Monday, February 15, 2010

Valentine



“Selamat Hari Valentine.”
Sudah lama aku tidak mengucapkan kalimat itu padamu. Sejak tiga tahun kita berpisah. Sejak itu pula hari valentine-ku tertinggal. Dua kali moment itu aku sia-siakan. Untuk valentine ketiga kalinya ini setelah kita berpisah, aku tak akan melewatkannya. Bersamamu. Maka dari itu, aku pulang jauh-jauh hanya untuk mengucapkan selamat kasih sayang, Happy Valentine.
Perlu kau ketahui. Aku tak pernah mengucapkan “Selamat Hari Valentine” pada orang lain selain kau. Karena bagiku, kaulah yang pantas menerima ucapan istimewa itu. Dari hatiku yang terdalam. Sebagai ungkapan rasa tulus cintaku. Kau adalah desah nafasku. Meski tiga tahun terakhir nafasku berpisah dengan ragaku.
Masih ingatkah kau, saat terakhir kalinya aku mengucapkan “Selamat Hari Valentine”. Saat kau bilang, kalau kau sangat menyukai bunga. Bunga apa saja. Maka dari itu, aku tidak memberimu cokelat atau surat ucapan selamat hari valentine seperti yang biasa orang-orang berikan sebagai bentuk ungkapan kasih sayang mereka. Aku hanya memberimu setangkai Bunga Mawar. Warnanya semerah bibirmu.
Kau pernah bertanya tentang sejarah Hari Valentine. Karena kau sangat penasaran, mengapa hari pada tanggal 14 Pebruari itu dinobatkan sebagai hari kasih sayang. Apa aku harus menceritakan kembali? Rasanya tidak usah. Aku yakin semua muda-mudi sudah mengetahuinya. Termasuk kau yang tahu cerita itu padaku. Tapi yang jelas, aku ingin seperti Santo Velentine. Seorang pujangga yang berjuang mempertahankan kasih sayang dengan menikahkan pemuda-pemudi pada zamannya. Meski pun Kaisar Claudius II yang berkuasa pada saat itu melarang mereka untuk menikah.
Atau setidaknya menjadi Cupid. Bayi ajaib yang disebut tuhan cinta. Karena ketampana yang dimilikinya. Sehingga ia diburu banyak perempuan. Dan aku ingin perempuan yang memburuku itu adalah kau. Bukan yang lain. Karena aku tak perlu yang lain. Hanya butuh kau.
Dalam perjalanan ini, aku masih merenungi. Tiga tahun begitu cepat dijalani. Saat aku menaruh harapan untuk kembali mendekapmu—di tempat biasa kita bertemu—dengan rindu yang sudah menggumpal sekian tahun. Aku tidak tahu, seperti apa kau sekarang. Aku hanya mereka-reka siluet wajahmu. Bukannya aku tidak ingat, tapi aku lupa membawa seluruh kenangan kita. Termasuk saat kita foto bersama di atas padang ilalang.
Hatiku semakin bergemuruh. Saat bus yang aku tumpangi melayang di atas jembatan Suramadu. Itu artinya sebentar lagi aku akan bertemu denganmu. Melihat jentik matamu yang lucu. Dan melihat lesung di pipimu saat kau tersenyum. Di tanganku, sudah tergenggam erat Bunga Mawar yang akan aku berikan padamu. Tunggulah aku. Tunggulah sampai Bunga Mawar ini di tanganmu.
Sekarang, aku bisa melihat kembali orang-orang di sekitarku; dari keluarga, guru, teman sampai tetanggaku. Mereka menyambut hangat kedatanganku. Maklum, hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di tanah kelahiranku setelah tiga tahun berlalu. Tapi, aku masih belum melihat dirimu. Apakau kau sudah pindah rumah? Atau kau sudah pergi dengan orang lain? Beribu pertanyaan itu kini bersarang di batok kepalaku. Aku mencoba membuang jauh-jauh prasangka itu. Agar Bunga Mawar di tanganku tidak cepat layu oleh kecemasan.
Beberapa saat kemudian, betapa terkejutnya aku. Kau tiba-tiba muncul dari sampingku. Hatiku bahagia. Perjalananku tidak sia-sia. Tapi, rasanya ada sedikit yang beda dari sorot matamu. Berkaca-kaca Aku kira, kau terharu melihatku. Bahagia melihat kedatanganku. Sehingga air matamu tak dapat ditolak untuk membelah pipimu. Bunga di tanganku sudah siap untuk mnyambutmu dalam dekapanku.
Tapi, alangkah hancurnya hatiku setelah ada lelaki yang menghampirimu dan memberimu bayi mungil. Bayi itu menangis. Lebih parahnya lagi, kau menyusui bayi itu. Setelah kau menyusuinya, ia tidur dalam lelapnya. Apakah itu arti dari sorot matamu? Ternyata aku salah menafsirinya. Bunga Mawar di tanganku layu sebelum aku berikan padamu. Sebelum aku mengucapkan, “Selamat Hari Valentine.”

Guluk-guluk, Sumenep 2010

Dimuat di Radar Madura
Pada Tanggal 14 Februari 2010

1 comments:

Fandrik Ahmad said...

tadhe' se akomentar, yeh...akomentarah dhibhi'