalu menunggunya. Dan setelah selama setahun aku mulai sadar penantian tanpa pencarian adalah sia-sia. Maka aku mulai mencari tahu kemana bapak pergi. Aku menanyakan kabar bapak pada setiap orang yang pernah kulihat berbincang dengan bapak. Setelah pencarian yang sangat panjang itulah akhirnya aku tahu, orang-orang berpakaian necis itu telah mengajak bapak pergi dari kerumunan orang-orang dan bapak tidak datang lagi…” Hanna menelan ludah. Aku melihat ada air yang mengambang di sudut matanya.
“Maaf, , kalau aku membuatmu sedih.”
“Tak apalah. Aku hanya…” tak ada lagi yang diucapkannya. Lagi-lagi sepi tercipta diantara kami. Tembang saronen melilit-lilit pelepah nyiur tersebab desau angin pesisir.
“Apa kamu tahu siapa orang yang telah mengajak bapakmu pergi?” tanyaku setelah kami terdiam cukup lama.
“Trihatmodjo Kusumanegara.” Hanya itu jawabannya.
Aku terkesiap. Tak perlu aku cari tahu siapa dia. Karena aku sangat mengenalnya. Cerita yang sama pernah kudengar bertahun-tahun yang lalu. Seseorang yang sangat aku kagumi menceritakan kehebatannya karena berhasil mengantarkan kerabatnya menjadi orang nomor satu sekabupaten. Aku mendengar cerita itu diceritakan dengan penuh semangat, penuh kebanggaan yang meluap. Tapi hari ini, aku kembali mendengar cerita yang sama dengan ekspresi yang berbeda. Sangat jauh berbeda. Juga dari orang yang berbeda. Dan baru kutahu bahwa ternyata, sejak dulu, aku mengidolakan orang yang salah.
JEMBER, NOVEMBER 2012