Wednesday, November 23, 2011

Carok

(Bangka Pos, 20 November 2011)

Aroma celatong merebak saat Muksin membuka pintu kandang. Tiga karung rumput cukup hari itu, baginya dirasa cukup untuk makan sepasang sapinya. Kulitnya hitam lebam, mengkilat, serta basah oleh keringat. Selepas menaruh sekarung rumput, ia menuju langgar, tempat paling nyamat merebahkan penat di siang hari.

Udara begitu bengis. Panas mengernyitkan dahi. Kemarau seperti terus memuai, membuatnya semakin kesulitan mencari rumput yang hijau. Dipandangi lekat udara yang meniup debu di taneyan lanjeng. Muksin merebahkan diri. Matanya menatap langit-langit langgar. Ia kepikiran perkataan Saman tempo malam. Namun sesaat, desiran angin yang masuk dari lubang-lubang tabing meninabobokkannya.

Baru saja ia terlelap, dari kejauhan seseorang datang memanggilnya berulangkali. Dursampat lari sempoyongan. Pemuda itu adalah sepupunya yang termuda dari tiga saudara.

“Ada apa, Pat?”

“Anu, Kang. Tadi aku lihat Mak Tip diganggu Talhah.”


Kabar itu serupa cambuk yang dilecutkan pada dirinya. Ternyata, desas-desus yang tersiar luas, dari kuping ke kuping, adalah benar. Sebagai suaminya, betapa Muksin merasa terhina atas kabar itu. Kelakiannya merasa diremehkan sekaligus dilecehkan.

“Di mana?”

“Di pertelon pedasan, Kang.”

Muksin sangat cemburu dan marah. Patek, umpatnya dalam hati.

Muksin tahu betul tabiat Talhah, blater yang amat disegani di desa sebelah. Ya, Muksin dan Talhah berbeda desa. Jarak rumah keduanya berkisar satu kilometer ke arah barat. Pedasan di pertelon itulah yang mempertemukan warga desa Jaddul dan warga desa Burangin. Di sana, terdapat sumber mata air besar yang biasa dipakai oleh dua desa tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan minum.

Tak mungkin Dursampat membohongi kakangnya sendiri. Apalagi persoalan keluarga. Istrinya jelas-jelas ketahuan main serong dengan lelaki lain. Dan kali ini, saksinya adalah sepupu sendiri. Jelas, ini penghinaan besar. Muksin semakin kukuh untuk melangsungkan carok dengan Talhah.

***

Latipah, istri Muksin memang terkenal dengan perempuan yang cantik. Lebih cantik ketimbang perempuan lain di desanya. Meski sudah dikaruniai anak laki-laki yang sudah berusia delapan tahun, serta hidup dalam kondisi tergolong miskin, kecantikannya tidak pudar. Ia nampak seperti paraben, berkulit putih, serta perangainya sering berubah dari keibuan ke kanak-kanakan. Tentu, jika tidak menikah muda di usia dua belas tahun, Latipah masih meikmati masa remajanya seperti kebanyakan gadis kota. Tetapi, sulit ada perempuan yang bertahan sampai usia dua puluh ke atas. Jika ada, pasti akan digunjing sebagai perawan tua.

Kemarahan Muksin tidak hanya tertuju pada Talhah. Bagaimanapun, perbuatan istrinya juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Bersukurlah Latipah karena Muksin tidak menyaksikan sendiri perselingkuhan itu. Jika sampai terjadi, perceraian bukan dianggap solusi yang tepat, hanya nyawa yang bisa menebus dosa karena telah melecehkan martabat seorang suami.

Latipah mengelak atas tuduhan itu. Katanya, tidak ada rekayasa pertemuan di padasan itu, hanya kebetulan belaka. Setiap menjelang siang, Talhah memang selalu mengambil air untuk minuman sapi-sapinya. Sedangkan Latipah, meski tidak setiap hari, menjelang siang, ia terbiasa bersiraman di sana.

Desas-desus tersiar cepat. Tak ada jalan lain kecuali melakukan penceraian kepada isrtinya. Meski Latipah sendiri tidak mengakui, malu yang dirasakan Muksin amat besar datang dari lingkungan sosialnya.

Tak ada jalan lain kecuali penceraian dijatuhkan!

***

Rencana carok dengan Talhah dimatangkan dalam pertemuan keluarga di langgar suatu malam. Sidang ini hanya melibatkan empat orang anggota yang dianggap sebagai tetua dalam nasabnya, yaitu kedua orangtua; Ke Malhum, kakeknya; dan Mukarrom, kakak kandungnya sendiri. Beginilah cara mereka bermusyawarah menyembunyikan rahasia keluarga.

“Hanya nyawa yang bisa menjamin bila berani mengganggu istri orang,” kata Mukarrom. Bapak dan kakeknya turut mengamini.

Setelah carok dilaksanakan, Muksin berencana akan memasrahkan diri kepada polisi. Jalan itu ditempuh bukan semata sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya, melainkan lebih kepada mencari perlindungan atas balasan carok yang akan dilakukan oleh keluarga Talhah jika nanti berhasil menumpasnya. Muksin juga meminta bantuan kakaknya melakukan nabang (sogok) kepada polisi untuk meringankan beban hukuman. Sedangkan anaknya akan dipasrahkan kepada bapak-ibu selama menjalani proses tahanan.
Satu hal yang membuat dirinya merasa tidak puas dengan hasil keputusan sidang. Ia kecewa karena harus melakukan carok dengan cara nyelep, menyerang Talhah ketika dalam keadaan lengah atau dalam keadaan tidak siap tempur. Muksin memaksakan kehendak menantang Talhah dengan cara ngongghei, mendatangi rumah Talhah dan menantang langsung di depan halaman. Perbuatan itu amat jauh lebih jantan ketimbang nyelep, karena akan disaksikan langsung oleh keluarga orang yang didatangi.

Sungguh, perbuatan ini memang dianggap pengecut, berani main belakang. Tetapi Muksin benar-benar harus mempertimbangkan saran Ke Malhum. Ia tahu betul kekuatan lawan. Kesaksian atas terbunuhnya Surahwi tujuh tahun lalu masih cukup sempurna. Selain postur tubuh yang lebih tinggi, ilmu bela dirinya dirasa belum sepadan dengan lawan yang akan dihadapi.

Sepak terjang Talhah di dunia blater tidak ada yang meragukan. Ia adalah ketua remo di desanya. Sering berbuat onar saat ada pagelaran remo atau mirammi desa. Tentu, sebagai ketua, ia sangat berpengaruh pada para blater yang lain. Meski Muksin juga diakui dalam dunia blater sebagai orang yang angko (berani), menumpas habis nyawa Karjo dengan tiga belas luka bacok, masih belum cukup padan kedigdayaan bela dirinya. Muksin tidak memiliki jaringan kuat seperti Talhah dari sesama blater. Maka dari itu, nyelep adalah perbuatan yang tidak buruk, demi keselamatan nyawa, asal sekali melakukan carok, ia harus sukses menumbangkan lawannya. Jika gagal, bisa jadi Talhah akan mengumpulkan banyak massa untuk menyerang balik.

“Aku punya kancah yang bisa membantumu, Cong. Ia punya mantra nylateng ,” ujar kakeknya.

“Kapan aku bisa menemuinya, Ke?”

“Bisa sekarang,” katanya tegas.

Muksin dan Ke Malhum bergegas menemui orang yang dimaksud. Hanya kakeknya yang tahu tempat itu. Pelepah siwalan jatuh menimbulkan bunyi kresek berbenturan dengan dedaun bambu. Mereka memasang siaga awas. Takut ada maling atau rampok menghadang. Setelah melewati pekuburan, keduanya tiba pada sebuah rumah yang hanya disinari oleh satu lampu teplok.

Pemilik rumah langsung menyuruh masuk, seakan sudah mengetahui maksud kedua tamunya.

“Hendak apa malam-malam datang ke mari?” cahaya lampu teplok tak mampu menjangkau separuh wajah orang itu.

Muksin mengurai tuntas kronologi musibah yang menimpa keluarganya. Dimulai dengan kasus Talhah yang membunuh Surahwi delapan tahun yang lalu. Persoalan itu diungkit karena Surahwi masih memiliki garis keturunan dengan keluarganya. Sebagai bagian dari keluarga, Muksin merasa memiliki “kewajiban” melakukan carok balasan. Lalu, ia menceritakan perselingkuhan istrinya dengan Talhah dan mengutarakan maksud untuk melakukan carok. Harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak oleh bajingan itu.
Lelaki itu menganggukkan kepala. Turut mengamini.

“Bagaimana, Ke?” kata Muksin saat tak segera menuai jawaban.

Lelaki itu mengusap kumis tebalnya yang memutih. Diajaknya Muksin ke dalam langgar di depan rumah. Sedangkan Ke Malhum tetap menunggu di ruang tamu. Meski demikian, kakek itu tahu apa yang sedang dilakukan kepada cucunya, mengaliri mantra ke dalam tubuhnya.

“Aku telah mengalirkan nylateng ke dalam tubuhmu, sekaligus membacakan nyepet ,” kata lelaki yang disebut kae itu.

Mendengar penjelasannya, ada rasa berbeda yang dirasakan Muksin. Nyalinya ingin bersegera memburu mangsa. Bila perlu, ia tidak akan nyelep, tapi ngongghei.

“Kapan bisa melaksanakan carok, Ke?” Muksin tak sabar.

Lelaki tua itu sedang menghitung-hitung jarinya. Mencari jawaban atas pertanyaan itu.

“Kamis pahing, menjelang manghrib.”

“Empat hari lagi?” Ke Malhum turut menghitung jarinya.

”Ya.”

Muksin ingin bersegera melakukan carok. Kalau perlu, esok pagi pun akan ia lakukan. Tetapi Ke Malhum mengingatkan cucunya agar tidak bersikap gegabah. Dalam perjalanan, beberapa kali Muksin menggeliakkan tubuhnya ke kanan, ke kiri, dan menyamping. Ia merasa tubuhnya menjadi lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga.

***

Hari yang di tunggu-tunggu datang. Matahari berjalan tak biasanya. Lambat. Muksin menimang-nimang celurit jenis takabuwan yang telah diasahnya berkali-kali. Ia menangkap potret dirinya di ketajaman celurit itu.

Matahari tak lagi beringas. Muksin sudah sampai pada tempat yang dipilihnya untuk nyelep Talhah. Biasanya Talhah melewati jalan setapak di tegalan itu saat pulang dari pasar sapi.

Benar! Orang yang ditunggu terpatri di matanya. Bara dendam tersulut. Darah membuncah. Amarah meledak. Celuritnya dipengang kuat-kuat, menunggu Talhah kian mendekat. Dari semak-semak ia terus mengintai lawanya.

Talhah tidak sendirian. Ada seorang lagi di belakangnya. Tapi Muksin tidak menggubris orang itu. Kamarahan sudah memuncak. Setelah lewat di depan persembunyiannya, mendadak Muksin keluar dan menyabetkan celurit pada punggung Talhah. Orang di belakangnya segera berteriak, menyadarkan bahwa nyawa kawannya sedang terancam. Sontak ia menghindar dari sabetan itu dengan menjadikan tali sapinya sebagai tameng. Tetapi, sabetan itu begitu cepat dan kuat mengenai di tangan kirinya. Darah mengucur. Jari tengahnya bergelantungan hampir lepas.

Talhah menyumpah serapahi perbuatan Muksin yang berani main selep. Mengatainya sebagai lelaki tidak jantan.

Patek!

Talhah mengeluarkan sekken dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, keduanya langsung adu kejantanan.

Di udara yang tak lagi bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit yang berayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan teriakan-teriakan lantang mengema. Meski ukuran celurit Muksin lebih besar ketimbang celurit Talhah, ia kereporan menandingi keblaterannya. Beberapa kali ia sempoyongan menghindar sebelum akhirnya berhasil membacok punggung Talhah.

Sadar lawannya terluka, Muksin berada di atas angin. Ia semakin beringas. Sekali tebas, menyemburlah darah dari perutnya sendiri. Talhah yang meringis kesakitan dengan gesit berhasil menghindar dan menebasnya tepat mengenai perut sebelah kiri. Muksin roboh. Genjatan bacokan Talhah semakin menjadi pada setiap inci tubuhnya. Nyawa Muksin melayang dengan tubuh terkoyak dan mata terbelalak memendam dendam. Ususnya terburai keluar bersamaan dengan anyir darah.

Talhah menjilat sisa-sisa darah yang menempel pada celuritnya, lalu meletakkan celurit itu di atas dada Muksin sebagai sombolisasi kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah pembunuhnya.

Annuqayah, 11.12 PM

0 comments: