Monday, April 25, 2011

Lomba Menjadi Penulis

Pada tahun 2006, bisa dikatakan sebagai masa bangkitnya geliat kepenulisan di internal Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA)—yang pada Oktober tahun lalu sudah resmi menjadi Institut, INSTIKA. Tahun itu, Ahmad Khotib yang menjabat sebagai pimpinan Redaksi Majalah Fajar pada 29 November 2006 ditahbiskan menjadi Juara III LKTI Mahasiswa se-Indonesia Depag RI pada Annual Conference On Islamic Studies (ACIS) di Lembang Bandung. Lagi-lagi, pada 14 November 2007 ia didaulat sebagai juara Juara II pada di even yang sama di Pekanbaru Riau.

Namun, itu hanyalah perestasi personal. Untuk menularkan “kesaktiannya” dalam olah kata, pada 13 Oktober 2008, pria yang saat ini melanjutkan studi S2-nya di UIN Sunan Kali Jaga itu, rela mempendingkan skripsinya demi mengembriokan generasi selanjutnya. Ini juga tak lepas dari permintaan pihak kampus untuk melakukan regenerasi.

Maka, dibentuklah karantina kepenulisan selama 20 hari. Dalam satu iktikad baik, delapan orang dari mahasiswa angkatan 2008 menyatukan komitmen Mengetuk Dunia Dengan Karya. Mereka dilarang keluar dari ruangan seluas 4 x 3 meter kecuali hanya sebatas keperluan sesaat, seperti mandi dan makan. Seleksi alam tetap berlaku. Hingga titik akhir, yang mampu bertahan hanyalah lima orang.


Dunia mahasiswa tidak bisa lepas dari dunia “menyusun kata”, dunia tulis menulis. Beda halnya dengan siswa, mahasiswa dituntut mandiri; memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan menulis bisa membentuk jati diri mahasiswa sebagai insan akademika. Namun sayang, plagiarisme yang marak terjadi akhir-akhir ini, berupa karya apapun baik makalah, skripsi, tesis sampai disertasi. Mahasiswa seakan tak memikili ideologi menulis.

Media, baik elektronik maupun massa, sebagai salah satu jalan menuju pembaruan sangat pas untuk menuangkan gagasan-gagasan itu kepada khalayak. Banyak yang memilih media sebagai alat untuk menelorkan ide-ide problem etis agama dan humanisme. Namun, bagi penulis pemula yang memulai perjalanannya menjadi musafir kata, perlu perjuangan keras untuk menembusnya. Pragmatisme (beberapa) media yang lebih mengutamakan kebesaran nama penulis menjadi kendala.

Nah, ketidakberpihakan itu membuat insan pena berpaling dari media. Mereka lebih memilih menempuh jalan sunyi untuk menunggu orderan membuat tulisan. Tak dapat dipungkiri, banyak penulis yang melakukan “syirik” kata dengan berbisnis makalah, skripsi, tesis, disertasi dan lain-lain yang mendukung plagiarisme dan—istilahnya M. Mushthafa—pengaratan akademik.

Ada yang lebih memilih berburu lomba karya tulis. Jalan ini dirasa cocok karena tidak mengaburkan idealisme menulis meskipun (terkesan) pragmatis. Alasannya sederhana; memburu lomba lebih menjanjikan daripada memburu media, mudah menulis karena berpatok pada tema yang telah ditentukan, serta honor yang lebih menyejahterakan. Disamping itu pula, penilaiannya tidak memandang nama besar.

Inilah sekelumit perjalanan yang dilakukan penulis pemula untuk bertahan hidup menjadi kuli kata di tengah globalisasi media. Berangkat dari jalan yang kedua inilah mereka, jebolan peserta karantina menulis, mencoba mengubah awalan “me” menulis menjadi “pe” penulis. Mereka merasa “nyaman” menjadi pemburu lomba daripada pemburu media, yang penting tidak merusak citra insan akademik dengan ikut serta menerima “order” tulisan dan melakukan plagiasi. Hasilnya, memuaskan! Mereka bisa bersaing baik ditingkat lokal, regional, hingga nasional dan menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas peneliti The Pencil Connection, Madura, yang saat ini sudah memiliki 28 anggota tetap.

0 comments: