Wednesday, April 13, 2011

Balada Luka

Kalau ada yang bertanya, siapa luka? Maka aku akan menjawab, akulah luka itu. Kalau ada orang yang bertanya tentang siapa derita? Aku terluka lantaran aku sering dicampakkan cinta yang dulu bersemai engkau gadaikan dengan sekantong rupiah, aku selalu dimuntahkan dalam diorama sunyi. Dalam detakan detik yang hanya tercipta untuk meledakkan buntalan molotov. Blaarrr! Larva resah mengucur, mengalir deras dan menghancurkan kerikil dan pohon-pohon yang tegak di dadaku; halilintar yang hendak menyapu apa saja. Aku teluka, Belati yang engkau tikamkan masih menancap, betina liar; lautan bersaksi.

Ah, rasanya, luka ini akan menjadi sayatan kisah sepanjang masa. Lukaku karena penghianatan, tembang bernanah yang engkau nyanyikan, lewat mulutmu yang busuk, bau penuh comberan. Penuh bangkai. Biadab, engkau sebagai mahluk Tuhan.

“Benarkah engkau adalah luka” apakah engkau masih belum percaya dengan bentuk tubuhku yang memar, lebam, anyir penuh dengan darah ini –semua karena ulahmu.

Aku selalu menelanmu dalam sepi sebagai bidadariku yang paling busuk bukan karena aku tahan dengan tusukan belati yang engkau hunjamkan pada seluruh tubuhku. Aku percaya darah sebagaimana aku percaya bahwa sang merah putih berkibar karena darah itu muncrat ke tanah.



Betina busuk, teruskan saja belatimu itu engkau ayunkan. Dengan segala kekuatan dan kepuasan. Sepuas-buas kebinalan yang memang menjadi sifat kurang ajarmu sebagai betina. Betina yang lahir dari rahim kebusukan dunia –duniamu yang tidak pernah belajar menghargai cinta.

Engkau, kalau boleh ada yang berhasrat menulis oh, lebih enak dikupas dalam sisi tengek muka dan ketiakmu. Sampah yang menumpahkan bau ke segala pelosok mungkin masih harum ketimbang bau busuk keringatmu. Aku ingin muntah ketika melihat bayanganmu. Gempal payudaramu seperti hendak mencakar-cakar langit biru. Amis. Oh, kenapa tidak Tuhan ciptakan saja engkau sebagai manusia berbulu binatang buas agar orang yang melihat berhati-hati dengan keanggunan yang sengaja engkau tutup-tutupi, dengan parfum kelas tinggi dan pakaian terseksimu.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk, masihkah engkau punya nyali untuk berdiskusi mengenai luka. Padahal engkau adalah generasi luka. Sudah banyak engkau menelan luka-luka itu. Ingatlah betina busuk, luka-luka sejarah yang telah engkau torehkan, nanti akan berbanding dan berlipat-lipat dalam kamus kebencian anak manusia. Betina busuk, lidahmu tidak akan pernah menjadi sabda bagi duniamu, karena engkau adalah bangkai. Vaginamu penuh nanah dan mengalirkan getah-getah. Jangan engkau pernah bermimipi akan melahirkan bayi-bayi mungil nan lucu. Yang akan mendiami jagad. Meneruskan perjuangan dan misi suci kemanusiaan.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk, janganlah kau berapologi di hadapanku. Luka yang engkau bingkiskan dalam hati masih akan membekas dan akan selalu utuh menjadi sandaran. Tiap musim, akan ada perayaan mengenang dan mengingat kebejatanmu sebagai betina yang hina. Seharusnya kamu malu mempertontonkan auratmu yang gembel dan berlumuran ulat itu. Ah, tapi bukankah engkau memang betina yang tidak pernah merasa malu dengan ketololan yang engkau miliki?

Betina itu menangis; engkau terluka karena aku?

Sudah aku katakan, aku sangat muak melihat kedipan matamu. Betina busuk, jangan coba-coba mengerlingkan mata yang engkau poles dengan keindahan. Parfum dan mick upmu sudah basi, tidak menarik lagi. Sudah cukup menjadi bukti bahwa semua itu hanya guratan gombalmu untuk mendapatkan mangsa. Engkau kan memang selalu lapar, ingin melahap mangsamu dengan ganas dan beringas?

Menangis!

Betina busuk seperti kamu masih sempat menumpahkan air mata? Tak pantas kau menumpahkan air mata. Air mata hanya milik perempuan mulia. Seorang Ibu yang selalu sayang dengan kodrat keibuannya. Anggun dan peduli dengan masa depan anak-anaknya. Generasi bangsa yang akan mengantarkan gerbang kehidupan ini pada pelita dan cahaya. Air mata itu adalah milik ibu yang menjadi matahari. Lampion yang selalu bersinar menyinari jagad raya.

Betina busuk, kenapa engkau selalu mengembosi diri dengan berpura-pura menjadi seorang hamba yang mulia? Kalau engkau memang busuk, akuilah! tipikalmu memang iblis.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk jangan menambah rasa benci dalam diri ini. Aku sudah menyaksikan betapa belati yang menancap di matamu sangat sadis. Sakit kala engkau tikamkan ke dada. Engkau memang mahluk paling bejat di dunia, Aku engkau jadikan tumbal pamor genitmu.

Ya, Allah! Kenapa dari awal aku tidak berhati-hati dengan tipu muslihat betina gadugan seperi Engkau. Engkau tipu aku mentah-mentah. Engkau mengaku sebagai bidadari yang selendangmu masih suci. Engkau memikatku dengan senyum Nawang Wulan. Engkau sangat hebat, Lebih hebat dari bunglon yang bisa berubah kapan saja. Engkau memantik simpati di sana-sini. Empati terhadapmu hanya igau burung yang tak pernah engkau hiraukan.

Engkau sok alim, setelah engkau merebut sepotong hatiku. Dengan memakai jilbal, kerudung warna pink kesukaanmu engkau memantapkan diri sebagai seorang betinaku yang paling aku sayang. Aku baru sadar apa yang sedang engkau lakukan sekarang adalah serangkaian kebusukanmu.

”Enyahlah dari hadapanku!”

“Apakah engkau terluka?”

“Apa pedulimu?”

“Jawab dengan jujur, kenapa engkau terluka?”

“Karena aku dihianati?”

“Kenapa engkau dihianati?”

“Karena perempuan memang suka melihat mangsanya menangis sepanjang hari?”

“Benarkah engkau menangis?”

“Haruskah aku jawab?”

“Ya?”

“Untuk apa?”

“Sebagai bukti bahwa laki-laki juga punya perasaan”

“Bukankah perempuan juga mahluk yang berperasaan?”

“Yaps!” Sekuntum bunga mawar menebar wangi. Semerbak. “Tapi kenapa perempuan bisa juga berbuat seperti itu?”

“Apa! Perempuan?”

“Ya”

“Kenapa perempuan?”

“Karena dia adalah perempuan”

“Kenapa dia?”

“Karena dia adalah orang yang pernah aku sayangi”

“Kenapa engkau manaruh sayang?”

“Karena aku manusiawi”

“Apakah semua manusia harus mempunyai rasa sayang?”

“Ya, selain betina yang busuk itu”

“Maukah engkau mengajari aku cara menyayangi seseorang?”

Mulutku terkatup. Bayanganku tentang betina binal itu mulai terkubur. Aku menunjuk ke arah langit. Walau kurang mengerti. Di ufuk barat, tepat di jeda waktu, di antara celah-celah gedeg surau Kiai Ruba’i takbir hari raya qurban menggema ke semua sudut bumi; Allah Akbar!
D-Sapoeloe, 5.47 AM

0 comments: