Thursday, November 3, 2011

Bakso Pak Oles

Makan sama lauk tempe saja, sudah makan seperti di istana kaisar Paus. Apalagi makan sama makanan seperti daging-daging hewan¬¬—pastinya, daging yang halal untuk dimakan. Seperti daging ikan, sapi, gulai kambing, opor ayam, dan yang lain. Mengimpikan harapan seperti itu, butuh kesabaran sangat besar agar bisa terwujud. Hanya bisa berharap pada orang yang bertamu dan membawa makanan lezat. Beli sendiri? Harus berpikir dua kali, bahkan berpikir berkali-kali mengubah selara makan sehari-hari; sambal terasi.

Namanya juga masyarakat sampah. Ya! Sampah memang harus dibuang. Saya lalu teringat kalimat dalam sebuah Novel Marabunta “Aku dilahirkan dari golongan sampah, tapi bukan orang yang berhati sampah”. Terbuang di keramaian mobil yang bunyi klaksonnya bertalu-talu. Tut…tut…tut…

Malam itu, Ada seorang bertannya pada Saya.

“Apakah mas tahu dimana diskotik di kota ini?”

Saya menjawab. “Tahu.”

“Yang mana tempat paling menyenangkan, Mas?”



Pertanyaan orang kekar bertato itu kali ini saya tak bisa menjawab. Meski saya banyak kenal beberapa tempat yang ia tanyakan, tak satupun yang pernah saya masuki. Saya hanya sering duduk di depan bar, menunggu orderan, itu saja. Mana mungkin bisa berjejel dengan para Pejabat, Birokrat, Saudagar, Bisnismen, atau yang lain, wong saya cuma orang rendahan. Orang yang mencari kenikmatan, duduk santai, diiringi alunan melodi-melodi neraka dan para bidadari yang selalu mengepakkan sayap indahnya. Jika bersama, mereka di atas, sedang aku di bawah memegang semir sepatu, mengelap sepatunya berulangkali sampai mengkilap. Itu pekerjaanku.

Dulu, dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang saya peroleh sudah lebih dari cukup. Sudah bisa makan yang dirasa enak bagi orang-orang sampah, seperti saya. Kali ini, hukum yang demikian tak berlaku lagi. Seiring harga sembako yang semakin tinggi, ditambah menjadi seorang kepala keluarga, penghasilan yang hanya segelintir itu, tak cukup.

Apalagi persaingan semakin ketat. Banyak para penyemir sepatu bermunculan, seperti jamur dimusim hujan. Bocah-bocah yang seharusnya masih duduk di kelas, mendegar penyampaian guru. Kini, harus mondar-mandir menenteng kotak kecil, menawarkan pekerjaan pada mereka yang bersepatu kulit. Tas sekolah berganti kotak kayu. Dengan semangat, mereka mondar-mandir disekitar orang yang tak punya mata. Saya jadi tak tega melihat mereka. Saya putuskan untuk gantung semir dan mencari pekerjaan lain. Agak berat sih, mengganti profesi yang telah dijalani sekian tahun.

Apabila ada yang berkenan berkunjung ke rumah saya, caranya mudah sekali. Anda cukup turun di terminal kota. Selanjutnya, berjalan ke arah utara, sekitar 500 meter. Anda akan mendapatkan perumahan kumuh bercampur dengan limbah sampah. Di sudut barat daya, ada rumah berdempetan dengan pabrik tahu. Itu rumah saya.

Setelah sampai di sana. Saya sarankan pada anda, pakailah tissue. Sebab, yang akan anda dapatkan bukan orang-orang yang memakai dasi dan sepatu kulit, melainkan disambut oleh binantang-binatang kotor, menjijikkan; Kucing, Tikus, Kecoa, Lalat, dan Nyamuk. Datang tanpa mengetuk pintu. Rumahku menjadi pertunjukan circus mereka. Unjuk kebolehan. Seisi rumah bakal meriah jika mereka beratraksi. Apalagi, ketika musuh abadi itu (Kucing dan Tikus) bertemu. Piring, Panci, Wajan, dan perabotan lain akan amburadul. Ditambah sorak sorai istriku yang menyumpah serapahi binatang menjijikkan itu.

Jangan Anda memberi kesimpulan, saya tak pernah berusaha mencegah. Memberi aturan bagaimana cara bertamu yang baik. Tamu-tamu tak diundang itu berseliweran seenaknya saja. Sulitnya, saya harus membongkar istana—karena rumah itu harta yang sangat berarti—agar binatang menjijikkan itu tak lagi bertamu, setiap waktu. Hampir setiap senti gedung rumahku ada pintu untuk mereka. Bahkan, bagi binatang itu bukan pintu, melainkan gerbang besar.

Begitulah, kondisi rumahku, sangat memperihatinkan. Semua dinding dari kayu lapis, peninggalan satu-satunya Almarhum keluarga kami. Apabila musim kemarau, rumah itu tak bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan polusi. Selalu ada celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menggeledah isinya. Begitu pula dengan musin hujan, sama saja, hampir tak ada hambatan sama sekali menahan air masuk ke rumah. Atap terus menangis.

“Pak, kapan kita bisa memperbaiki rumah kita? Ya! Paling tidak, nyaman untuk dihuni,” ungkap istriku. Ada impian besar di matanya yang bening.

“Ayah, kapan kita kita punya rumah mewah? aku bosan di rumah yang seperti ini,” kata anakku.

Tak dapat saya pungkiri, kata itu menyinggung perasaanku. Namun, melihat kepolosannya dalam bertutur. Saya tahu, dalam benaknya tak ada maksud untuk melecehkan saya sebagai ayahnya. Saya tahu, memang semua ini adalah tanggungjawab seorang kepala keluarga. Mereka tidak salah. Bahkan mereka berhak untuk menuntut kenyamanan padaku. Semua salahku.

Malam ini, malam minggu. Saya mengajak anak dan istri saya berjalan-jalan di taman kota. Hanya berjalan-jalan. Itu saja. Tidak lebih. Lama tidak jalan-jalan seperti yang biasa saya lakukan, ketika anakku dalam dekapan. Sekitar tujuh tahun lalu, saat si buah hati belum dalam pangkuan. Masih ingat di benak, ketika menikmati hangatnya sajian bakso Pak Oles. Pada saat itu, musim dingin. jadi, sangat terasa betapa nikmat makan bakso panas pak Oles.

Saya dan istri saya membanyangkan, bunga indah di masa lalu. Saat aku bertemu dengannya di sini, di warung bakso Pak Oles.

Kala itu, ada orang kaya makan bakso dengan istrinya. Istrinya bunting—kira-kira hamil lebih dari hamil tujuh bulan. Menurut pengakuannya, sang istri ngidam makan bakso. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan tempat itu. Demi si buah hati pertama yang masih dalam jabang bayi, ia rela berada di tempat yang tidak disukainya.

Saya mendapat orderan di malam yang dingin itu. Ia meminta saya untuk membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak genangan air kotor. Saya tak menyiakan kesempatan. Meski malam sudah larut, kira-kira sudah jam sebelas lebih, saya mau pulang—saya tidak ingin membuang rezeki pemberian dari Tuhan. Aku layani permintaannya. Dia bertanya banyak tentang saya. Mulai pekerjaan, profesi, keluarga, sampai pada lika-liku kehidupan saya.

Sebaliknya, ia juga berbicara banyak tentang kehidupnnya. Pembicaraan kami semakin mencair dan mengalir tanpa bendungan. Ia bercerita, mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.

Berat rasanya menceritakan pada saya. Ada sedikit keraguan pada dirinya, pad diri saya. Mata itu berkaca-kaca. Seolah, akan menceritakan beberapa hal yang belum pernah dimuntahkan dari mulutnya.

”Istriku sedang hamil lebih tujuh bulan. Aku menunggu kehadiran buah hati pertamaku,” katanya dengan nada lirih. Mengapa seakan tak ada kebahagiaan dari cara bicaranya? Apa ia tidak suka?

“Bapak bahagia?” Entah kenapa, setelah saya memandang kacamata minus yang melekat di atas hidung mancungnya, pertanyaan itu muncul sendiri.

“Jelas, bahagia sekali.”

“Kalau begitu mengapa murung?”

“Ah masak.”

“Ya!”

“Mungkin, aku kelelahan menuruti segala permintaannya. Akhir-akhir ini, ia selalu minta yang aneh-aneh. Katanya, bukan dia yang minta, tapi bayi yang ada dalam kandungannya.”

Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan.

“Yang paling aku heran lagi……” beberapa saat, ia memotong pembicaraan. Beberapa detik, jadi menit.

“Ia minta tambahan belanja. Tahukah kau berapa yang dia minta? Sepuluh juta perminggu.”

Gila! Saya belum pernah melihat orang hamil ngidam sampai segila itu. Sepuluh juta? Bagi saya, sudah bisa tidur dengan nyenyak. Buat perbaikan rumah yang hampir condong ke barat.

“Lagi-lagi, katanya bukan permintaannya,” Ia menambahkan lagi. “Tapi bayi dikandungnya.”

Saya membayangkan, belum lahir saja sudah minta sepuluh juta. Apalagi sudah lahir, pasti banyak korupsinya, atau jadi perampok.

“Bapak menuruti?” Ada rasa takut diwajahnya.

“Demi keselamatan anak pertama. Aku rela menuruti semua yang diminta,” katanya mantap. Katanya, ia sudah lama berkeluarga, Lima tahun, baru kali ini, Tuhan mengkaruniai anak.

“Bapak kerja dimana?” Aku tak harus bertanya seperti itu. Aku sudah menduga kalau pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Pakai jas, dasi, dan sepatu yang masih aku semir. Pasti ia baru pulang dari kantor.

“Kamu punya istri?” ia mengalihkan perhatian.

Saya tak menduga orang itu bertanya demikian. Memang, orang seusia saya mestinya sudah menikah dan punya anak

“Belum.”

“Mengapa?”

“Saya takut akan seperti istri bapak. Nanti istri saya meminta macam-macam,” aku sengaja menghiasi ucapan saya dengan tawa, agar terlihat seperti guyonan. Saya takut jika tidak demikian, ia akan tersinggung oleh ucapan saya.

Ia tertawa.

Sunyi.

Kemudian, istrinya memanggil penjual mainan. Yang dipanggil datang. Istrinya subuk memilih-milih boneka Barbie. Untuk anaknya saat lahir nanti, begitulah pengakuan istrinya. Ia pasti menginginkan anak perempuan. Boneka identik dengan anak perempuan.

Orang itu berbisik pada saya, ”penjual itu cantik, cocok untukmu. Pasti ia belum menikah.”

Lalu, ia menyuruh saya untuk berhenti menyemir sepatu dan menyilakan saya makan bersama. Saya menolak meski mau di traktir. Tapi, melihat kemauannya yang sangat besar, tak kuasa juga saya menolak.

Benar kata dia. Penjual mainan itu memang cantik.

Entah apa maunya lelaki ini. Ia juga menyuruh penjual mainan itu duduk, lalu makan bersama kami, ia ditraktir juga. Ada senyum yang mengembang di bibir laki-laki itu ketika saya dan penjual mainan saling tatap. Kemudian ia pamit. Sebelum lelaki itu pergi. Ia mengatakan bahwa bakso kami sudah dibayar.

Ia juga sempat bilang, “ Saya merasa rugi mentraktir kalian, jika kalian tidak sampai jadian.” Begitulah katanya.

“Ongkos semirnya, saya masih akan hutang. Kalau mendapatkan penjual mainan itu, saya akan bayar dua kali lipat. Ini kartu nama saya,” ia berlalu begitu saja setelah memberi tanda pengenalnya.

Mereka tersenyum sipu. Berlalu begitu saja setelah mengeluarkan selembar seratus ribu untuk membayar bakso kami.

"Sisanya untuk kalian berdua," begitu katanya.

Tinggallah hanya saya dan wanita penjual mainan itu. Saya agak gugup pertamanya. Namun, lama-lama rasa gugup itu hilang. Dan, dari bakso pak Oles, mengantarkan saya dan wanita penjual mainan ke pelaminan.

BUMI AL-SAEL, 2008

0 comments: