Tuesday, October 4, 2011

Simfoni Samawi

(Radar Jember, 18 September 2011)

Orang yang datang dalam mimpi. Orang yang membuatku terjaga sepanjang malam. Aku heran, ingin tahu bagaimana dia datang. Pada lorong yang amat jauh, yang takkan mungkin ada orang yang bisa melalui tanpa berpangku asmara, aku menemukan diriku ada di sana. Berkaca pada satu wajah yang bukan diriku.

Awalnya hanya remeh-temeh dalam gagang telephon. Seperti sebuah angin yang mengabarkan kalau musim semi akan kembali. Gugurnya daun berbulan-bulan tak perlu dirisaukan lagi karena pucuk-pucuk muda siap menyambut pagi lebih bermakna dari kemarin. Maka, pada daun yang terakhir mengucapkan “Selamat Tinggal”, pucuk-pucuk muda itu akan menjawab “Pergilah tanpa Sesal”.

Pastilah! Sebelum matahari mengecup kening bumi, telephonku pasti akan berbunyi. Isyarat dering SMS atau panggilan masuk. Dan kata-katanya pun tak pernah berubah. Selalu sama. Namun, aku tak pernah bosan mendengarkannya.


“Pa, sudah solat?” Begitulah bunyi SMSnya. Tak segera kubalas. Tentu kutunaikan dulu solat dua rakaat pagiku. Kau yakin, di sana pasti dia menunggu balasanku dengan sabar. Setelah itu, baru aku membalasnya.

Atau bila isyarat telephone berbunyi….

“Pa, bangun. Tuh, matahari sudah menunggu papa.”

Jika demikian, aku akan langsung menjawabnya dengan rengekan “iya”, meminjam suara serak bayi karena diriku baru menyatu dengan sukma. Setelah itu dia pasti segera menyuruhku solat subuh dan menutup pembicaraan itu. Entahlah, apa dia sabar menunggu balasan kabarku kembali seperti menunggu balasan SMS dariku sambil meneguk teh hangat di pagi hari.

Maka, saat kutunaikan kewajibanku di pagi itu, kusematkan sejenak doa padanya. Semoga, dalam penantian yang entah kapan pastinya, dia setia dengan pengabdian sepinya padaku. Oh Tuhan, bagaimana caranya aku harus mengatakan kepada-Mu bahwa di jalan nun jauh itu, ada aral besar melintang. Siap memisahkan kami berdua: problem jarak pengatur denyut kehidupan kami.

Aku baru melihatnya dengan cara berbeda, sepertinya aku kenal dia selama berhari-hari. Tapi jarang pertemuan itu terjadi. Kami harus berpuasa, menahan rindu dan kangen yang tanpa waktu memberontak digoda gelisah. Tapi, satu doa yang menyatu, membuat kami menaruh keyakinan yang besar bahwa hari raya itu akan tiba dengan sejuta warna dan sejuta melati bertabur di taman.

Malam itu, orang yang aku sebut mama itu bercerita kepadaku bahwa di dunia yang fana ini ternyata ada yang abadi. Dan ia sangat meyakini hal itu bahwa cinta itu abadi. Tapi, aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?

“Ia hanya dikalahkan oleh nafsu,” begitulah jawabmu singkat.

“Benarkah? Lalu bagaimana kemudian jika cinta akan mengikuti arus kesementaraan, lalu menghilang di suatu tikungan?”

“Hem, ternyata papa masih belum tahu antara cinta dan nafsu ada sekat yang amat tebal…”

Lalu, pada kedalaman hati yang keberapa mil dalam arus kehidupan, aku merasakan dia begitu berbeda. meski nun jauh di sana, aku bisa merasakan senyumnya yang mengembang. Dan aku pun tersenyum saat berkaca pada senyuman itu. Ya, aku menemukan malaikat di dalam dirinya yang akan selalu menegurku jika membuat kelalaian dan kesalahan.

Langit menentukan dua hati. Gugup, sepertinya aku tidak tahu mengapa, sepertinya aku sedang menyembunyikan bulan di langit. Tak ingin ada satupun yang mencumbuinya meski dalam ilmu astonomi segala sesuatu yang ada di langit dan bumi tak bisa mengelah dari sabda semesta. Maka, aku pun ingin bersabda bahwa bulanku sudah tiada. Tiada untuk orang lain.

“Apakah aku harus belajar kesetiaan pada kisah Qais dan Laila?”

“Jangan! Kesetiaan cinta tidak akan menjerumuskan manusia pada lubang maut yang akan memisahkan jiwa dan raga. Kesetiaan Qais dan Laila itu dibangun di atas ketaklukannya pada sepi sehingga mereka memilih untuk mati.”

“Terus aku harus bagaimana?”

“Tidakkah papa mengeja pada para pendahulu kita. Ingatlah, pa! pada hakikatnya manusia lahir dari kesetiaan yang sebenarnya. Termasuk kita. Tidakkah papa mengeja kisah kesetiaan Adam dan Hawa ketika oleh Allah diturunkan ke dunia yang sangat berjauhan jaraknya?”

Bandolan jam dinding berdetak tujuh kali. Aku diam menunggu lanjutannya.

“Pa?”

“Ya, teruskan!”

“Karena kesetiaan mereka dibangun atas kesabaran, akhirnya Allah mempertemukan mereka setelah sekian tahun berada di dunia keterasingan. Begitulah seharusnya cinta itu dibangun. Bangunlah kesetiaan papa di atas kesabaran, bukan dibangun di atas sepi,” katanya polos.

Ah, kepolosannya selalu mengalahkanku untuk memberontak. Aku tidak bisa mengatakan sepatah kata. Terus menatap wajahnya dalam angan. Berharap dia tahu bahwa aku telah melihat semua mimpi dalam tahunku. Entah di tahun berikutnya, karena takdir tak selalu sesuai dengan mimpi.

“Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkan sepi?”

“Ingatlah aku saat papa memanjatkan doa. Karena doa tiada pernah terikat dengan waktu. Bahkan jarak pun tak akan mampu membendung kedahsyatan doa. Sejauh apa pun itu.”

“Wah, mamaku is the best…” godaku.

“Ah, papa lebay lagi. , Sudahlah, pa, Solat Dhuha dulu,” katamu mengingatkan. Aku sudah bisa menebaknya karena sebelum kau mengucapkannya, bandolan jam dinding itu telah mengingatkan bahwa kau akan berucap demikian. Lalu, menitipkan doa untukmu.

Begitu indah jika jalinan keluarga yang dibangun di atas kesetiaan dan kesabaran. Namun, sulit sekali menemukan kaki manusia dipijakkan pada kedua alas itu. Keseimbanganpun tak sempurna. Selalu ada yang jatuh pada kesetian dan jatuh pada kesabaran. Ah, seandainya jarak yang membentang manusia bisa merasakan ada sesuatu yang indah di seberang sepi, niscaya tak ada cerita sebuah penghianatan atas nama cinta terjadi.

Aku akan berusaha mengenalimu lebih cepat, karena gambarmu ada di hati. Mama, aku mencintaimu!

Gubuk Cerita, 5.02 PM

0 comments: