Wednesday, April 13, 2011

Nelayan Anak


(Bangka Pos, 23 Maret 2011)

Percikan air laut menjadi napasnya. Riak ombak yang tenang mengajaknya berdiskusi tentang perjalanan yang menggelombang. Ya, begitulah! Banyak orang yang belajar hidup dari gelombang.

Bocah itu berdiri di bibir pantai. Angkuh. Ia ditakdirkan lahir dari ombak yang pecah hingga menjadi buih. Kepalanya bercahaya, matanya berkaca-kaca. Polos. Rambutnya yang pirang seperti rumbai-rumbai sutera. Kaki hitam bocah itu tak pernah lelah. Seperti pasak. Tak bergerak. Tak beranjak. Setiap pagi dan sore ia terus-menerus berdiri di bibir pantai itu. Menatap perahu yang nampak kecil dalam pelayaran. Di tangan kiri, tergenggam erat jala yang sobek.

Sepasang mata bundarnya tak pernah lepas dari ujung layar. Menembus kegalauan, mengupas keresahan. Apakah bocah itu ingin melaut? Mengapa harus menunggu matahari terbit? Atau hanya sedang mengajak diskusi gelombang? Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh bocah ceking itu hingga ia dijuliki Nelayan Anak. Bukan Anak Nelayan. Bukan pula Slamet sebagaimana namanya sendiri.


Ada ketenangan bila melihat layar itu, meliuk-liuk bak penari. Seperti perjalanan siput kecil, satu persatu perahu itu mulai menepi. Dada bocah itu semakin berdegup guncang seperti laut pasang. Lepas. Siap menerjang.

***
Senja menepi, Suasana pantai mencair. Seperti sore kemarin, para nelayan menenteng jaring dengan segepok harap tanpa tanya. Mereka akan majeng , mengarungi seluruh penjuru mata angin. Nelayan, selalu membisikkan kata-kata syahdu dalam bingkai katulistiwa yang melimpah ruah kekayaannya. Para petarung dengan beban moral kehidupan yang manusiawi. Ombak yang bergulung bukan aral untuk menembus masa depan.

Tembang saronen yang dimainkan oleh lelaki tua disetiap jengkal warna senja menjadikan sore semakin sempurna, mencairkan kesuyian anak dan istri para nelayan yang mengantar mereka ke tepian pantai. Mereka tercipta dari laut dan sudah sepantasnya kembali ke laut.

“Pak, aku mau ikut,” kata Slamet menarik-narik baju ayahnya.

“Belum saatnya kau berpetualang,” katanya tersenyum.

“Tapi aku ingin ikut bapak. Aku ingin bermalam di laut, melihat ikan-ikan yang menggelepar di jaring,” Slamet memaksa.

“Mat, di laut banyak karang kasur . Mereka suka makan anak-anak,” kata ibunya menimpali.

Slamet tak tampak takut. Justru bocah itu semakin ingin turut serta mencari hakihat hidup di laut. Ia ingin mencari kedamaian yang selalu mengantarkan ayahnya suka bermalam di sana. Ia masih ingat perkataan ibunya: menjadi nelayan tak ubahnya seperti ikan di laut; memiliki ruang amat bebas selama masih ada nafas kehidupan.

“Jangan khawatir, jika kau sudah cukup umur aku akan ajarkan bagaimana caranya menjadi putra Sagoro . Akan bapak ajarkan cara menaklukkan gelombang.”

Pelukan ibunya semakin mengukuhkan bahwa ia mendukung penuh perkataan suaminya. Slamet diam dalam dekapan, seperti anak kucing yang kedinginan. Sementara tembang Saronen terus mengalir mengantar perahi menjauh dari tepian.

Malam menebar sunyi. Gemuruh ombak kembali menjadi orkestra. Langit kelam. Sesekali geluduk bersahut. Sepertinya langit akan menumpahkan air matanya. Kampung nelayan benar-benar sepi. Tak ada pebincangan hangat ibu-ibu perihal melonjaknya harga ikan dan harga barang dapur yang melejit-lejit. Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah dan memanjatkan doa-doa demi keselamatan suami, karena suara geluduk adalah pertanda buruk bagi mereka.

“Kau belum tidur?” kata Sumiarsih.

“Apakah bapak di sana kedinginan?”

“Anakku, nelayan tak pernah mengenal dingin. Angin akan selalau menjadi selimutnya dan ombak adalah bantalnya . Jadi, tak ada yang perlu kau risaukan. Sekarang tidurlah, waktu sudah cukup malam,” Sumiarsih membaringkan Slamet di atas tembikar dan mengusap-usap punggungnya.

Ia hanya bisa memejamkan mata, sedangkan pikirannya tak bisa. Di luar, pintu rumah diketuk seseorang. Malam itu sepertinya akan ada tamu. Sumiarsih beranjak keluar. Slamet disuruh tetap berada di tempatnya. Namun, keinginan dan keyakinan kuat bahwa yang mengetuk pintu itu adalah ayahnya membuatnya tak menghiraukan perintah itu. Ternyata yang datang adalah Ki Ranggi, tengkulak ikan yang kaya raya dan disegani. Jangan ditanyakan perihal hartanya, karena hampir seluruh nelayan di kampung itu memasok ikan padanya.

“Kamu, ki. Mari, silakan masuk,” kata Sumiarsih tersenyum, ramah. Lelaki beristri dua itu tersenyum pula.

“Suamimu melaut?”

“Ya, aku sedikit khawatir. Cuaca malam ini sepertinya akan buruk.”

“Nyai, nyai. Seperti tidak kenal saja siapa Bunawi. Suami nyai itu lelaki tangguh. Buktinya seburuk apa pun cuacanya, dia selalu memeroleh tangkapan ikan yang banyak.” Katanya cengingikan.

Malam berkilat. Suara geluduk terus menebar kecemasan. Slamet benar-benar tak bisa tidur. Teringat selalu ayahnya. Miris. Ia keluar menghampiri ibunya yang sedang bercanda ria dalam perbincangan santai dengan Ki Ranggi. Sumiarsih sedikit kaget karena tiba-tiba Slamet merengek disampingnya.

“Mat, ini sudah malam. Kembali ke kamarmu,” kata Sumiarsih sedikit membentak. Ki Ranggi menenangkannya.

“Bapak tidak pulang! Aku ingin bapak pulang. Aku ingin ditemanibapak.”
“Mat, tak akan terjadi sesuatu dengan bapakmu. Ia lelaki tangguh, tak mempan jika ombak menggulungnya,” Ki Ranggi menimpali.

“Aku ingin menemui bapak,” Slamet memaksa.

“Temui sana di lautan, sekalian kau diterjang ombak,” Sumiarsih naik pitam.
Perempuan dua puluh tahun itu mengacungkan jarinya. Slamet kecewa. Air pun mengalir dari mata cekungnya.

“Aku ingin bapak!”

Slamet meninggalkan rumah. Ki Ranggi hendak mengejar, tetapi Sumiarsih melarangnya.
“Sudahlah ki, biarkan sekehendaknya. Nanti, dia juga akan kembali. Kita lanjutkan kembali pembicaraan kita,” katanya tersenyum.

Tak sepenuhnya Sumiarsih merasa benar. Dialah yang bersalah. Tetapi, saat itu Slamet hadir di waktu yang kurang tepat. Untung dia hanya seorang bocah yang tak mengerti persoalan orang dewasa. Kendati demikian, Sumiarsih merasa sangat berdosa; pada suaminya, pada anaknya. Hatinya mengetuk bimbang.

***
Rupanya, Slamet semakin tidak menyukai Ki Ranggi bermain ke rumahnya. Pasalnya, setiap kali beramah tamah, tengkulak itu sering ngobrol hingga larut malam. Lebih tidak suka lagi Ki Ranggi mulai berani mengajak Sumiarsih keluar rumah, berjalan-jalan, berboncengan dengan sepeda motornya. Jika sudah demikian, Slamet akan ditinggalkan sendirian di rumah. Kemunculan seringkali bertepatan ketika ayahnya sedang melaut.

Slamet merasa kian terasingkan. Tak ada lagi tembang-tembang kejhung yang biasa didendangkan oleh ibunya sebagai pengantar tidur. Tak ada cerita-cerita persahabatan antara anak ikan dengan anak pantai. Semuanya hambar. Sunyi. Ki Ranggi telah merenggut keceriaan bocah itu.

Sejak saat itu setiap bapaknya pergi melaut, Slamet selalu mau ikut, tetapi selalu tidak diperbolehkan. Entah karena alasan apa, bapaknya tak pernah menjelaskan. Padahal Sargem, temannya bermain sudah sering ikut melaut bersama bapaknya. Katanya, di tengah laut dia menemukan sesuatu yang amat indah, yang tidak bisa diungkapkannya. Ah, anak kecil tahu apa.

Seperti sore kemarin, Slamet dan ibunya, juga beberapa istri-istri para nelayan mengantar dan melepas suaminya. Memasrahkan seluruh nasib mereka pada air asin, angin dan gelombang.

“Pak, Slamet mau ikut,” tangan Slamet memegang erat paha bapaknya.
“Tak ada yang indah di laut, semua penuh tantangan,” kata bapaknya tenang.
“Aku ingin ikut bapak!”

“Kamu di rumah saja, ajher mamaca ,” sambung ibunya. Slamet mulai merasa perhatian ibunya dibuat-buat. Ketidaksukaannya pada Ki Ranggi mengeluarkan citra negatif, dia berpikir perempuan didekatnya itu akan melupakannya jika sudah bersama Ki Ranggi.
Sumiarsih mengalungkan tangan pada pundaknya, tetapi Slamet menepisnya. Ternyata, ayahnya tak mengerti dengan perasaan Slamet. Justru dia memarahinya, membela Sumiarsih: tak baik bersikap demikian pada orang yang telah melahirkan ke dunia. Slamet kecewa. Ia meninggalkan pantai dengan gerimis di kelopak matanya. Sekarang tak ada yang peduli. Semuanya tak mengerti.

Ketika para lelakinya melaut, kampung nelayan tak ubahnya kampung perempuan. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang pantai, saling berhimpitan, dan menghadap ke laut hanya akan mengisahkan satu cerita tentang kesengsaraan dirajam sepi ditinggal oleh suami. Tak ada yang dilakukan mereka kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang kurang terpenuhi, sampai pada centilan-centilan renyah tentang perselingkuhan. Paling tidak kebiasaan yang sering dilakukan hanyalah menjemur sisa ikan yang masih ada atau yang tidak terjual agar tetap awet dan tidak membusuk.

Dalam perjalanan pulang, Slamet banyak diam. Dia berjalan di depan ibunya. Bias senja jatuh dikakinya yang angkuh. Hatinya masih sakit. Beberapa perempuan yang sedang ngerumpi memandang ibu dan anak itu dengan mata picing.

“Duh, yang lagi punya suami baru. Mau nginap berapa malam pun gak akan sepi. Toh, akan ada yang memberikan nafkah yang lebih besar,” kata perempuan di emperan rumah.

“Apanya yang lebih besar, jheng?” perempuan yang satunya menimpali.

“Semuanya,” perempuan itu tertawa lepas. Direspon oleh tawa yang lain.

Suara itu terdengar memekik. Slamet dan ibunya menoleh. Empat perempuan sedang duduk santai: yang satunya sibuk mencari kutu perempuan di depannya, sedangkan yang lainnya beradu tawa. Sumiarsih merasa kikuk menjadi bahan perhatian mereka, tetapi ia memilih tak memperpanjang urusan.

Malam pun tak begitu indah. Keterasingan tak bisa ditolaknya. Slamet tak bisa tidur. Tanpa sepengetahuan ibunya, dia keluar rumah. Pergi menelusuri bibir pantai untuk mengajak buih menghapus kesedihannya. Di langit, dia melihat bulan sabit dan bintang bertebaran begitu banyak. Mungkin benar apa yang dikatakan Sargem, bahwa hidup di laut memang begitu indah.

Lama sekali Slamet mematung di sana. Seringkali dia melambaikan tangannya ketika melihat pijaran di tengah laut. Ia seakan memberitahukan ayahnya kalau sekarang berada di bibir pantai. Atau mengucapkan selamat mengarungi lautan lepas dan bercumbu dengan ikan-ikan. Tanpa terasa, bulan sabit yang menggantung telah raib. Dia mencari ke mana raibnya bulan itu. Segala penjuru mata angin ditelusurinya. Tidak ada. Pelan, di arah timur, dia melihat pijaran cahaya yang warnanya persis menyerupai bulan. Bahkan berkilat-kilat. Kadang terang, kadang redup. Apakah bulan sedang mampir ke rumahnya? Ah, betapa girangnya Slamet. Segera dia menghentakkan kaki untuk menyambut bulan.

Bulan oh bulan. Cahayanya semakin tampak dan terang. Berpijar. Tapi, Slamet datang sangat terlambat. Orang-orang sudah berdesakan di depan rumahnya mengantarkan kecemasan. Sebagian lagi menikmatinya sebagai luapan emosi yang mengarat.

“Rasakan kau pelacur! Siapa suruh merebut suami orang,” kata nyi Marsih, istri Ki Ranggi. Tawanya puas. Seperti memanggil kobaran api. Lebih besar.

Lamat, langit pun pekat. Seluruh isi rumah itu telah dibabat habis. Orang-orang yang turut hadir hanya merasakan kengerian seperti tontonan yang mengasikan. Kilatan dan percikannya seperti kembang api di malam tahun baru. Slamet terpaku. Seluruh mata telanjang membekukannya. Bocah itu menemukan alamat baru di sana, di dalam api. Bahwa ternyata api lebih indah dari air; buihnya berpijar, percikannya berkilau dan gelombangnya variatif penuh warna. Esok, Slamet akan menceritakan pada kawanannya bahwa laut bukanlah segalanya, ada yang lebih indah dari itu. Dan pasti, ia akan meminta ayahnya untuk memastikan apa yang dilihatnya adalah keindahan. Keindahan tidak ada daripada ada ataupun mengada.***
Kampus Putih, 16 Maret 2011
dimuat di Bangka Post tanggal 27 Maret 2011

0 comments: