Sunday, October 23, 2011

Mengenal Perampok Pasar Pendidikan

Anda pasti tahu bahwa perampok kata dasarnya adalah rampok. Anda akan mengilustrasikan ke dalam ingatan anda bahwa sosok itu bertampang seram, brewok, ada luka gores di bagian tubuhnya dan lain sebagainya. Cesare Lombroso mengakui telah menemukan ciri-ciri perampok ketika meneliti tengkorak Vilella, perampok terkenal di Italia.

Dengan gamblang ciri-ciri perampok menurut penelitiannya, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya L’uomo delinquente alias Manusia Penjahat (1876) sebagai berikut: memiliki rahang yang luar biasa besarnya, tulang pipi yang tinggi, ada tonjolan melengkung pada alis, mempunyai garis-garis yang tegas pada telapak tangan, rongga mata yang sangat besar, telinga berbentuk gagang wajan, penglihatannya sangat tajam, memiliki kegemaran menato tubuh, memiliki kesukaan terhadap pesta gila-gilaan, dan keinginannya kepada harta sungguh tak tertahankan.

Pendapatnya masih sangat berpengaruh sampai sekarang. Lihatlah, ketika anda melihat adegan film-film aksi, dari kisah klasik cerita kerajaan babat Jawa sampai film aksi modern Rambo, Andi Lau, Jacky Chan dan film lainnya. Tokoh yang diperankan oleh si perampok tidak akan jauh berbeda dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, paling tidak berwajah seram. Apa disengaja? Tentu. Itu dilakukan karena memang ingin membedakan antara yang dirampok dengan yang merampok.

Lantas bagaimana dengan para perampok pendidikan? Apakah juga mengikuti ciri-ciri yang telah ditulis oleh Lombroso? Tentu berbeda. Perampok pendidikan berbeda dengan perampok di jalanan. Sebagaimana orang yang terdidik, tentu ia lebih condong menggunakan akalnya daripada kekuatan. Ia lebih suka bermain di belakang layar orang-orang yang bodoh. Wong namanya orang terdidik.

Jika saya bertanya kepada anda, apa syarat menjadi guru? Saya yakin jawaban pertama anda adalah orang itu harus pintar atau cerdas. Kemungkinan jawaban lain, harus sarjana. Saya sepakat dengan jawaban yang pertama, tetapi saya kurang bersepakat terhadap jawaban yang kedua. Mengapa? Banyak masyarakat yang lebih memilih jalan menjadi guru sebelum ditetapkan menjadi guru. Tak peduli dengan tingkat pendidikannya seperti apa, yang penting mengajar duluan, lah. Masalah syarat-syaratnya, itu agenda sepersekian. Yang penting mengajar, dapat gajian, baru buat modal sertifikasi atau kuliyah lagi melalui jalur “patas”.

Ah, saya hanya pelajar yang “kebetulan” mengambil jurusan di bidang pendidikan, jawaban yang paling kongkrit bisa anda tanyakan sendiri pada guru atau pengamat pendidikan, apakah itu termasuk perampok pendidikan atau bukan? Menurut saya, terlalu dini untuk memfonisnya.

Sebenarnya sekarang ini, perhatian pemerintah sangat besar terhadap dunia pendidikan. Ada Bantuan Operasional Sekolah/Madrasah (BOS/BOM), SPP gratis, tunjangan fungsional guru, tabungan pendidikan bagi siswa yang berpestasi, beasiswa, sampai pada bantuan infrastruktur sekolah yang kesemuanya diambil 20 persen dari anggaran APBN dengan tujuan meminimalisir jumlah anak yang putus sekolah. Namun sepertinya anggaran itu tidak cukup untuk meminimalisir—kalau menghilangkan tidak mungkin—jumlah anak yang putus sekolah. Hanya “pasar” baru tercipta.

Ternyata, untuk membuat “pasar” di bidang pendidikan (dengan seabrek dana yang ada) sangat mudah. Modalnya sedikit hasilnya banyak!

Baik, sampai di sini anda sudah memasuki pasar. Interaksi jual-beli pendidikan terjadi di sana. Karena pasar pendidikan, maka anda harus berpenampilan sebagai orang yang berpendidikan, meskipun anda adalah perampok. Ganti dulu senjata tajam anda dengan spidol. Tebalkan dulu bedak anda agar goresan di muka anda tidak kelihatan. Lalu, berdasilah dan berjalan ke pasar. Saya sarankan, anda jangan berjalan seperti gaya pak SBY. Kata budayawan Sujiwo Tejo, jalannya pak presiden penuh kebohongan yang mudah dilihat oleh orang lain. Berjalanlah seperti biasa. Santai. Bila perlu, tirulah gaya berjalan dan logat bicara orang jepang, karena sulit anda mendapati gaya berjalan seorang guru seperti itu, apalagi guru PNS. “Gak usah buru-buru, gaji tetap cair,” begitulah senyumnya berbicara.

Lakukanlah segera transaksi pendidikan anda jual-beli dengan orang bermodal. Awas, hati-hati! Penampilan anda sama seperti mereka, bisa jadi sama-sama perampok. Setelah sukses melakukan negosiasi, maka bersegeralah pergi, jangan sampai membuat keonaran. Lho, bukankah perampok itu berhubungan erat dengan tindak kriminal? Kalau begitu penipu, dong?

Anda orang berpendidikan, bung! Begini, perampok tak jauh berbeda dengan penipu, sama-sama merugikan orang lain. Bedanya, perampok itu kelas bawah alias hanya punya otot, sedangkan penipu itu kelas atas alias kerja pakai otak. Ingat, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa anda adalah perampok yang berpendidikan! Jika anda memaksa bahwa perbuatan itu tetap penipuan, maka argumen saya untuk menyebut anda perampok bahwa tindak kriminal yang anda lakukan adalah menyengsarakan anak didik! Perspektif pribadi, saya lebih memilih menelantarkan mereka di jalanan dengan status anak yang tidak mengenyam pendidikan sekolah daripada bertanggungjawab tetapi kemudian menyengsarakannya dengan permainan yang anda lakoni tadi.

Di pasar itu anda akan banyak menemui tenaga pendidik yang mengajukan proposal yang dipermak sedemikian rupa, menggoda guna mencairkan dana yang ada. Tak sedikit lembaga sekolah yang mewanti-wanti siswa atau muridnya untuk membeli buku paket pelajaran. Alasannya supaya praktis dan efisien, dan merata (karena semua siswa harus membeli?). Atau memberi hukuman (punishment) dengan membayar denda bagi siswa yang kena perjanjian, satu mata pelajaran seratus ribu, misalkan. Atau juga barangkali menarik sumbangan sebesar-besarnya pada awal masa penerimaan siswa baru. Sayang, kan, jika pendafratan digrastiskan!

Anda tahu, pendidikan kita saat ini adalah terburuk se-ASEAN di bawah Kamboja. Pada bangsa ini kita masih memilik rasa “bangga” karena ada yang mengalami nasib yang lebih buruk. Tapi, secercah harapan masih kita miliki selama Menteri Pendidikan Muhammmad Nuh bersikap seperti Nabi Nuh, selalu menyerukan kebenaran dan tak pandang bulu, meski istri dan anaknya tetap membangkang. Amien.

0 comments: