Tuesday, December 5, 2017

Menyoal Pungli Dana Desa; Upaya Membangun Transparansi Publik


(Dimuat di Radar Jember, 23 Februari 2017) 

Spirit nawacita Presiden Joko Widodo yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran membuat desa mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Istilah pinggiran (periphery) sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Erani Yustika, Dirjen P3MD, adalah frasa populer untuk membenturkan dengan negara pusat dalam tradisi Marxianeco-nomic. Desa menjadi subjek untuk mengatur pembangunan berskala lokal desa berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas.

Untuk menyukseskan pembangunan berskala lokal, pemerintah mengeluarkan anggaran Dana Desa (DD) sebagai amanat Undang-Undang Desa. Sebagaimana yang termaktub dalam Permendesa Nomor 5 Tahun 2015, DD merupakan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat untuk pembangunan berskala lokal desa.


Setiap tahun DD dipastikan terus naik hingga mencapai nominal yang ditarget oleh pemerintah, yaitu 1,5 miliar pertahun. Pada tahun 2015 pemerintah mengeluarkan DD sebesar 20,76 triliun dan desa rata-rata mendapat bantuan Rp. 280,3 juta. Sementara untuk tahun 2016 ada 46,98 triliun yang dianggarkan pemerintah untuk 47.754 desa di seluruh Indonesia dengan rata-rata pendapatan sebesar 643,6 juta perdesa. Tahun 2017 pemerintah sudah menyiapkan DD 60 Triliun untuk 74.945 desa. Dengan demikian setiap desa akan memperoleh bantuan sebesar 800,4 juta (Percepatan Pembangunan Desa, Samsul Widodo, Kabiro Perencanaan Kementerian Desa dan PDT).  

Selain mendapat alokasi dana langsung dari Pemerintah Pusat, desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) pertahun. ADD merupakan dana alokasi Pemerintah Kabupaten bagian dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Setiap tahun desa juga mendapat Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah yang besarannya tergantung pada hasil penerimaan pajak dan retribusi daerah kabupaten.

Proses pencairan dana desa (DD dan ADD) sampai saat ini masih banyak mengalami masalah yang serius, terutama di tingkat kabupaten sampai ke desa. Banyak praktik Pungli (pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum pemerintah kecamatan maupun kabupaten dengan memanfaatkan ketidaktahuan elit desa dengan memotong sebagian dana sebagai syarat pencairan.

Pada akhir tahun 2016, Tim Saber Pungli Polda Jawa Timur berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kepala Seksi Pemberdayaan Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang. Barang buki berupa 1,5 miliar diamankan yang diduga hasil pemangkasan DD dan ADD dengan dalih bermacam-macam, seperti pembayaran pajak, papan nama, RAB, SPJ, Prasasi Kegiatan dan lain sebagainya (Tempo, 6/12/2016).

Rata-rata setiap desa mendapat potongan lebih dari 50 persen. Desa Rebasan yang seharusnya mendapatkan Rp. 132.847.500 dipotong Rp. 54.750.000. Desa Kramat dari Rp. 118.638.500 dipotong Rp. 65.000.000. Bahkan Desa nyeloh hanya menerima Rp. 21.232.750 dari alokasi Rp. 139.432.750 (Detik.com, 6/12/2016).

Kasus diatas ibarat sebuah fenomena gunung es di lautan. Yang tampak dipermukaan hanyalah puncaknya saja sementara bagian lain tertutupi oleh dasar lautan. Dana yang seharusnya digunakan meningkatkan pembangunan infrastruktur dan sumberdaya manusia untuk kesejahteraan masyarakat malah dinikmati oleh oknum pemerintah yang tak bertanggunjawab.

Pungli adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi). Masyarakat pedesaan biasa menyebut pungli dengan berbagai macam istilah seperti uang sogokan, uang pelicin, uang amplop dan lain sebagainya.

Tingginya ketidakpastian pelayanan publik sebagai akibat dari prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi indikasi terjadinya praktik pungli. Ketika dibenturkan dengan persoalan akut, masyarakat cenderung toleran karena menginginkan segala urusan segera terselesaikan. Pola pikir masyarakat yang cenderung praktis dan taktis menjadi celah permainan didalam pelayanan publik, tak terkecuali proses pencairan dana desa yang membutuhkan rekomendasi dan legalitas dari beberapa pihak, baik di kecamatan maupun di kabupaten.

Selain itu, ada kelemahan sistem yang dibangun Pemerintah Daerah dalam mengelola penyaluran dana desa, yaitu transparansi dalam pengelolaan informasi kepada desa. Dalam perspektif stratifikasi sosial, Pemerintah Daerah masih memandang masyarakat desa secara primitif dan belum mampu secara mandiri mengelola besaran dana dari pemerintah.    

Besaran dana yang diperuntukkan bagi desa memang dapat menggoda bagi siapa saja, tak terkecuali di tingkat desa. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa mutlak harus dilaksanakan. Namun selama ini masih sangat minim dijumpai di beberapa papan informasi desa. Hal ini dapat menjadi indikasi terjadinya penyimpangan penggunaan anggaran.

Bebicara soal uang, maka sangat sensitif. Oleh karena itu keterbukaan informasi sudah diatur dalam Undang-Undang Desa Pasal 82, yaitu masyarakat berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Apabila informasi yang diberikan tidak transparan, maka masyarakat dapat melaporkan pada pemerintah desa atau Badan Permusyawaratan Desa.

Pungli sudah menjadi gerakan budaya terstruktur dan masif di tubuh birokrasi kita. Perlu adanya upaya dan penanganan yang serius dari berbagai pihak terutama aparat penegak hukum. Monitoring dan evaluasi penyaluran dan pengelolaan dana desa dibangun secara sistematis dari tingkat Pusat, Provinsi, hingga Kabupaten.

Disamping itu juga perlu adanya opimalisasi penerapan sistem pengelolaan keuangan desa berbasis aplikasi yang disebut dengan Siskeudes (Sistem Keuangan Desa). Dengan adanya aplikasi ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pemerintah Desa dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan desa.

Langkah preventif lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi secara kontinu terkait dengan penyaluran dan penggunaan anggaran dana desa. Sosialisasi dapat dilakukan oleh pemerintah maupun Pendamping Desa sebagai fasilitator desa untuk memberikan pemahaman dan pemberdayaan kepada masyarakat dan pemerintah desa agar penggunaan dana desa tepat sasaran dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu, mari kita bersama-sama membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat akan arti pentingnya sebuah transparansi publik sehingga menciptakan karakter pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan semangat dan visi Undang-Undang Desa.[]
   
*Penulis Pendamping P3MD Kabupaten Jember. Tinggal di Ledokombo.

0 comments: