Tuesday, October 4, 2011

Pemburu Matahari

(Minggu Pagi, 09 September 2011)

Kata orang, sahabat nelayan adalah matahari. Tanpa cahayanya, hidup mereka susah, karena mendung akan membuat badai. Tentu, mereka turut cemas karena tak akan menuai panen. Ikan-ikan akan cepat membusuk, sulit diawetkan. Kulit mereka yang hitam dan kering semakin mentahbiskan pernyataan itu memang benar adanya. Seringkali mereka disebut pemburu matahari karena mereka akan mengejar matahari ke tengah laut jika petang tiba dan baru akan kembali keesokan harinya untuk dipersembahkan kepada istri-istrinya sebagai tanda cinta, yang semalaman tidur sendirian dan yang telah telah mengimpikan jatuh dipelukan.

Begitu keraskah hidup di tepi laut?

Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku menghirup udara dunia pertama kali, aku terkagum melihat keindahan pantai yang lama kutinggalkan. Pohon Cemara Udang berjejel rapi di pinggir pantai membentuk garis-garis indah. Daunnya terserat angin, seperti rumbai-rumbai sutera, mengundang kenangan. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggodaku berlayar dan bersenandung Ole Olang. Rumah-rumah nelayan begitu sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut menebar kesan istimewa. Panorama yang bagiku sulit mencari padanan kata untuk mendeskripsikannya. Tentu, pemandangan ini bukan sesuatu yang asing lagi bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerinduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah yang dikatakan si raja dangdut, Rhoma Irama. Dan, begitulah perasaanku kini.


Aku ingat kisah yang sering nenek ceritakan saat aku masih kecil. Cerita-cerita yang selalu menjadi pengantar tidur anak-anak nelayan. Bahwa kehidupan kami tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Lihatlah, sulit mencari rumah nelayan yang bertolak belakang. Tak ada diantara kami melaut berangkat sendiri. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan ikan akan dibagi sesuai kesepakatan. Tapi sayang, kisah itu tak bisa kulanjutkan kembali. Kisah itu yang terakhir kali kudengar sebelum nenek terlelap dalam sebuah tidur yang amat panjang.

Pada pengujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun kutinggalkan. Kebetulan, skripsiku sudah selesai, tinggal menunggu munaqosahnya. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliah ke Jogjakarta, inilah kali pertama aku kembali ke Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura, tempatku dilahirkan. Sengaja memang aku tak pernah pulang. Aku ingin melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru bahagia. Kerinduan yang bercucur menjadi air mata, katanya sangat indah seperti mutiara di tengah lautan.

Berdiri setelah sekian lama pergi, rasanya tak ada yang berubah. Kampungku seperti sedia dulu. Jalanan aspal berlubang membahayakan, kerikil-kerikil itu mudah terlepas. Apalagi bau amis sudah menjadi bagian dari “gaya hidup” mereka dengan gaya khas tarik suara lantang karena angin dan ombak telah mengajarkan mereka bagaimana bersikap tegap dan tegas menjadi seorang nelayan.

Aku mesti melewati Pasar Pao, salah satu tempat interaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak ikan di kampong kami. Pasarnya cukup ramai. Bau anyir ikan di pasar itu memaksaku menutup hidung. Pasar itu didominasi kaum perempuan. Ketika para lelakinya pergi melaut, kampung nelayan tak ubahnya kampung perempuan. Tak ada yang dilakukan mereka kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang kurang terpenuhi, sampai pada centilan-centilan renyah tentang perselingkuhan dengan tetangga atau dengan para tengkulak ikan. Cerita tentang kesengsaraan dirajam sepi ditinggal oleh suami. Jalanan yang sempit membuatku tidak bebas bergerak. Aku harus berjalan zig-zag manakala bepapasan dengan orang.

Siluet senja pada sore itu cukup indah walau sekelilingnya diselimuti awan kelabu. Matahari kulihat masih sempurna. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, seorang perempuan tak hentinya menatap senja. Wajahnya tenang namun tirus. Pandangannya tepat mengarah pada matahari itu. Hem, aku teringat, simbol matahari melambangkan pusat semesta; dan matahari digunakan sebagai lambang dari orang yang lahir dengan bintang Leo. Apalagi hari ini adalah minggu pertama bulan Agustus. Konon, sosok Leo selalu ingin menjadi pusat peristiwa; ia ingin menjadi fokus perhatian orang-orang dan selalu ingin merasa dihargai. Tak heran jika ia kemudian selalu ingin menonjolkan dirinya, meski mungkin dibalut dengan retorika. Mungkinkah dia ingin menjadi matahari?

Aku baru melihatnya dengan cara yang berbeda. Sepertinya aku mengenalinya selama berhari-hari. Ya, perempuan itu Maemunah, teman sekelas waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta padanya. Dulu, entahlah kini. Ah, sepertinya cinta lama akan bersemi kembali. Aku ragu masih akan bersikap seperti dulu atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri walaupun di sini adalah kampungku sendiri.

Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.

Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata Emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan hanya sebutir nasi. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarganya. Nelayan yang hanya memasrahkan hidup sepenuhnya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat.

Ah, selalu saja demikian.

Semua orang menyimpan sebongkah matahari dalam dirinya. Ada yang terbit dan ada yang terbenam. Matahariku bersinar nonstop dua puluh empat jam. Masih adakah cucian yang belum kering? Adakah sampah yang ingin kalian bakar? Mari, dekatkan pada wajahku. Secarik kalimat yang menutup bacaan novelku malam ini, Supernova Dewi “Dee” Lestari.

Setiap kali pergi ke pantai, setiap kali pula aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal, ia bukanlah penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Atau ia ingin membuktikan bahwa sosok Leo adalah dirinya? Kusempatkan diri menyapanya, sekedar mengisi ruang berbagi dan mengumpilkan kepingan puzzle masa lalu yang mulai menemukan padanannya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu.

“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Nafasku di Dada berdesakan. Hem, cintaku padanya belum pergi!

Dia menatapku. Lama. Kami beradu mata. Tanpa kata. Tanpa bias senyum. Kaku. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan memesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa, ceria dalam bahagia, dan sedih karena duka. Namun, tak lagi ada keseksian pada lekuk tubuhnya. Perutnya membuncit.

“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya. Nyaris beradu.

“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”

“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret kami pada masa lalu.

“Setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Sejak kapan kau menjadi penikmat senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah berpaling dariku dan kembali menatap senja. Balutan kain cokelat transparan yang membalut kepalanya berirama ditiup angin.

“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, tapi belum tahu pasti.

Mendengar nama itu, kenangan semasa SMAku semakin komplit, seperti telah menemukan jalan lurus untuk kuceritakan kembali dalam ruang sunyiku. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan incarannya sejak masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Kupikir waktu cukup berkuasa dalam soal ini. Bukan cuma tak mau berkompromi, tapi ia akan melumerkan segalanya, hingga orang selalu ingin bertanya tentang makna. Hanya dengan cara begitu, orang menghadapi tirani waktu yang terlalu perkasa untuk kita manusia. Ah,Betapa beruntungnya kau kawan!

“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan menikah?”

“Sudah hampir setahun. Setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini berusia tiga bulan, dia pergi,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.

“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”

“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri di sini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolak, mengalir membelah pipinya.Beberapa kali ia mengusap-usap perutnya.

“Lantas, mengapa tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.

“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu sudah tidak berani melaut karena cuaca tak menentu. Selain melaut, sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan Kang Bahris merasa terpanggil.”

“Kau tahu di mana tempatnya bekerja?”

“Entahlah, aku tidak tahu ia berada di mana. Yang jelas ia pergi, diajak Ki Urat. Katanya akan bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu ia mengirimiku banyak uang hasil kerjanya sebagai kuli bangunan. Ia menitip pesan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang. Tapi nyatanya sampai saat ini ia belum datang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam palung hatinya.

Aku, tanpa kata.

“Apa kau sanksi?” Aku ragu.

“Soal apa?”

“Ah, tidak. Lupakan.” Aku tak ingin ia salah sangka.

“Soal cinta?”

Aku diam.

“Benar, kan?”

Tetap diam.

“Aku percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang abadi, bahwa cinta sejati itu ada dan akan membahagiakanku,” katamu dengan nada optimis tersisa. “Aku ingin cintaku memuai mengikuti cahaya matahari yang memberi terang ke seluruh pelosok negeri. Atau kalau perlu aku ingin menjadi matahari.”

Begitu keraskah hidup menjadi nelayan? Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? kisah para pemburu matahari versi nenek kembali menggantung di pikiranku. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas untuk dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya ia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya ia akan takut dengan kerinduan.

Berbicara tentang kebahagiaan, kukira kebahagiaan itu, yang diburu oleh orang dalam jalinan cinta. Bahwa suatu saat cinta menghilang, bukan berarti kebahagiaan juga akan ikut menghilang. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, dan itu berarti banyak cara untuk meraih kebahagiaan, bahkan jika mungkin cinta kita pergi lebih cepat dari yang kita duga. Seperti waktu.

Lagu Def Leppard, Where does Love Go When It Dies menutup malamku.
Kampung Cerita 04.36 AM

0 comments: