(Dimuat di Radar
Jember, 23 Februari 2017)
Spirit nawacita Presiden Joko Widodo yang ingin
membangun Indonesia dari pinggiran membuat desa mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Istilah pinggiran (periphery)
sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Erani Yustika, Dirjen P3MD, adalah frasa
populer untuk membenturkan dengan negara pusat dalam tradisi Marxianeco-nomic.
Desa menjadi subjek untuk mengatur pembangunan berskala lokal desa berdasarkan
asas rekognisi dan subsidiaritas.
Untuk menyukseskan pembangunan berskala lokal,
pemerintah mengeluarkan anggaran Dana Desa (DD) sebagai amanat Undang-Undang
Desa. Sebagaimana yang termaktub dalam Permendesa Nomor 5 Tahun 2015, DD merupakan dana alokasi khusus dari
pemerintah pusat untuk pembangunan berskala lokal desa.
Setiap tahun DD dipastikan terus naik hingga mencapai
nominal yang ditarget oleh pemerintah, yaitu 1,5 miliar pertahun. Pada tahun
2015 pemerintah mengeluarkan DD sebesar 20,76 triliun dan desa rata-rata
mendapat bantuan Rp. 280,3 juta. Sementara untuk tahun 2016 ada 46,98 triliun yang
dianggarkan pemerintah untuk 47.754 desa di seluruh Indonesia dengan rata-rata
pendapatan sebesar 643,6 juta perdesa. Tahun 2017 pemerintah sudah menyiapkan
DD 60 Triliun untuk 74.945 desa. Dengan demikian setiap desa akan memperoleh
bantuan sebesar 800,4 juta (Percepatan
Pembangunan Desa, Samsul Widodo, Kabiro Perencanaan Kementerian Desa dan
PDT).
Selain mendapat alokasi dana langsung dari Pemerintah
Pusat, desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) pertahun. ADD merupakan
dana alokasi Pemerintah Kabupaten bagian dari dana perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
Setiap tahun desa juga mendapat Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah yang
besarannya tergantung pada hasil penerimaan pajak dan retribusi daerah
kabupaten.
Proses pencairan dana desa (DD dan ADD) sampai saat
ini masih banyak mengalami masalah yang serius, terutama di tingkat kabupaten
sampai ke desa. Banyak praktik Pungli (pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum
pemerintah kecamatan maupun kabupaten dengan memanfaatkan ketidaktahuan elit
desa dengan memotong sebagian dana sebagai syarat pencairan.
Pada akhir tahun 2016, Tim Saber Pungli Polda Jawa
Timur berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Seksi
Pemberdayaan Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang. Barang buki berupa 1,5 miliar
diamankan yang diduga hasil pemangkasan DD dan ADD dengan dalih bermacam-macam,
seperti pembayaran pajak, papan nama, RAB, SPJ, Prasasi Kegiatan dan lain
sebagainya (Tempo, 6/12/2016).
Rata-rata setiap desa mendapat potongan lebih dari
50 persen. Desa Rebasan yang seharusnya mendapatkan Rp. 132.847.500 dipotong
Rp. 54.750.000. Desa Kramat dari Rp. 118.638.500 dipotong Rp. 65.000.000.
Bahkan Desa nyeloh hanya menerima Rp. 21.232.750 dari alokasi Rp. 139.432.750 (Detik.com, 6/12/2016).
Kasus diatas ibarat sebuah fenomena gunung es di
lautan. Yang tampak dipermukaan hanyalah puncaknya saja sementara bagian lain
tertutupi oleh dasar lautan. Dana yang seharusnya digunakan meningkatkan
pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia untuk kesejahteraan masyarakat
malah dinikmati oleh oknum pemerintah yang tak bertanggunjawab.
Pungli adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan cara menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri
(UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi). Masyarakat pedesaan biasa
menyebut pungli dengan berbagai macam istilah seperti uang sogokan, uang
pelicin, uang amplop dan lain sebagainya.
Tingginya ketidakpastian pelayanan publik sebagai
akibat dari prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi indikasi
terjadinya praktik pungli. Ketika dibenturkan dengan persoalan akut, masyarakat
cenderung toleran karena menginginkan segala urusan segera terselesaikan. Pola
pikir masyarakat yang cenderung praktis dan taktis menjadi celah permainan didalam
pelayanan publik, tak terkecuali proses pencairan dana desa yang membutuhkan
rekomendasi dan legalitas dari beberapa pihak, baik di kecamatan maupun di
kabupaten.
Selain itu, ada kelemahan sistem yang dibangun Pemerintah
Daerah dalam mengelola penyaluran dana desa, yaitu transparansi dalam pengelolaan
informasi kepada desa. Dalam perspektif stratifikasi sosial, Pemerintah Daerah masih
memandang masyarakat desa secara primitif dan belum mampu secara mandiri
mengelola besaran dana dari pemerintah.
Besaran dana yang diperuntukkan bagi desa memang dapat
menggoda bagi siapa saja, tak terkecuali di tingkat desa. Transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan desa mutlak harus dilaksanakan. Namun selama
ini masih sangat minim dijumpai di beberapa papan informasi desa. Hal ini dapat
menjadi indikasi terjadinya penyimpangan penggunaan anggaran.
Bebicara soal uang, maka sangat sensitif. Oleh
karena itu keterbukaan informasi sudah diatur dalam Undang-Undang Desa Pasal 82,
yaitu masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan
pembangunan desa. Apabila informasi yang diberikan tidak transparan, maka
masyarakat dapat melaporkan pada pemerintah desa atau Badan Permusyawaratan
Desa.
Pungli sudah menjadi gerakan budaya terstruktur dan
masif di tubuh birokrasi kita. Perlu adanya upaya dan penanganan yang serius
dari berbagai pihak terutama aparat penegak hukum. Monitoring dan evaluasi penyaluran
dan pengelolaan dana desa dibangun secara sistematis dari tingkat Pusat, Provinsi,
hingga Kabupaten.
Disamping itu juga perlu adanya opimalisasi
penerapan sistem pengelolaan keuangan desa berbasis aplikasi yang disebut
dengan Siskeudes (Sistem Keuangan Desa). Dengan adanya aplikasi ini diharapkan
dapat meningkatkan kapasitas pemerintah Desa dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan desa.
Langkah preventif lain yang tak kalah penting adalah
sosialisasi secara kontinu terkait dengan penyaluran dan penggunaan anggaran
dana desa. Sosialisasi dapat dilakukan oleh pemerintah maupun Pendamping Desa sebagai
fasilitator desa untuk memberikan pemahaman dan pemberdayaan kepada masyarakat
dan pemerintah desa agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan dapat dinikmati
oleh masyarakat luas.
Oleh karena itu, mari kita bersama-sama membangun
kesadaran dan partisipasi masyarakat akan arti pentingnya sebuah transparansi
publik sehingga menciptakan karakter pembangunan yang berkelanjutan sesuai
dengan semangat dan visi Undang-Undang Desa.[]
0 comments:
Post a Comment