Judul :
Tafsir Sastrawi: Menelusuri Makna Puasa dalam Alquran
Penulis :
Wali Ramadhani
Penerbit :
Mizan Pustaka
Terbitan :
Pertama, Mei 2014
Tebal :
176 halaman
Alquran merupakan kitab
sastra Arab terbesar dengan pilihan teks yang memunyai muatan nilai sastra yang
sangat tinggi. Terbukti dialog dalam teks-teks Alquran selaras dengan realitas
yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Muatan nilai-nilai
sastra dalam Alquran memunculkan tafsir Alquran dengan metode sastrawi. Salah
satu ulama yang mengembangkan tafsir dengan metode ini adalah Amin al-Khuli
(1895-1996). Metode sastrawi merupakan usaha untuk memahami ayat-ayat Alquran
melalui sastra dan kebahasaan. Sederhananya, metode sastrawi menggunakan pendekatan
terhadap teks Alquran melalui kata per kata dalam sebuah kajian tematik (maudu’i).
Kajian tafsir dengan
medote sastrawi dilakukan dengan dua metode, yaitu kajian seputar Alquran (dirasah ma hawla Alquran) dan kajian
mengenai Alquran itu sendiri (dirasah ma
fi Alquran).
Wali Ramadhani, mencoba
memahami hakikat perintah berpuasa dalam Alquran melalui metode ini. Ayat yang
paling mencolok kaitannya dengan perintah berpuasa adalah surat Albaqarah ayat
183, 184, dan 185, menyerukan kewajiban bagi orang beriman untuk melaksanakan
ibadah puasa.
Bagi ummat Islam
aktivitas berpuasa sudah tidak asing lagi. Bahkan ibadah puasa menjadi salah
satu pilar dari lima rukun Islam. Namun pada tatanan praktiknya, puasa terasa menjadi
berat, hambar, hanya sebatas berperang melawan rasa lapar dan haus, apabila
tidak memahami makna dan hakikat dari puasa.
Buku ini ingin
menelisik konsep puasa dengan mengedepankan aspek keindahan bahasa dan makna
simbolik dalam rangka menguak betapa aktivitas berpuasa tidak hanya
berlapar-lapar dan menahan dahaga, melainkan sebuah proses pelatihan untuk
mencapai ketakwaan dan derajat spiritual yang tinggi.
Puasa bila ditinjau
dari kajian seputar Alquran, meletakkan hakikat ibadah puasa sebagai latihan
memerangi hawa nafsu. Turunnya perintah puasa tidak lepas dari kondisi sosial-budaya
bangsa Arab yang identik dengan kefanatikan antar kabilah, sehingga perilaku
dan watak mereka menjadi tempramental dan fatalis. Di sinilah puasa dapat
berperan sebagai ajang transformasi moral, baik pada tataran individu maupun
sosial.
Sementara tinjauan ibadah
puasa dari kajian mengenai Alquran sendiri menempatkan tiga poin pokok yang
harus diperhatikan. Pertama, mengapa di ayat awal disebutkan durasi puasa hanya
‘beberapa hari’ sementara di ayat akhir disebutkan ‘sebulan penuh’. Kedua,
mengurai redaksi wajibnya berpuasa yang menggunakan kalimat pasif (diwajibkan)
bukan menggunakan kalimat aktif (mewajibkan). Ketiga, keringanan-keringanan
dalam berpuasa.
Redaksi pertama surat
Albaqarah ayat 184 menggunakan ayyaman
ma’dudat (beberapa hari tertentu), lalu dilanjutkan pada ayat berikutnya
dengan redaksi syahru ramadhan (bulan
ramadan) mengindikasikan strategi untuk memengaruhi asumsi pembaca bahwa satu
bulan itu bukanlah waktu yang lama. Kata ma’dudat
menunjukkan makna sedikit atau sebentar. Dengan redaksi demikian, Alquran
tampak memberikan gambaran bahwa sebulan itu bukan waktu yang lama.
Sementara penggunaan
kalimat pasif kutiba (diwajibkan)
untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah melekat. Pada dasarnya manusia
sudah memiliki naluri untuk menahan diri sehingga kata kutiba lebih sesuai jika disandingkan dengan ibadah puasa. Penggunaan
kalimat pasif juga hendak menunjukkan bahwa sudah jelas subjek yang mewajibkan
puasa adalah Allah.
Mengutip pendapat
Quraish Shihab bahwa tidak disebutkannya pelaku yang mewajibkan puasa dalam
ayat tersebut memberikan isyarat seandainya bukan Allah yang mewajibkan,
niscaya manusia sendirilah yang mewajibkan untuk dirinya sendiri. Tentu ibadah
puasa menjadi mutlak untuk dilaksanakan. (hal.88)
Pelaksanaan ibadah
puasa juga memiliki beberapa keringanan-keringanan, yaitu kepada orang yang
sakit, orang dalam perjalanan (musafir), orang yang berat menjalankannya
seperti orang yang sudah tua.
Ayat tentang keringanan
dalam ibadah puasa disebutkan sesudah kewajiban berpuasa dan sebelum menyerukan
waktu pelaksanaannya. Runtutan ini guna menghilangkan kesan betapa menjalankan
ibadah puasa itu berat. Apabila paparan awalnya langsung tertuju pada
pelaksanaan sebulan penuh maka kesan yang akan muncul adalah puasa itu berat
dan lama.
Dengan menggunakan
pandangan tafsir sastrawi kita dapat menangkap betapa menjalankan ibadah puasa
bukan hanya semata-mata dipandangi sebagai perintah yang harus ditaati,
melainkan sebagai bentuk pembelajaran spiritual.
Sayang sosok Amin
al-Khuli yang menjadi sandaran atas tafsir sastrawi dalam buku ini kurang
mendapatkan perhatian dari penulis. Ketidaksertaan biografi Amin al-Khuli dalam
buku ini membuat pembaca kurang memahami corak dan pemikirannya terkait dengan
tafsir sastrawi ala Amin al-Khuli.
Puasa seyogyanya mampu membebaskan
manusia dari kerendahan jiwa agar sampai pada kesempurnaan akalnya, yakni suatu
keadaan fitrah manusia atas ketaatan terhadap Allah. Buku ini baik dalam rangka
memaknai indahnya menjalankan ibadah puasa.[]