Oleh: Fandrik HS Putra
Beberapa hari terakhir, hujan deras yang disertai angin kencang melanda perairan laut di Indonesia. Cuaca buruk akibat pengaruh dari awan komuloniumbus, awan yang disebabkan oleh tekanan yang tinggi seringkali menyebabkan pusaran angin dan memakan korban yang akut. Laut mengalami gelombang yang besar sehingga para nelayan memilih “markir” tidak melaut sambil menunggu cuaca dan gelombang laut menjadi normal kembali.
Madura, yang terdiri dari empat kabupaten: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep merupakan “negeri” para nelayan. Masyarakatnya, selain bergantung pada hasil pertanian tembakau,—dalam istilah mereka disebut “daun emas”—sebagian juga bergantung pada laut, utamanya yang berdomisili di daerah pesisir. Kehidupan sehari-harinya melaut, mengeringkan ikan, dan membuat tambak garam. Tak ayal jika Madura dikenal dengan sebutan Pulau Garam.
Istilah Pulau Garam yang disematkan pada Madura adalah sebuah metafora yang menggambarkan betapa besarnya kebergantungan masyarakat Madura kepada laut. Makna filosifisnya adalah bahwa tingkat stabilitas perekonomian masyarakat Madura terletak pada laut. Garam merupakan air laut yang dikeringkan menggunakan tenaga matahari dengan cara membuat tambak di pinggir pantai. Ketika musim panas tiba mereka bisa menuai “hasil” panennya. Di sini kita bisa mengambil ibrah bahwa kekayaan dan mata pencaharian masyarakat Madura sebagian bersumber dari laut.
Bagi sebagian masyarakat Madura, melaut sudah menjadi tradisi secara turun-temurun. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyak berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berorientasi pada kelautan dan perikanan. Penulis turut merasakan ketika pergi ke luar Madura, sebagian teman atau yang masih baru kenal langsung menebak kalau penulis adalah anak dari seorang nelayan ketika mereka tahu penulis berasal dari Madura. Jadi, betapa lekatnya orang Madura dengan laut.
Lebih kuatnya lagi, di Madura ada istilah “Nelayan Anak”. Istilah tersebut diungkapkan oleh H. Moh Rais, M.Pd., M.Si. selaku kepala Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Sumenep. Ia menggambarkan Nelayan Anak—berbeda dengan Anak Nelayan—sebagai gambaran kedekatan mereka pada laut, baik fisik maupun mental. Maksudnya: anak usia sekolah sudah bekerja membantu orang tuanya. Padahal, tidak semua Anak di Madura, khususnya di pesisir pantai itu miskin. Tapi karena pengaruh lingkungan, maka jadilah Nelayan Anak (Majalah Fajar; 2008)
Cuaca buruk yang melanda perairan laut Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pantasel) menyebabkan sebagian nelayan tidak bisa melakukan aktifitasnya. Untuk mengisi waktu luangnya, para nelayan memilih memperbaiki jaring dan kapal-kapalnya yang rusak. Mereka (baca; nelayan) tidak mempunyai pekerjaan sampingan atau pekerjaan yang lebih menjanjikan selain hal tersebut. Kondisi seperti ini membuat pasokan ikan semakin berkurang sehingga harga ikan di pasaran merangkak naik. Ikan Bandeng yang semula Rp 12 ribu naik menjadi Rp 15 ribu dan ikan asin biasanya Rp 10 ribu per kilo menjadi 14 ribu.
Di samping itu, masyarakat pesisir juga dikeluhkan dengan melonjaknya kebutuhan sandang pangan yang cukup signifikan dalam beberapa hari ini, seperti beras, gula, dlsb. Konkritnya, di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep—yang merupakan ujung barat dan timur Pulau Madura—harga beras yang biasa di konsumsi berkisar antara Rp 6.500-7.000 per kilo. Melonjaknya harga sandang pangan itu juga karena disebabkan pasokan makanan yang dari luar Madura—sebagian beras di Madura mengimpor dari Kabupaten Lamongan––semakin berkurang akibat dari cuaca buruk. Sehingga cukup mengganggu pendistribusiannya.
Letak geografis pulau Madura yang panas dan jarang hujan menyebabkan masyarakat pesisir bersikap instan dan fatalis. Ketika cuaca buruk seperti sekarang ini, mereka (baca; masyarakat pesisir) tidak melaut. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka “terpaksa” menjual atau melelang harta benda yang ada dengan harga yang relatif murah guna mendapatkan kebutuhan yang diingini. Akibatnya, harga pasar menjadi tidak stabil antara permintaan dan penawaran dari pihak konsumen mengingat kebutuhan yang sangat mendesak dan harus dipenuhi.
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat mereka bersikap demikian. Pertama, sikap ketergantugannya pada laut membuat Sumber Daya Manusia (SDM) kurang berkembang. Kondisi semacam ini meniscayakan mereka pasrah kepada takdir. Sehingga, tak pelak mereka dianggap sebagai masyarakat terbelakang (primitif).
Kedua, jiwa Entrepreneurship (wirausaha) yang sangat lemah. Kita bisa melihat dari hasil tangkapan mereka yang dilelang secara langsung tanpa ada pengelolaan lebih lanjut yang sekiranya bisa menarik minat pembeli meskipun dengan harga yang lebih mahal.
Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah dalam memberdayakan kekayaan laut. Sampai saat ini, pengelolaan kekayaan laut masih belum ada langkah yang konkrit. Terbukti, kekayaan laut dibiarkan diproduksi seadanya. Terlepas berkualitas atau tidak.
Keempat, kurangnya ketersediaan lapangan kerja. Masyarakat Madura yang bisa dikategorikan sebagai orang yang sudah “berpendidikan” lebih memilih mengadu nasib di luar Madura, karena pekerjaan dan kehidupannya lebih menjanjikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat (pesisir) Madura dituntut untuk lebih bersikap kreatif dan inovatif guna mencari upaya-upaya konstruktif dalam rangka memajukan geliat ekonomi di Madura dari sektor kelautan dengan tanpa menghilangkan tradisi yang sudah turun-temurun, yaitu melestarikan yang sudah ada dengan menjaga kelangsungan hidup di pesisir laut.
Tuesday, February 9, 2010
Cuaca Buruk dan Stabilitas Ekonomi Masyarakat (Pesisir) Madura
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment