Monday, January 7, 2013

Ojung; Ritual Menjauhi Diri dari Musibah


Catatan Perjalanan ke Madura
Rubaru (28/12), Memasuki adzan Ashar, awan yang sedari pagi membekap langit, sampai sore itu juga menyembunyikan matahari dari pandangan. Kendaraan sepeda motor Honda Supra X Helm In bernopol M 2037 W melaju kencang dari Guluk-Guluk menuju Banasare, Rubaru. Saya dan teman saya, Samsuni Al-Busyro, salah satu wartawan di koran lokal Madura Koran Madura tengah memburu berita pelaksanaan Ojung di titik akhir perjalanan tersebut.
Ojung merupakan salah satu tradisi atau kebudayaan masyarakat Madura yang masih sangat kental, yang terus diwariskan secara turun menurun. Selain Ojung, kebudayaan masyarakat Madura lainnya yang juga tak kalah kental adalah Tande', Lotrengan, dan Karapan Sapi.
Pukul 16.01 WHNE (Waktu Handphone Nokia E63), Kami tiba di lokasi. Penonton, pedagang asongan, dan alunan tetembang kejhung dari speakers dan dua buah sound sudah menyesaki lokasi. Kawan saya yang baru seminggu menjadi wartawan mulai beraksi; bermodal handphone Nokia 5300 potret sana potret sini kendati acara belum dimulai.
Pukul 16.18 WHNE, kedua kubu yang akan bertanding di arena berukuran 5 x 5 meter melakukan persiapan: sarung bekas dililitkan ke lengan bagian kiri sebelum bagian luarnya dililit karung goni/jerami. Lengan kiri dijadikan perisai, penangkis serangan lawan, sedangkan lengan kanan memegang cambuk rotan tanpa pelindung apa pun. Kepala, punggung dan dada kedua petarung juga dililit karung goni/jerami. Penonton mulai merapatkan barisan ke pinggir arena. Sementara itu, langit tetap setia dengan warna kelabunya.
Pelaksanaan Ojung dilakukan dengan sistem duel, tidak berkelompok. Sekali duel terdiri dari tiga babak. Apabila sudah sampai pada babak ke tiga, pertandingan harus dihentikan dan selanjutnya diganti dengan petarung berikutnya. Urusan menang-kalah bukan persoalan karena yang terpenting adalah bagaimana si pemain harus bisa melecutkan rotan ke lengan kanan--hanya lengan kanan--lawan yang memang tanpa pelindung apa pun. Penonton baru bersorak bila pukulan rotan mengenai sasaran. Ya, sasaran...! Pemain dikatakan berhasil bila pukulan rotan mengenai lengan kanan.
Tradisi Ojung di desa Benasare, Rubaru sudah berlangsung lama, menjadi sebuah ritual yang wajib dilaksanakan setiap tahun. Dalam sejarahnya, pelaksanaan Ojung di desa tersebut dilaksanakan pertama kali oleh K. Muhammad Sakim sekitar tahun 60-an.
''Sejak Ke Sakim sampai sekarang, Ojung selalu kami laksanakan. Dilakukan setiap Jumat sore selama tujuh Jumat. Sekarang (28/12) masih sampai pada Jumat ke tiga. Nah, paginya, sebelum melaksanakan, kami ngaji dulu di pasarean K Sakim. Yah, semacam bertawassul agar diberi kelancaran oleh yang di atas (Allah, pen),'' pungkas bapak Zainuddin, ketua pelaksana.
Para pemain Ojung tidak hanya untuk wilayah desa Benasare atau hanya sekecamatan Rubaru saja, melainkan boleh diikuti oleh siapa pun dan dari desa mana pun asal tetap menjaga sportifitas dan menghibur.
''Pada akhir acara tidak ada pemilihan siapa juaranya. Ojung bukan lomba kejuaraan. Tetapi pada akhir acara masyarakat akan dihiburkan oleh orkes elekton. Dananya? Ya, dari masyarakat,'' tambah lelaki berkumis tersebut.
Sejatinya, Ojung merupakan sebuah ritual ritual memanggil hujan agar segera turun. Biasanya dilaksanakan pada saat musim kemarau berkepanjangan. Namun, ritual Ojung di desa Benasare selalu dilaksanakan pada saat aroma tanah meruak pada hujan pertama pasca kemarau. Masyarakat Benasare menganggap Ojung tidak sekedar ritual memanggil hujan, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur (rokat desa) karena dibebaskan dari kekeringan saat kemarau menyambangi.
Pulau Madura merupakan pulau yang terkenal tandus dan gersang. Tak ayal setiap tahun ketika sudah memasuki musim kemarau sebagian besar daerah di pulau Garam tersebut dilanda kekeringan. Nah, di desa Benasare ada sebuah sumber mata air yang tak pernah susut kendati dilanda kemarau berkepanjangan. Sumber mata air tersebut diyakini sebagai berkah dari ritual Ojung yang dilaksanakan setiap tahunnya, khususnya berkah dari ritual Ojung pertama kali yang dilakukan oleh K. Sakim.
 ''Kalau musim kemarau banyak orang dari desa sebelah yang mandi ke sini,'' Pungkas Zainal, pemuda Benasare.
Di samping itu, masyarakat juga meyakini kalau pelaksanaan Ojung juga bisa menumbuhkan kerukunan dan solidaritas yang kuat antar warga, tidak ada pertengkaran, dan dijauhi oleh berbagai macam penyakit yang membahayakan. Ojung bukanlah ritual tanpa makna. Mereka meyakini kalau Ritual Ojung akan menjauhkan desa tersebut dari berbagai malapetaka atau musibah.
Di tengah gencatan arus globalisasi mengusung spirit hidup praktis, ekonomis, dan rasional semakin menggurita di berbagai wilayah di Madura pasca pembangunan Jembatan Suramadu, sebuah pertanyaan besar muncul di benak saya, sampai di manakah animo masyarakat akan bertahan untuk melestarikan tradisi/kebudayaan tersebut? Paling tidak rutin dilaksanakan setiap tahun.
Semoga Komitmen dari hasil Kongres Kebudayaan Madura II yang dilaksanalan pada tgl 21-23 Desember 2012 di Hotel Utami, Sumenep, bisa nenjawab keraguan saya. Amien.
Jember, 1 Januari 2012

0 comments: